Kebebasan beragama: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Empat Tilda (bicara | kontrib)
mengganti referensi nomor 10 dengan rujukan melalui web lain
Baris 10:
Pada abad 17 dengan menguatnya solidaritas kebangsaan maka semakin menguat pula solidaritas kenegaraan, peran agama sebagai entitas politik yang berkuasa semakin berkurang.<ref name=":0" />Pemikiran kekuasaan absolut dari kekuasaan sekuler dimulai dari [[Thomas Hobbes]] (1588-1679), Pemikiran tersebut terpengaruh oleh [[Perang Sipil Inggris]] saat [[Raja Charles I]] yang didukung oleh [[katolik]] melawan pemberontak [[Oliver Cromwell]] yang didukung penganut [[Protestanisme|protestan]]. Kemudian pemahaman tersebut dikembangkan lagi oleh [[John Locke]] sebagai konsep liberalisme dalam buku ''Latter Concerning Toleration'' (1689) ia mengusulkan konsep toleransi antar agama dan memisahkan antara agama dan negara. Setelah [[Perang Dunia II|perang dunia kedua]] konsep tersebut tumbuh subur dan berkembang sebagai konsep humanis sekular di negara [[eropa]]. Pada tahun 1960, negara-negara eropa mulai memisahkan hukum gereja dan hukum sipil. Contohnya hukum perzinahan kini tidak lagi menjadi kejahatan sipil, dan juga banyak perilaku yang tidak termasuk jangkauan gereja.<ref name=":1">{{Cite journal|last=Fatmawati|first=Author|date=2011|title=Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Beribadah dalam Negara Hukum Indonesia|url=https://jurnalkonstitusi.mkri.id/index.php/jk/article/download/179/176|journal=jurnal konstitusi|volume=8|issue=4|doi=1031078}}</ref>
 
Di [[Indonesia]] kebebasan beragama sudah digagas semenjak perumusan dasar negara, awalnya saat perumusan [[Piagam Jakarta]] 22 Juni 1945 ada kalimat, "ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan  syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Lantas pada pengambilan intisari dasar kebangsaan pada rapat [[Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan|BPUPKI]] [[Mohammad Hatta]] mengusulkan perubahan "ketuhanan yang maha esa", hal ini disetujui dan menjadikannya sebagai pembukaan [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945|UUD]] sekaligus tersematkan dalam pasal pertama [[Pancasila]].<ref>{{Cite web|last=Anom Wiranata|first=I Made|title=Bung Hatta dalam Merevisi Sila “Ketuhanan... - UNUD {{!}} Universitas Udayana|url=https://www.unud.ac.id/en/berita2052-Bung-Hatta-dalam-Merevisi-Sila-Ketuhanan-dengan-kewajiban-menjalankan-syariat-Islam-bagi-pemeluk-pemeluknya-.html?lang=in|website=www.unud.ac.id|access-date=2021-11-19}}</ref> Dasar hukum ini menjadi penting, karena dapat menjadikan dasar negara dalam menentukan arah kebijakan dan aturan. Dari dasar hukum ini lahirlah UU PNPS No.1 Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang dapat membantu dalam penanganan kebebasan beragama, karena hanya memberlakukan pembatasan dalam pelaksanaan ajaran bukan dalam berkeyakinan, dan pembatasan tersebut hanya sebatas untuk melindungi ketertiban dan keamanan masyarakat.<ref name=":1" /> Berdasarkan hal itu maka pembatasan kebebasan beragama hanya dapat dilakukan berdasarkan aturan hukum saja, sehingga batasannya dapat dikatakan jelas antara agama satu dan lainnya.<ref name=":2">{{Cite web|last=Komnas HAM Republik Indonesia|date=2020-09-30 September 2020|title=Perlindungan Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia|url=https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2020/9/30/1577/perlindungan-hak-kebebasan-beragama-dan-berkeyakinan-di-indonesia.html|website=www.komnasham.go.id|language=idKomnas HAM Republik Indonesia|access-date=8 Desember 2021-11-19}}</ref>
 
== Konsep ==
Menurut perspektif hak asasi manusia (HAM), kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dipandang sebagai hak negatif dan hak positif. Sebagai hak negatif, kebebasan ini tidak dapat dipaksakan oleh pihak manapun, sedangkan kebebasan ini sebagai hak positif mengandung arti bahwa setiap orang berhak memilih dan meyakini agama atau keyakinan yang dianutnya, termasuk memilih untuk tidak beragama dan berkeyakinan,<ref name=":2" /> bergabung dalam komunitas agama tertentu, berpindah agama, atau dipaksa tinggal dalam sebuah agama dengan cara melawan kehendak bebasnya.<ref>{{Cite web|last=Gusti|first=Otto|date=17 September 2019|title=Prinsip Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan|url=https://mediaindonesia.com/opini/259773/prinsip-kebebasan-beragama-atau-berkeyakinan|website=Media Indonesia|access-date=8 Desember 2021}}</ref>
 
== Perdebatan ==
 
=== Teistik, non-teistik dan ateis ===
Pada tahun 1993, komite hak asasi manusia PBB menyatakan bahwa pasal 18 dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik "melindungi kepercayaan teistik, non-teistik dan ateistik, serta hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apa pun."<ref>{{Cite web|last=Refugees|first=United Nations High Commissioner for|title=Refworld {{!}} CCPR General Comment No. 22: Article 18 (Freedom of Thought, Conscience or Religion)|url=https://www.refworld.org/docid/453883fb22.html|website=Refworld|language=en|access-date=2021-11-19}}</ref>komite lebih lanjut menyatakan bahwa "kebebasan untuk memiliki atau menganut suatu agama atau kepercayaan tentu memerlukan kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan, termasuk hak untuk mengganti agama atau kepercayaan seseorang dengan yang lain atau untuk mengadopsi pandangan ateistik." Penandatangan konvensi mengecualikan dari "penggunaan ancaman kekerasan fisik atau sanksi pidana untuk memaksa orang percaya atau tidak percaya" untuk menarik kembali keyakinan mereka atau pindah agama. Meskipun demikian, agama minoritas masih dianiaya di banyak bagian dunia.<ref>{{Cite web|last=Federasi HAM International|date=2003-08-01|title=Discrimination against religious minorities in Iran|url=https://www.fidh.org/IMG/pdf/ir0108a.pdf|website=FDIH.org|access-date=2021-11-19}}</ref>
 
=== Agama dan negara ===
Topik hubungan agama dan negara kerap diusung dalam perdebatan mengenai kebebasan beragama. Negara di sisi lain berperan menjaga dan menciptakan suasana rukun, damai, serta toleransi bagi setiap umat beragama.<ref>{{Cite web|last=Rukmini|first=Dewi|date=29 November 2021|title=Isi Bunyi Pasal 29 UUD 1945 tentang Kebebasan Beragama dan Maknanya|url=https://tirto.id/isi-bunyi-pasal-29-uud-1945-tentang-kebebasan-beragama-dan-maknanya-glPa|website=Tirto|access-date=8 Desember 2021}}</ref> Di beberapa negara yang mengusung ideologi liberalisme, kerap memisahkan peran negara dan agama. Agama cukup berhenti pada keyakinan yang dianut individu, sementara negara berlaku sebagai institusi yang melindungi setiap individu.<ref name=":1" /> Selain pandangan liberal juga ada pandangan negara dengan satu agama, yang menawarkan pemikiran ada satu agama yang didukung oleh negara. Segala kehidupan individu diatur dengan produk hukum yang dilahirkan oleh satu agama saja, dunia mengenal konsep ini dengan [[teokrasi]].<ref>{{Cite web|last=Lazuardy|first=Dimaz|title=Pengertian negara agama atau negara teokrasi|url=http://www.pojokwacana.com/pengertian-negara-agama-atau-negara-teokrasi/|website=pojokwacana.com|access-date=2021-11-24}}</ref> Ada juga yang memilih untuk melakukan jalan tengah, seperti [[Indonesia]] yang mengusung konsep [[Demokrasi Pancasila|negara hukum pancasila]], yang tetap memperbolehkan agama lain masuk tapi juga tetap menghadirkan peran negara dalam mengatur ideologi individu. Dalam konsep ini tidak ada yang mutlak antara agama dan negara, pun juga negara tidak memiliki satu agama pedoman dalam melahirkan produk hukum.<ref>{{Cite book|last=Seno Adji|first=Oemar|date=1980|url=http://worldcat.org/oclc/10924911|title=Peradilan bebas negara hukum|location=Jakarta|publisher=Erlangga|oclc=10924911|url-status=live}}</ref>
 
== ReferensiRujukan ==
<references />