Aloei Saboe: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
k Menambahkan Informasi dan Referensi Terpercaya
Baris 33:
 
Pada tanggal 23 Januari 1942, Aloei Saboe ikut dalam gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia di Gorontalo. Momen bersejarah ini menjadi puncak perjuangan Aloei Saboe bersama dengan Nani Wartabone, dan Koesno Danupoyo untuk mengambil alih pemerintahan Hindia Belanda dan kemudian memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Gorontalo. Bersama rakyat Gorontalo, para tokoh ini kemudian melumpuhkan dan menangkap semua pejabat Belanda. Mereka kemudian menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengibarkan bendera Merah Putih untuk pertama kalinya, serta membentuk pemerintahan daerah di Gorontalo yang saat itu diproklamasikan sebagai bagian dari pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).<ref>Hercahyani, D. (2008). Sejarah pembentukan Gorontalo dari Kabupaten menjadi propinsi 1953-2000= the history of installation of Gorontalo regency into a province 1953-2000.</ref> Peristiwa 23 Januari 1942 kemudian dikenal sebagai hari patriotik kemerdekaan Indonesia di Gorontalo, 3 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh [[Soekarno]] dan [[Mohammad Hatta]] di Jakarta.<ref>Marunduh, S. U. (1988). ''Peristiwa Merah Putih 23 Januari 1942 di Daerah Gorontalo''. Fakultas Sastra, Universitas Sam Ratulangi.</ref>
 
=== Pengasingan ===
Oleh karena aktivitas perlawanan dan perjuangan kemerdekaan yang sering dilakukan, dr. Aloei Saboe kemudian sering ditangkap, dipenjarakan, serta diasingkan di beberapa tempat. Penahanan dr. Saboe pertama kali terjadi pada tahun 1943, dimana ia dipenjarakan di wilayah Teling, [[Kota Manado|Manado]]. Selanjutnya ia ditahan kembali pada tahun 1945 di beberapa tempat, diantaranya di [[Kota Balikpapan|Balikpapan]], Manggar, Tanah Grogot, Tanjung Aruh, hingga ke [[Kota Makassar|Makassar]]. Aloei Saboe kembali harus diasingkan ke pulau [[Morotai]] setelah pengadilan militer [[Pemerintahan Sipil Hindia Belanda|NICA]] menjatuhkan hukuman kepadanya.
 
=== Perjuangan Setelah Kemerdekaan ===
Baris 44 ⟶ 41:
Pada tahun 1958, terjadi peristiwa pemberontakan [[Permesta]] (Perjuangan Rakyat Semesta) di [[Semenanjung Utara, Sulawesi|Semenanjung Utara Sulawesi]]. Dalam peristiwa ini, dr. Aloei Saboe ikut terlibat dalam membantu operasi penumpasan Permesta di Gorontalo. Aloei Saboe berhasil menyembunyikan bahan bakar, bahan makanan, serta peralatan medis dan obat-obatan selama berbulan-bulan di sebuah Rumah Sakit Lepra di wilayah [[Kabila, Bone Bolango|Kabila]]<ref>Saboe, H. A. ''Penderitaanku Untuk Sangsaka Merah Putih''</ref> (Rumah Sakit inilah yang kini dikenal dengan nama Rumah Sakit Umum Daerah Toto Kabila). [[Tentara Nasional Indonesia|TNI]] yang dalam kondisi tidak menguntungkan pada akhirnya mampu memenangkan pertempuran. Strategi perang yang dicetuskan dr. Aloei Saboe terbukti berhasi membantu pasukan TNI yang saat itu dipimpin oleh [[Mayor]] Agus Pramono hingga akhirnya mampu menumpas habis perlawanan Permesta di Gorontalo. Kemenangan di wilayah Gorontalo menjadi sangat penting untuk mempersempit ruang gerak Permesta di wilayah utara pulau [[Sulawesi]].
 
=== Pengasingan =dan Penjara ==
=== Pengabdian di Bidang Kesehatan ===
Oleh karena aktivitas perlawanan dan perjuangan kemerdekaan yang sering dilakukan, dr. Aloei Saboe kemudian sering ditangkap, dipenjarakan, serta diasingkan di beberapa tempat. Penahanan dr. Saboe pertama kali terjadi pada tahun 1943, dimana ia dipenjarakan di wilayah Teling, [[Kota Manado|Manado]]. Selanjutnya ia ditahan kembali pada tahun 1945 di beberapa tempat, diantaranya di [[Kota Balikpapan|Balikpapan]], Manggar, Tanah Grogot, Tanjung Aruh, hingga ke [[Kota Makassar|Makassar]]. Aloei Saboe kembali harus diasingkan ke pulau [[Morotai]] setelah pengadilan militer [[Pemerintahan Sipil Hindia Belanda|NICA]] menjatuhkan hukuman kepadanya.
 
=== Dipenjara di masa pendudukan Jepang ===
Pada 3 Februari 1943 sampai 5 Agustus 1945 beliau ditangkap tentara Jepang untuk kemudian dipenjarakan di Kemp “Interniren” Teling, Manado. Diceritakan penyiksaan-penyiksaan yang beliau alami di antaranya:<ref>https://jurnalcelebes.id/2021/10/28/aloei-saboe-dokter-pejuang-dari-penjara-ke-penjara/</ref>
 
* ''Badan sampai batas leher dikubur dalam pasir di pantai Manado dan hanya kepala yang kelihatan di atas tanah''. Apabila datang ombak, wajahnya dipenuhi pasir yang tidak dapat dibersihkan dengan tangan, karena tangannya dikubur bersama badannya.
* ''Dengan kaki dan tangan terikat pada buritan perahu,'' berkali-kali beliau ditarik ke arah laut hingga kurang lebih 50 meter dari daratan, dan kemudian secara perlahan-lahan ditarik kembali ke pantai.
* ''Dengan badan yang dilumuri gula'', ''beliau diikat terbalik dengan kaki di atas'', di sebuah pohon yang banyak semut sehingga seluruh tubuh hingga ke lubang hidung dan telinga dikerumuni semut. Setelah diturunkan dari pohon, beliau dipukuli hingga wajahnya babak belur.
* ''Saboe juga pernah dipenjara pada ruangan kecil yang berukuran kira-kira 1×1,5 m dengan kepala diikat sehelai kain''. Biasanya dengan lilitan kain di kepala ini menunjukan bahwa yang bersangkutan akan menjalani hukuman mati atau tembak.
 
=== Dipenjara di masa pendudukan Belanda ===
 
* Pada 4 Desember 1945 sampai 25 Desember 1945 Dokter Aloei Saboe dipenjarakan di Markas Tentara NICA karena mengobati dan merawat 6 orang pejuang laskar berani mati yang terluka parah setelah melakukan penyerangan terhadap pos tentara NICA.
* Pada 25 Desember 1945 beliau dibebaskan dan dikenakan tahanan rumah. Selama berstatus sebagai tahanan rumah, beliau mengadakan rencana untuk melakukan penyerangan dan penangkapan terhadap komandan tentara NICA bersama laskar berani mati. Namun, rencana ini tercium oleh tentara NICA, sehingga beliau ditangkap dan diasingkan di atas kapal Piet Hein yang kala itu berada di pelabuhan Gorontalo. Beberapa waktu kemudian beliau dipindahkan ke kapal Yan Van Brackel. Di atas kapal terpedo ini, beliau menerima penyiksaan sangat berat, di antaranya dijemur dengan berbaring tanpa baju di atas plat/lempengan baja yang panas akibat teriknya matahari, tanpa diberi makan hingga beliau tidak sadarkan diri. Tercatat Dokter Aloei Saboe dikarantina di atas kedua kapal perang tersebut  sejak 12 Februari 1946 sampai 8 Maret 1946.
* Pada 8 Maret 1946, dengan penjagaan ketat tentara NICA yang dipimpin Mayor Weber, Dokter Aloei Saboe diterbangkan ke Balikpapan. Dalam perjalanan selama empat jam itu, beliau ditempatkan pada ruang khusus di bagian belakang pesawat yang sebagian lantainya dibuat dari kaca tebal, sehingga pandangan ke bawah terlihat secara transparan. Kelak di kemudian hari, pengalaman di pesawat terbang yang lantainnya transparan ini telah menimbulkan trauma kepada beliau untuk berpergian dengan pesawat terbang. Selama di [[Kota Balikpapan|Balikpapan]], beliau menjadi tahanan kepolisian di daerah Manggar. Oleh karena penjagaan terhadap dirinya tidak terlalu ketat, maka Dokter Aloei Saboe berkesempatan untuk bergabung dengan para pejuang dari Balikpapan yang pada saat itu sedang merencanakan penyerbuan pada Kemp Bronsbeek, daerah tempat tinggal tentara Belanda. Walaupun penyerbuan itu cukup berhasil, namun beberapa pejuang dapat ditangkap. Saat diinterogasi tentara Belanda, mereka mengakui bahwa Dokter Aloei Saboe ikut serta merencanakan penyerbuan sehingga diputuskan oleh NICA untuk memindahkan Dokter Aloei Saboe ke Makasar.
* Pada 26 Maret 1946 dengan pengawalan NICA, Dokter Aloe Saboe dipindahkan ke Makassar dengan menggunakan kapal perang “Van Heutsz” dan dijebloskan ke penjara Port Rotterdam. Beliau sempat diinterogasi oleh ''overste'' Dr. Bijlmer yang menawarkan bekerja sama NICA dan akan menjadikan Dokter Saboe sebagai Inspektur ''van Gzondheit Geroote Oost''. Namun penawaran tersebut ditolak oleh Dokter Aloei Saboe sehingga beliau dipindahkan menjadi tawanan di KIS-Kemp  yang merupakan markas tentara Westerling. Selama berada di KIS-Kemp, beliau tetap berkomunikasi dengan para pejuang. Pada suatu ketika seorang petugas pembagi makanan tertangkap oleh penjaga ketika sedang menyelipkan sebuah surat dari Gubernur Sulawesi Dr. G.S.S.J Ratulangi yang ditujukan kepada Dokter Aloei Soboe. Surat itupun disita oleh tentara NICA padahal isinya hanya menanyakan tentang kondisi di Gorontalo. Akibatnya beliau dipindahkan kembali ke Balikpapan dengan kapal laut bernama “Bos”.
* Pada 16 April 1946, Dokter Aloei Saboe mendekam ulang di markas polisi Belanda ‘Kilat’ sampai akhirnya pada 24 April 1946 markas tersebut diserbu dan dibakar oleh tentara pejuang ''Hizbullah''. Beliau kemudian dipindahkan dan ditahan di markas polisi tanah Grogot. Tanggal 30 April 1946, markas ini pun diserbu dan dibakar oleh pasukan ''Hizbullah''. Akhirnya beliau diasingkan di Tanjung Aru sebuah daerah yang sangat terpencil dan hampir tidak berpenduduk. Pada 16 Mei 1946, Dokter Aloei Saboe dihadapkan pada pengadilan militer di Balikpapan dengan tuduhan berusaha menumbangkan pemerintahan Belanda dan oleh pengadilan militer beliau divonis sebagai tawanan perang dan harus menjalani pengasingan, di Kemp ''Prisoner of War'' Pulau Morotai
* Pada 20 Mei 1946 Dokter Aloei Saboe mulai menjalani pengasingan di Pulau Morotai. Di dalam kamp ini, beliau bertemu dengan rekan seperjuangan dari Gorontalo yaitu Nani Wartabone dan Kusno Danupoyo. Oleh karena  di dalam kamp  para tahanan sering menerima perlakuan kasar dari para penjaga, maka terjadilah pemberontakan dalam kemp di Morotai ini. Akhirnya beliau diasingkan ke Kampung Daruba, suatu tempat terpencil di Pulau Morotai dan dipekerjakan pada rumah sakit setempat. Di sini beliau mendapat kunjungan dari Sultan Ternate Muhammad Djabir Syah, yang merangkap Residen Maluku Utara. Atas bantuan Sultan Ternate ini, maka istri dokter Saboe beserta tiga anaknya didatangkan dari Gorontalo dan diberi tempat tinggal berupa tenda di Kampung Daruba.
* Pada Februari 1948, Dokter Aloei Saboe dipindahkan ke Tilamuta dan dikenakan tahanan rumah dengan pengawasan tentara Belanda yang dipimpin oleh Kapten Smith. Selama pengasingan di Tilamuta beliau ditugaskan di Rumah Sakit Tilamuta dan bersama dengan para pearawat Rumah Sakit membangun dua buah tugu peringatan yang berlokasi di Tilamuta. Akhirnya Berdasarkan perjanjian Roem-Royen yang mencantumkan pembebasan untuk seluruh tawanan dan tahanan politik, maka Dokter Aloei Saboe termasuk yang dibebaskan dari tahanan rumah dan tidak lagi berada di bawah pengawasan NICA.
 
== Dokter Pejuang dan Pengabdiannya ===== Pengabdian di Bidang Kesehatan ===
Sebagai seorang dokter, Profesor Aloei Saboe senantiasa mengabdikan dirinya untuk melayani dan mengobati pasien dimanapun dan kapanpun ia bertugas. Ketika bertugas di Gorontalo, dr. Saboe bersama dengan dr. [[Mansyoer Mohammad Dunda]] (dr. M.M. Dunda) saling bekerja sama untuk melayani masyarakat dari ujung utara hingga ke bagian selatan Gorontalo.<ref>https://www.kompasiana.com/ismanjusuf/550e594f813311c12cbc63fa/jejak-langkah-perjuangan-prof-dr-hi-aloei-saboe</ref> Aloei Saboe juga menaruh perhatian khusus dalam pemberantasan penyakit [[Penyakit Hansen|lepra atau kusta]]. Lebih dari 30 tahun bertugas sebagai dokter, Aloei Saboe turut memperdalam tentang penyakit [[Penyakit Hansen|lepra]] di sejumlah daerah diantaranya di [[Kota Semarang|Semarang]], [[Kabupaten Blora|Blora]] (di [[Randublatung, Blora|Randublatung]], [[Plantungan, Blora, Blora|Plantungan]], dan [[Cepu, Blora|Cepu]]), [[Kabupaten Gresik|Gresik]], [[Kabupaten Bangkalan|Bangkalan]], [[Ambon, Maluku|Ambon]] dan juga Gorontalo. Pengabdian untuk tanah kelahirannya diwujudkan dengan mendirikan Rumah Sakit Khusus Kusta berkapasitas 300 orang di wilayah [[Kabila, Bone Bolango|Kabila]] yang kini menjadi bagian dari wilayah [[Kabupaten Bone Bolango]], serta Rumah Sakit di [[Tilamuta, Boalemo|Tilamuta]], yang wilayahnya kini menjadi ibukota [[Kabupaten Boalemo]].