Aksara Sunda: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Knight9020 (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 21:
[[Berkas:Aksara Sunda Kuno 02.jpg|jmpl|Perbandingan [[aksara Kawi]], aksara Sunda kuno, dan aksara Sunda baku]]
{{Lihatpula|Aksara Sunda Kuno}}
SetidaknyaKecakapan sejakmasyarakat Abaddalam XIItulis masyarakatmenulis di wilayah [[Sunda]] telah lamaketahui mengenalkeberadaannya aksarasejak untuksekitar menuliskanabad bahasake-5 Masehi, pada masa [[Tarumanagara|Kerajaan Tarumanagara]]. Hal itu terungkap pada prasasti-prasasti yang merekasebagian gunakanbesar di bicarakan oleh Kern (1917) dalam bukunya yang berjudul Versvreide Beschriften; Inschripties Van Den Indischen Archipel. <ref>{{Cite web|title=Asal Usul Aksara Sunda: Identitas Budaya di Abad Lampau yang Sempat Dilarang Penjajah|url=http://m.caping.co.id/news/detail/9416185|website=m.caping.co.id|language=en|access-date=2023-01-16}}</ref>

Namun pada awal masa kolonial, masyarakat Sunda dipaksa oleh keadaan yaitu dengan meluasnya pengaruh Mataram islam kedalam wilayah Priangan (kecuali wilayah Cirebon dan Banten) dan kebijakan penguasa saat itu untuk meninggalkan penggunaan Aksara Sunda Kuno yang merupakan salah satu identitas budaya Sunda lewat kebijakan pemerintahan kolonial melalui surat resminya tertanggal 3 November 1705 yang mewajibkan penggunaan aksara latin, arab gundul (pegon) dan aksara jawa modifikasi (cacarakan) sebagai aksara resmi yang digunakan di wilayah Sunda dalam kegiatan surat menyurat.<ref name=":0">{{Cite web|last=Media|first=Kompas Cyber|date=2022-02-05|title=Aksara Sunda: Sejarah dan Jumlahnya Halaman all|url=https://www.kompas.com/stori/read/2022/02/05/110000579/aksara-sunda--sejarah-dan-jumlahnya|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2022-12-04}}</ref> Keadaan yang berlangsung hingga masa kemerdekaan ini menyebabkan punahnya Aksara Sunda Kuno dalam tradisi tulis masyarakat Sunda.{{citation<ref needed|datename=Oktober":0" 2020}}/>
 
Pada akhir Abad XIX sampai pertengahan Abad XX, para peneliti berkebangsaan asing (misalnya K. F. Holle dan C. M. Pleyte) dan bumiputra (misalnya Atja dan E. S. Ekadjati) mulai meneliti keberadaan prasasti-prasasti dan naskah-naskah tua yang menggunakan Aksara Sunda Kuno. Berdasarkan atas penelitian-penelitian sebelumnya, pada akhir Abad XX mulai timbul kesadaran akan adanya sebuah Aksara Sunda yang merupakan identitas khas masyarakat Sunda. Oleh karena itu Pemerintah Daerah [[Provinsi Jawa Barat]] menetapkan Perda No. 6 tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda yang kelak digantikan oleh Perda No. 5 tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah.{{citation needed|date=Oktober 2020}}