Pendudukan Jepang di Sumatra Barat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Nugrah Gustama (bicara | kontrib)
Revisi istilah-istilah daerah administrasi dalam bahasa Jepang.
Baris 10:
Jepang memulai invasinya di Sumatra pada Februari 1942 dengan menerjunkan unit-unit pasukan payung di [[Palembang]]. Menurut Audrey Kahin, Jepang bermaksud mendahului rencana Belanda yang akan merusakkan instalasi minyak di dekat Palembang. Dari Palembang, balatentara Jepang segera menyebar ke arah selatan dan utara Sumatra. Pada pertengahan Maret, pasukan dalam jumlah yang lebih besar mendarat di pantai utara dan timur Sumatra, lalu bergerak cepat ke selatan.{{sfn|Kahin|2005|pp=135}}
 
Melalui [[Perjanjian Kalijati]] pada 8 Maret 1942, Belanda menyerahkan wilayah jajahan Indonesia kepada Jepang. Setelah pendudukan dimulai, Jepang membagi Indonesia dalam tiga wilayah pemerintahan militer. Wilayah Sumatra berada di bawah Departemen Pemerintahan Militer Angkatan Darat "Rikuyun(''"Rikugun'') ke-25 di Singapura yang dipimpin [[Moritake Tanabe|Jenderal Moritake Tanabe]]. Namun, komandan militer Belanda di Sumatra A. I. Spits mendeklarasikan tentara Belanda di Sumatra akan terus berjuang hingga tetes darah terakhir.{{sfn|Kahin|2005|pp=136}}
 
Masuknya Jepang ke Sumatra Barat hampir berbarengan dengan pergerakan mereka di berbagai daerah Sumatra lainnya. Tentara angkatan perang Jepang memasuki [[Kota Padang]] pada 17 Maret 1942. Dalam hitungan hari, seluruh Sumatra Barat dapat mereka kuasai dan komandan militer Belanda di Sumatra menyerah tanpa syarat kepada Jepang.{{sfn|Kahin|2005|pp=135}}
Baris 27:
Akademisi [[Audrey Kahin]]—yang meraih gelar doktor dalam ilmu sejarah Asia Tenggara dari [[Universitas Cornell]]{{sfn|The Jakarta Post|22 Januari 2014}}—mencatat, salah satu fokus tentara pendudukan Jepang selama tahun pertama pendudukan adalah memfungsikan aparatur pemerintahan di Sumatra sehingga dengan demikian mereka dapat memanfaatkan secara efisien sumber daya vital di Sumatra, terutama ladang minyak dekat Palembang dan perkebunan karet di [[Karesidenan Sumatra Timur|Sumatra Timur]]. Jepang menghidupkan kembali sistem pemerintahan peninggalan Belanda dan mengangkat kembali sebagian besar mantan pejabat Indonesia yang pernah duduk di birokrasi sebelumnya.{{sfn|Kahin|2005|pp=135}}<ref>http://repositori.kemdikbud.go.id/14166/1/Peranan%20desa%20dalam%20perjuangan%20kemerdekaan%20di%20sumatera%20barat%201945-1950.pdf</ref>
 
Sumatra dalam struktur pemerintahan pendudukan pada mulanya berada di bawah kekuasaan [[Angkatan Darat ke-25 (Jepang)|Angkatan Darat ke-25]] yang berpusat di [[Singapura]]. Namun, Komando Angkatan Darat ke-25 berkesimpulan bahwa mereka tidak mungkin memerintah Sumatra dari markas besarnya di Singapura, terutama dalam usaha melindungi daerah di sekitar instalasi-instalasi vital. Pada 1 Mei 1943, markas besar Angkatan Darat ke-25 dipindahkan dari Singapura ke [[Kota Bukittinggi|Bukittinggi]] dan Sumatra yang sebelumnya tergabung bersama Malaya dijadikan unit pemerintahan sendiri.{{sfn|Kahin|2005|pp=136}} Jepang membagi Sumatra menjadi 10 ''shushū'' (identik dengan daerah administratif residen pada zaman Belanda) yang masing-masing dikepalai oleh seorang ''shu chokanshūchōkan.''
 
Keresidenan Sumatra Barat dibentuk pada Agustus 1942 dengan nama [[SumatraSumatora NeishiNishi KaigunKaigan ShuShū]]. Keresidenan ini beribu kota di Padang. Mantan Gubernur [[Prefektur Toyama]] [[Yano Kenzo]] menjabat sebagai ''shu'' ''chokanshūchōkan'' pertama.{{sfn|Kahin|2005|pp=142}} Sebagai pemimpin sipil untuk wilayah Sumatra Barat, Yano Kenzo tiba di Padang tanggal 9 Agustus 1942 bersama dengan 68 orang pegawai sipil.{{sfn|Asnan|2006|pp=119}} Pembagian unit daerah administratif Sumatra Barat hampir sepenuhnya mengacu pada pembagian yang dilakukan oleh Belanda pada tahun 1935 yang terdiri dari 5 ''afdeelingen'', 19 ''onderafdeelingen'', 20 ''districten'', dan 49 ''onderdistricten'' serta sedikitnya 430 nagari. Sejarawan [[Gusti Asnan]] mencatat, sedikit perbedaan dari pembagian unit daerah administratif oleh Jepang adalah dikeluarkannya Fuku Bun Bangkinang dan dimasukkannya daerah itu ke dalam [[RiauRio ShuShū]].
 
Dalam menjalankan roda pemerintahannya di Sumatra Barat, Jepang tidak banyak melakukan perubahan struktur pemerintahan, kecuali perubahan nomenklatur ke dalam bahasa Jepang. ''Afdeeling'' yang dikepalai oleh asisten residen digantidiubah dengan namamenjadi ''bunbunshū'', yang dikepalai oleh seorang ''bun shu chobunshūchō''. ''Fuku bunshuOnderafdeeling'' yang dikepalai oleh seorangkontroler ''bakudiubah bunmenjadi cho'',fuku menggantikan istilah ''onderafdeelingbunshū'' yang dikepalai oleh kontrolerseorang ''fuku bunshūchō''. ''District'' yang dikepalai oleh demang diubah menjadi ''gun'' yang dikepalai oleh seorang ''gun chogunchō''. ''Onderdistrict'' yang dikepalai oleh asisten demang digantidiubah dengan istilahmenjadi ''fukofuku gun'', yang dikepalai oleh seorang ''fuko gunfuku chogunchō''.{{sfn|Asnan|2006|pp=119}}
 
Kecuali posisi penting dalam pemerintahan, Jepang masih menggunakan pegawai-pegawai pribumi yang sebelumnya duduk di administrasi Hindia Belanda<ref>https://books.google.co.id/books?id=Yqo5EROTOhAC&q=%22Karena+kekurangan+tenaga+sipil+maka+banyaklah+kedudukan+administrasi%22&dq=%22Karena+kekurangan+tenaga+sipil+maka+banyaklah+kedudukan+administrasi%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwiIroiB_IHrAhWWaCsKHRRGBksQ6AEwAHoECAAQAg</ref> dengan syarat tidak melanggar otoritas Jepang.{{sfn|Siti Fatimah|2011|pp=82-83}} Pejabat Bumiputra tertinggi mengepalai ''gun'' dan struktur di bawahnya, ''fuku gun''. Unit pemerintahan yang terkecil yaitu ''[[nagari]]'' diberi istilah ''son'' dan kepala nagari dinamakan ''son chosonchō''.{{sfn|Asnan|2006|pp=119}}
 
== Penerimaan ==
Baris 59:
<blockquote class="toccolours" style="text-align:justify; width:25%; margin:0 0em 1em .25em; float:right; padding: 10px; display:table; margin-left:10px;">"...Minangkabau di Sumatra, yang berada di bawah yurisdiksi saya..., tampaknya sebuah suku yang paling cerdas dan maju di bidang ekonomi di antara suku-suku yang ada; dan kepedulian politik mereka pun mengagumkan. Jadi, tidak mengherankan kalau mereka ini mempunyai keinginan yang kuat untuk mengakhiri 350 tahun penindasan Belanda, dan meraih kemerdekaan penuh. Yakin bahwa tentara pendudukan Jepang akan membantu tercapainya impian jangka panjang mereka, mereka mau bekerja sama. Tetapi, setelah pendudukan berlangsung selama dua tahun, tak kunjung ada perubahan."<p style="text-align: right;">— Yano Kenzo.{{sfn|Kahin|2005|pp=143}}</blockquote>
 
Saat menjabat sebagai Gubernur Sumatra Barat, Yano mendirikan [[Kerukunan Minangkabau]] (''Gui Gan'') sebagai badan konsultasi dirinya dengan tokoh-tokoh Minangkabau.{{sfn|Kahin|2005|pp=142}}{{efn|Kerukunan Minangkabau didirikan oleh Yano pada 1 Oktober 1942. Anggotanya terdiri dari 10 sampai 20 orang, yang diwakili dari setiap distrik, subdistrik, kepala nagari, kepala adat, para ulama, pemuda, dan kaum terpelajar.}} Kerukunan Minangkabau mengadakan pertemuan secara teratur di kediaman gubernur. Anggota-anggotanya adalah representatif dari ulama, politisi, pemimpin adat, dan akademisi yang bertindak sebagai dewan penasihat informal bagi ''shu chokanshūchōkan''.{{sfn|Kahin|2005|pp=142}} Gusti Asnan menyebut Kerukunan Minangkabau sebagai [[Dewan Perwakilan Rakyat]] (DPR) periode awal. Ketika Komando Angkatan Darat ke-25 mengeluarkan perintah pendirian ''shushū sangi sangikaikai'' atau DPR di setiap ''shushū'' pada 8 November 1943, pemerintah sipil Sumatra Barat meneruskan Kerukunan Minangkabau yang telah ada sebagai ''shushū sangikai'' dan [[Muhammad Sjafei]] ditunjuk sebagai ketua.{{cn}}
 
=== Dukungan ulama Minangkabau ===
Baris 78:
 
== Pengerahan tenaga penduduk ==
:''Lihat pula: [[Giyugun]] dan [[romusha|rōmusha]]''
 
[[Berkas:Dekorasi di Tugu Simpang Haru.jpg|jmpl|300x300px|Relief di [[Monumen Padang Area|Tugu Padang Area]], Padang yang menggambarkan antusiasme rakyat bergabung dengan Giyugun]]
Baris 90:
Giyugun menjadi satu-satunya kekuatan militer yang dibentuk Jepang di Sumatra Barat.{{sfn|Kahin|2005|pp=149}} Angkatan Giyugun mula-mula dibentuk di [[Kota Padang|Padang]] dan wilayah pesisir.{{sfn|Kahin|2005|pp=147}} Di wilayah dataran tinggi, Giyugun baru dibentuk pada pengujung 1944. Propaganda Jepang semakin intensif dalam tahun 1944. Berbagai macam kelompok yang ada disatukan dalam ''[[Hokokai]]'', yang dipimpin oleh Muhammad Syafii dan Khatib Sulaiman dari golongan gerakan nasionalis atau terpelajar; Datuk Parpatih Baringek dan Datu Majo Uang dari kelompok adat; serta Djamil Djambek dan Sutan Mansur dari kelompok agama.{{sfn|Siti Fatimah|1993}} ''Giyugun Koenkai'' (lalu berganti ''Giyugun Koenbu''), perhimpunan pendukung Giyugun, dibentuk sebagai penghubung antara tokoh sipil dengan tokoh militer.<ref>{{Cite book|last=Penerangan|first=Indonesia Departemen|date=1959|url=https://books.google.co.id/books?id=VBRIJAQx3zsC&pg=PA541&lpg=PA541&dq=giyu+gun+ko+en+kai&source=bl&ots=Z-zQ3r_iAI&sig=ACfU3U2k15gGofMcB7Z4LRVfNIezMswiiA&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwi3l7nfgNnsAhX-xDgGHVsxDPEQ6AEwBnoECAIQAg#v=onepage&q=giyu%20gun%20ko%20en%20kai&f=false|title=Propinsi Sumatera Tengah|publisher=Kementerian Penerangan|language=ms}}</ref><ref>{{Cite book|last=Bahar|first=Dr Brigjen (Purn) Saafroedin|url=https://books.google.co.id/books?id=Tk1jDwAAQBAJ&pg=PA110&lpg=PA110&dq=giyu+gun+ko+en+kai&source=bl&ots=b5zM8aLX7T&sig=ACfU3U3z46CuyHMhwiNyPfENaY2l8KXqOA&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwi3l7nfgNnsAhX-xDgGHVsxDPEQ6AEwA3oECAQQAg#v=onepage&q=giyu%20gun%20ko%20en%20kai&f=false|title=ETNIK, ELITE DAN INTEGRASI NASIONAL: MINANGKABAU 1945-1984 REPUBLIK INDONESIA 1985-2015|publisher=Gre Publishing|language=id}}</ref> ''Haha No Kai'', organisasi sayap Giyugun yang beranggotakan perempuan didirikan untuk menyiapkan perbekalan untuk para perwira.{{sfn|Kahin|2005|pp=148}} Sampai proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, Giyugun telah menyelenggarakan dua kali latihan bagi opsirnya.{{sfn|Asnan|2003|pp=115}}
 
Seiring eskalasi ketegangan [[Perang Pasifik]], Jepang meningkatkan kontrol terhadap penduduk. Dalam upaya memenuhi kebutuhan terhadap tenaga kerja, otoritas Jepang mengenakan kerja wajib ''romusharōmusha'' kepada penduduk untuk berbagai keperluan Jepang, seperti membangun jalan raya, jalur kereta api, jembatan, benteng-benteng, dan terowongan perlindungan. Selain itu, kepada para pegawai negeri, pedangang, anak-anak sekolah serta penduduk yang tidak ikut kerja paksa dikenai ''kinro hoshi'', kerja bakti mengumpulkan batu-batu kali, pasir, dan kerikil serta mengangkutnya ke tempat-tempat yang diperlukan.{{sfn|Asnan|2003|pp=116}} Bunker dan terowongan perlindungan peninggalan Jepang ditemukan di Padang dan Bukittinggi. [[Jalur kereta api Muaro–Pekanbaru]] adalah hasil kerja paksa yang melibatkan kurang lebih 5.000 tahanan perang dan 30.000 pekerja ''romusharōmusha''.
 
Lewat jalur pendidikan, Jepang melakukan perubahan-perubahan secara mendasar di Sumatra Barat. Sekolah-sekolah dimobilisasi untuk kepentingan Jepang. Bahasa Indonesia dijadikan bahasa pengantar di sekolah untuk mempekenalkan kebudayaan Jepang dan pada saat yang sama, para murid dalam berbagai tingkatan diajarkan berbahasa Jepang.<ref>{{Cite book|last=Asoka|first=Andi|date=2005|url=https://books.google.co.id/books?id=JllxAAAAMAAJ&q=%22*+dan+Aisyiah,+yang+sebenarnya%22&dq=%22*+dan+Aisyiah,+yang+sebenarnya%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwiazMi5_djsAhW2yDgGHd0LB10Q6AEwAXoECAAQAg|title=Sawahlunto, dulu, kini, dan esok: menyongsong kota wisata tambang yang berbudaya|publisher=Pusat Studi Humaniora (PSH), Unand kerja sama dengan Kantor Pariwisata, Seni, dan Budaya, Kota Sawahlunto, Sumatra Barat|isbn=978-979-3723-50-1|language=id}}</ref> Sementara itu, golongan terpelajar, terutama para guru, pegawai negeri, dan murid-murid dijadikan "orang Jepang baru". ''Seikeirei'' (rukuk menghadap istana kaisar di Tokyo) dan ''mukto'' (memperingati arwah-arwah pahlawan Jepang) dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah mendengar pidato Shu Cho Kan''shūchōkan'' atau para petinggi Jepang. ''Keirei'' (memberi hormat dengan sikap berdiri) wajib dilakukan setiap kali berpapasan dengan pembesar–bahkan mobil–Jepang.{{sfn|Asnan|2003|pp=115}}{{sfn|Asnan|2003|pp=116}} Penanggalan [[Masehi]] yang digunakan diganti dengan [[Tahun Jepang|tahun Sumera]] yang selisihnya 660 tahun, sementara tanda waktu disesuaikan dengan waktu Jepang yang selisihnya sekitar 2,5 jam dari waktu Tokyo.{{sfn|Asnan|2003|pp=115}}{{sfn|Asnan|2003|pp=116}}
 
=== Perempuan ===