Pertobatan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Borgx (bicara | kontrib)
k Suntingan 125.164.99.121 (bicara) dikembalikan ke versi terakhir oleh Chobot
Baris 1:
[[Tobat]], ([[bahasa Arab|Arab]], ''taubat''), berarti merasa bersalah atau menyesal atas perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama. [[Tobat nasuha]] berarti tobat yang sebenar-benarnya dengan janji tidak akan mengulangi lagi.
TOBAT
 
Dalam [[agama Kristen]] di [[Indonesia]] kata ''tobat'' digunakan untuk menerjemahkan kata ''metanoia'' dalam [[bahasa Yunani]], yang artinya "berbalik 180 derajat dari kehidupan yang lama" atau "meninggalkan cara hidup yang lama".
Kata At-Tawbah An-Nashûha dibentuk dari kata at-tawbah dan an-nashûha. Kata
tawbah merupakan mashdar (gerund) dari kata: tâba–yatûbu–tawban wa tawbat[an] wa matâban. Secara bahasa arti dasarnya adalah ar-rujû’ atau ’âda (kembali).
 
Di lingkungan [[Gereja Katolik Roma]], tobat dilakukan setelah pengakuan [[dosa]], dengan mengambil [[sakramen tobat]], yaitu salah satu dari tujuh [[sakramen]] yang diakui oleh Gereja Katolik.
Al-Jauhari dalam Ash-Shihah fî al-Lughah mengartikan tawbah (tobat) dengan ar-rujû’ min adz-dzanb (kembali dari dosa). Di dalam Al-Qâmûs al-Muhîth, al-Fairuz Abadi menyatakan bahwa tawbah adalah ar-rujû’ ’an al-ma’shiyah (kembali dari kemaksiatan).
 
== Pranala luar ==
Dikatakan juga bahwa asal Tawbah adalah an-nadam (menyesal). Ibn Sayidih dalam Al-Mukhashish menyatakan, “Asal at-tawbah secara bahasa adalah an-nadamu (menyesal). Jadi, Allah menerima tobat hamba-Nya dan menerima penyesalannya, sementara hamba adalah yang bertobat kepada Allah menyesali atas kemaksiatannya. At-tawbah adalah rujû’ dari apa yang telah lalu dan menyesal karenanya.”
* {{id}} [http://www.gerejakatolik.net/katekismus/pasal18.htm Tujuh Sakramen, Pasal dari Katekismus Singkat di GerejaKatolik.net]
{{stub}}
 
[[Kategori:Agama]]
Adapun an-nashûha berasal dari kata: nashaha–yanshahu–nushhan wa nashâhat[an]; artinya secara bahasa adalah nasihat, khalusha (murni/tulus) dan nashâhat ats-tsawb (menjahit pakaian).
[[Kategori:Emosi]]
 
[[ar:توبة]]
Kata an-nashûha berkedudukan sebagai sifat. Pensifatan ini adalah secara majazi. Dalam konteks inilah, sebagian ulama mengatakan tobat nashûhâ adalah tobat yang bisa menasihati diri orang yang bertobat itu untuk tidak kembali pada dosa atau pada sesuatu kemaksiatan yang ia sesali. Bisa juga an-nashûha bermakna khalusha (murni). Karena itu, at-tawbah an-nashûha bisa bermakna: tobat yang tulus dan murni dari berbagai debu dan kotoran yang merusaknya. Dengan kata lain, maknanya adalah tobat yang sebenar-benarnya. An-Nashuha juga berasal dari an-nashâhah ats-tsawb yakni khiyâthatuhu (menjahitnya). Artinya, tobat itu menyambung, merekatkan dan menguatkan sesuatu dari agama yang telah dirobek oleh dosa dan kemaksiatan serta menutupi kekosongann.
[[cs:Pokání]]
 
[[de:Buße (Religion)]]
Tobat nashûha terhimpun hal-hal berikut:
[[en:Repentance]]
 
[[fi:Katumus]]
1. An-Nadam (penyesalan): menyesali kemaksiatan yang dilakukan. Bahkan menurut Imam an-Nawawi, an-nadam ini adalah rukun utamanya.
[[fr:Repentance]]
2. Memohon ampunan (istighfar) kepada Allah.
[[hu:Megtérés]]
3. Meninggalkan kemaksiatan.
[[it:Ravvedimento]]
4. Bertekad tidak mengulanginya pada masa datang.
[[ko:회개]]
5. Meng-qadhâ’ kewajiban yang ditinggalkan, misalnya membayar zakat yang ditinggalkan, atau meng-qadhâ’ shalat wajib yang dilalaikan, dsb yang memang harus di-qadhâ’.
[[nl:Penitentie]]
6. Jika kemaksiatan itu terkait dengan hak anak Adam, hak orang yang dilanggar harus dikembalikan dan atau meminta bara’ah (pembebasan) dari orang yang dilanggar itu. Sebab, tobat menjadi tidak bermakna jika hak orang yang dilanggar masih terus dikangkangi. Pengembalian hak itu tentu saja jika mungkin dilakukan, misal mengembalikan harta ghashab, curian atau riba kepada pemiliknya, dsb; atau jika tidak mungkin maka harus meminta pembebasan dari orang yang dilanggar itu, misalnya ketika pernah mencacinya atau memperoloknya.
[[simple:Repentance]]
 
[[vi:Ăn năn]]
Menurut para ulama termasuk tobat nashûhâ adalah mengajukan diri untuk dikenai sanksi syar’i atas diri, baik hudûd, jinâyât ataupun ta’zîr. Hal itu seperti yang dilakukan Maiz al-Aslami dan al-Ghamidiyah. Rasul dalam riwayat yang ada menyatakan bahwa tindakan itu sebagai bentuk tobat nashûhâ dari keduanya.