Naskah Wangsakerta: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Inayubhagya (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 1:
'''Naskah Wangsakerta''' adalah
Naskah kontroversial ini kini tersimpan di [[Museum
== Isi naskah ==
Naskah-naskah yang dihasilkan oleh panitia Wangsakerta dibagi menjadi beberapa naskah, yang masing-masing berjudul:
# ''[[Pustaka Nagarakretabhumi]]''
# ''Pustaka Dwipantaraparwa''
# ''Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa''
# ''[[Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara]]''
# ''[[Carita Parahyangan]]''
Naskah-naskah yang disusun oleh panitia Wangsakerta terbuat dari bahan kertas daluang dengan sampul kertas karton dibungkus kain blacu putih dan warna kecoklat-coklatan, tinta berwarna hitam, ukuran aksaranya 5 mm. Menggunakan [[bahasa]] dan [[aksara Jawa]] yang terkesan dikuno-kunokan.
== Panitia Wangsakerta ==
Dalam pengantar setiap
Panitia didirikan untuk mengadakan suatu ''gotrasawala'' (simposium/seminar) antara para ahli (sejarah) dari seluruh Nusantara, yang hasilnya disusun dan ditulis menjadi naskah-naskah yang sekarang dikenal sebagai '''Naskah Wangsakerta'''. Gotrasawala ini berlangsung pada tahun 1599 == Kontradiksi sejarah ==
Naskah ini dianggap dibuat pada [[abad ke-17]], namun para ahli meragukannya dan naskah ini bisa jadi dibuat pada 1960-an. Karya naskah-naskah yang dihasiklkan panitia Wangsakerta walaupun memakai [[aksara Jawa Kuno]] sebagaimana huruf yang umum di abad ke-17, tetapi sejatinya tulisan itu meniru penulisan aksara Jawa Kuno dengan gagal. Hal itu dapat ditunjukkan dari naskah-naskah yang ditemukan pada 1970-an, tidak memuat informasi tambahan terkait temuan sejarawan pada dekade berikutnya (1980-an hingga sekarang).<ref name="lubis-2002">{{cite journal|last=H. Lubis|first=Nina|title=Kontroversi Tentang Naskah Wangsakerta|journal=Humaniora|volume=XIV|date=Februari 2002}}</ref>
Di dalam Naskah Wangsakerta selalu dijumpai istilah ''Jawa Kulwan'', ''Jawa Madya'' dan ''Jawa Wetan''. Menurut konteksnya memang yang dimaksud dengan istilah itu ialah [[Jawa Barat]], [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]], yang mana pembagian adminsitratif semacam itu belum terjadi dalam abad ke-17.<ref name="lubis-2002"/>
Sesuai penelitian yang dilakukan oleh [[Arsip Nasional Republik Indonesia]] (ANRI), umur kertas berusia sekitar 100 tahun, dihitung dari tahun 1988 saat naskah-naskah itu diuji. Naskah yang dibeli dan disimpan di [[Museum Sri Baduga]] adalah salinan yang baru ditulis sekitar abad 19, padahal di dalam naskah itu sendiri tertulis telah disusun sejak tahun [[1677]] dan selesai tahun [[1698]].<ref name="lubis-2002"/>
Prof. Dr. M.C. Ricklefs, guru besar sejarah dari Monash University menjelaskan bahwa ia pernah melihat naskah-naskah tersebut di Museum Sri Baduga dan ia menyatakan bahwa dilihat dari penulisan aksara yang "kasar", menunjukkan bahwa itu adalah naskah baru, bukan naskah yang berasal dari abad ke-17. Ia mempertanyakan mengapa naskah-naskah ini, yang menurutnya palsu, dipergunakan sebagai sumber oleh sejarawan dari Indonesia. Permasalahan yang menarik ialah setelah beredarnya kontroversi naskah ini, kini mencuat kembali karena naskah Wangsakerta dipergunakan dalam menyusun sumber [[sejarah Indonesia]]. Bagaimana sebenarnya kedudukan naskah itu di mata seorang sejarawan.<ref name="lubis-2002"/>
Dengan melakukan kritik ekstern terhadap Naskah Wangsakerta, menunjukkan naskah ini bukan sejarah yang otentik, sebagai sumber untuk menyusun sejarah Indonesia. Oleh karenanya, nilai sejarah yang diberikan dari Naskah Wangsakerta tersebut sangat lemah. Terlepas dari soal kecurigaan semacam itu, secara akademis, masalah asal-usul naskah ini yang tidak jelas secara tidak langsung menurunkan tingkat kredibilitasnya.<ref name="lubis-2002"/>
== Kontroversi ==
|