Kepulauan Gambier: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rang Djambak (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Rang Djambak (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 52:
Ahli etnologi, Kenneth P. Emory dari Museum Uskup di Honolulu, berasumsi bahwa Kepulauan Gambier, seperti pulau-pulau lain di Polinesia Timur, dijajah dari Marquesas.<ref>K.P. Emory, Y.H. Sinoto: ''Preliminary Report on the Archaeological Investigations in Polynesia.'' Honolulu 1965 </ref> Namun, sekarang lebih mungkin bahwa pemukiman berasal dari kelompok pulau, sekitar tahun 1000 M.<ref>Patrick Vinton Kirch: ''On the Road of the Winds – An Archaeological History of the Pacific Islands before European Contact.'' University of California Press, Berkeley/Los Angeles/London 2000.</ref> Ada bukti arkeologis bahwa pulau Mangareva, Taravai, Agakauitai, Akamaru, Aukena, dan Kamaka dijajah oleh orang Polinesia pada zaman protosejarah.<ref>M. I. Weisler: An Archaeological Survey of Mangareva: Implications for Regional Settlement Models and Interaction Studies. In: Man and Culture in Oceania 12 (1996), S. 61–85</ref> Bentuk sosialnya adalah masyarakat suku yang sangat terstratifikasi, dengan peperangan antar klan yang terus-menerus dan juga kekurangan makanan; tidak diketahui apakah terjadi kanibalisme. Ada bukti bahwa, sesaat sebelum pengaruh Eropa, terjadi kerusuhan yang menyebabkan gejolak dan perang saudara antar kelas sosial.<ref>Patrick Vinton Kirch. ''On the Road of the Winds – An Archaeological History of the Pacific Islands before European Contact.'' University of California Press, Berkeley/Los Angeles/London 2000, p. 267.</ref> Pergolakan sosial ini mungkin telah memudahkan penaklukan kepulauan oleh Raja Pomaré II dari Tahiti pada awal abad ke-19. Hingga paruh kedua abad ke-19, kepulauan itu tetap berada dalam lingkup pengaruh dinasti Pomaré Tahiti.
 
=== Eksplorasi dan penjajahan Eropa ===
[[File:Tombeau.du.Roi.JPG|thumb|Kapel Katolik St. Petrus, Rikitea, tempat Raja Joseph Gregory dan ayahnya Maputeoa dimakamkan.]]
 
Kepulauan Gambier ditemukan oleh orang Eropa pada tahun 1797 yakni James Wilson, kapten kapal Duff dari London Missionary Society, yang meninggalkan Britania Raya untuk melaksanakan tugas misionaris di Tahiti, Tonga, dan Marquesas. Dia menamai pulau-pulau itu berdasarkan nama Huguenot James Gambier, yang secara finansial mendukung ekspedisi tersebut.
 
Pada tahun 1825, Inggris Frederick William Beechey mencapai Kepulauan Gambier dengan kapalnya HMS Blossom selama perjalanan panjang eksplorasi ke Pasifik dan Arktik, Amerika Utara.
 
Pada tahun 1834, misionaris dari Kongregasi Hati Kudus Honoré Laval dan François Caret tiba di pulau-pulau untuk menjalankan misi Katolik pertama di Polinesia, setelah upaya gagal dari Spanyol di Tahiti pada tahun 1775. Kedua imam akhirnya menjadi protagonis dari Persatuan Tahiti Prancis. Pada awalnya, Raja Maputeoa, raja terakhir Mangareva, melawan, tetapi setelah didoakan kesembuhan dari penyakit serius dengan Tuhan baru, ia semakin tunduk pada pengaruh misionaris Kristen dan dibaptis pada tahun 1836.
 
Setelah disetujui dan didukung dari penguasa kepulauan, Picpusians aktif menyebarkan program pengembangan ekstensif untuk penduduk setempat. Setelah berhasil membaptis seluruh penduduk Kepulauan Gambier, mereka pindah ke Tahiti pada tahun 1836. Di pulau ini, sejak ekspedisi Wilson, juga ada misi Protestan yang dipimpin oleh Pritchard, ia juga konsultan Inggris dan penasihat Ratu Pomare Vahine. Pritchard berhasil mengusir para misionaris Katolik, sehingga memicu konflik diplomatik. Prancis mengirim Laksamana Dupetit-Thouars untuk mencoba memperbaiki masalah ini. Laksamana akhirnya mendirikan protektorat, dan kemudian meaneksasi Tahiti.
 
Sementara itu, Kepulauan Gambier mengalami gempa bumi dan tsunami yang kuat pada tahun 1837. Laval dan Caret kembali ke kepulauan dan mendirikan rezim teokratis. Mereka mengajari penduduk pulau itu membaca dan menulis, dan melindungi mereka dari pedagang dan pemburu paus Eropa. Menurut ungkapan Pastor Laval, "peradaban mengarah pada kepuasan".
 
Di sisi lain, semangat keagamaan membuat mereka secara sistematis mengganti semua berhala dan kuil, dan sebagai gantinya mereka memerintahkan pembangunan lebih dari seratus bangunan batu: gereja, kapel, biara, seminari, kuburan, vicarage, dan lengkungan kemenangan. Katedral St. Michael di Mangareva dapat menampung lebih dari 2.000 orang. Populasi, yang lebih dari 2.000 ketika Laval dan Caret pergi, turun menjadi 500 pada akhir abad ke-19 karena penyakit dan emigrasi. Banyak buruh dikirim dari Mangareva ke Tahiti untuk membangun katedral Papeete pada tahun 1856.
 
Perekrutan tenaga kerja untuk proyek-proyek skala besar mengurangi penduduk Kepulauan Gambier yang semakin kecil, dan bencana kelaparan terjadi karena pengadaan makanan sehari-hari diabaikan. Hal ini dan penyebaran penyakit menular yang sebelumnya tidak diketahui, menyebabkan kemelaratan dan penurunan drastis populasi. Di sisi lain, para misionaris berusaha menghilangkan peperangan suku yang berkepanjangan, pengorbanan manusia, dan memerangi kanibalisme.
 
Gubernur Tahiti Prancis hanya menyaksikan peristiwa di kepulauan itu selama bertahun-tahun. Ketika keluhan dari pengusaha dan kapal dagang semakin sering, baru dia turun tangan. Pastor Laval harus meninggalkan Mangareva pada tahun 1871 atas desakan Uskup Tahiti, Florentin Etienne "Tepano" Jaussen. Dia meninggal pada 1 November 1880, dan dimakamkan di Tahiti.
 
Kepulauan Gambier akhirnya dianeksasi pada 21 Februari 1881 di bawah Pangeran Bupati Bernardo Putairi dan disetujui oleh Presiden Prancis pada 30 Januari 1882.<ref>{{cite thesis|last=Gonschor|first=Lorenz Rudolf|title=Law as a Tool of Oppression and Liberation: Institutional Histories and Perspectives on Political Independence in Hawaiʻi, Tahiti Nui/French Polynesia and Rapa Nui|date=August 2008|publisher=University of Hawaii at Manoa|location=Honolulu|pages=56–59|hdl=10125/20375|type=Thesis}}</ref>
 
=== Efek uji coba nuklir Prancis ===
 
== Referensi ==