Jainisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 34:
 
Kebanyakan penganut Jaina tidak terlalu berminat membaca kitab suci mereka, bahkan kitab suci bisa berbahaya bagi orang yang belum menjalani inisiasi. Sampai sekarang, sejumlah sekte Jaina tidak memperbolehkan orang awam membaca kitab-kitab suci mereka, bahkan para biarawati Jaina hanya boleh membaca kumpulan kutipan yang diseleksi secara ketat. Ada kekhawatiran mereka bahwa tiap orang akan merasa telah menguasai pesan Jaina hanya dengan memahaminya secara intelektual.
 
Pengakuan terus terang umat Jaina tentang terjadinya disintegrasi ''corpus'' kitab suci mereka bermakna bahwa mereka tidak punya konsep kanon yang baku. Pada dasarnya, teks apa pun yang cukup kuno bisa memiliki derajat otoritas tertentu dan meski nyaris mustahil melacak masa penyusunan teks itu, sangat sedikit teks yang mengklaim berasal dari masa Mahavira. Para peneliti Barat kerap menganggap teks-teks yang muncul belakangan ini sebagai tidak autentik dan berasumsi bahwa ''Kalpa Sutra'' adalah kitab suci penting Jaina karena teks tersebut dilestarikan dalam begitu banyak manuskrip yang disertai ilustrasi yang kaya. Memang teks itu penting bagi umat Jaina, tetapi bukan karena merekam kata-kata Mahavira, atau dihormati karena isi pesannya, sebab sangat sedikit umat Jaina yang mempu memahami dialek kuno Prakrit. Derajatnya tergantung sepenuhnya pada perannya dalam perayaan Paryushan (arti harfiahnya “menetap”), hari terpenting dalam setahun bagi umat awam Jaina. Festival itu merayakan kedatangan muson, momen ketika para asketik berhenti berkelana dan menetap Bersama umat awam, yang merayakan kedatangan mereka. ''Kalpa Sutra'' dibacakan sebagai tindak solidaritas untuk menyatukan komunitas. Di Gujarat masa sekarang, selama tujuh hari pertama perayaan yang dihadiri sedikit orang, ringkasan Sutra dibacakan dalam bentuk terjemahan bahasa sehari-hari. Namun, pada hari kedelapan yang dihadiri banyak orang, para biarawan membacakan seluruh Sutra dalam bahasa asli Prakrit dengan kecepatan luar biasa sehingga tak seorang pun–bahkan seorang pakar bahasa Prakrit–bakal mampu memahaminya. Sementara itu, selama pembacaan, manuskrip-manuskrip Sutra yang berilustrasi diarak di jalan-jalan sebagai objek pemujaan. Kitab suci ini penting bagi umat Jaina bukan karena isi ajarannya, melainkan karena perannya dalam ritual.
 
Aliran penolak dunia kedua yang kelak menjadi sebuah tradisi keaagamaan besar didirikan oleh Siddatta Gautama, rekan sezaman Mahavira tetapi lebih muda, yang kemudian dikenal sebagai Buddha, atau “Yang Tercerahkan”. Menurut perkiraan para pakar modern, dia wafat pada sekitar 400 SM. Mahavira dan Gautama memiliki banyak kesamaan. Keduanya berasal dari kasta Ksatria (Gautama berasal dari sebuah keluarga aristocrat di republic Sakka); keduanya memercayai doktrin ''karma'' dan kelahiran kembali’ dan keduanya mencapai pencerahan tanpa bimbingan guru, hanya mengandalkan upaya pribadi mereka tanpa bantuan siapa pun. Mereka berdua tidak percaya Weda berasal dari wahyu ilahi dan keduanya mengaku mengajarkan kebenaran kuno yang disadari “para orang pandai” masa lalu: telah ada banyak Buddha sebelum Gautama, dan dia maupun Mahavira menekankan bahwa siapa pun bisa mencapai tingkatan tinggi ini jika menjalankan latihan-latihan yang benar. Untuk itu, keduanya membentuk komunitas para murid, yang mereka sebut ''gana'' (“pasukan”) atau ''sangha'' (“sidang”); ini adalah istilah-istilah kaum Ksatria untuk persaudaraan-prajurit kaum muda dalam kehidupan tradisional Arya, tetapi keduanya menolak kekerasan dan menekankan pentingnya welas asih kepada semua makhluk.
 
== Kitab suci ==