Komisi Yudisial Republik Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
RaFaDa20631 (bicara | kontrib)
svg
HsfBot (bicara | kontrib)
k v2.04b - Fixed using Wikipedia:ProyekWiki Cek Wikipedia (Tanda baca setelah kode "<nowiki></ref></nowiki>")
Baris 157:
 
== Tujuan Pembentukan ==
Tujuan dibentuknya Komisi Yudisial Republik Indonesia adalah:<ref>{{Cite web |url=http://komisiyudisial.go.id/statis-22-tujuan-ky.html |title=Tujuan KOmisi Yudisial |access-date=2014-05-30 |archive-date=2014-04-29 |archive-url=https://web.archive.org/web/20140429222148/http://www.komisiyudisial.go.id/statis-22-tujuan-ky.html |dead-url=yes }}</ref>:
# Mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang mandiri untuk menegakkan hukum dan keadilan.
# Meningkatkan integritas, kapasitas, dan profesionalitas hakim sesuai dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam menjalankan kewenangan dan tugasnya.
 
Sementara menurut A. Ahsin Thohari dalam bukunya ''Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)'', di bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau lebih dari lima hal sebagai berikut:<ref name="ELSAM">A. Ahsin Thohari (2004), ''Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)'', Jakarta ISBN 979-8981-35-9</ref>:
# Lemahnya pengawasan secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena pengawasan hanya dilakukan secara internal saja.
# Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah ''(executive power)'' –dalam hal ini Departemen Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman ''(judicial power)''.
Baris 168:
# Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.
 
Sedangkan tujuan pembentukan Komisi Yudisial menurut A. Ahsin Thohari adalah:<ref name="ELSAM"/>:
# Melakukan pengawasan yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya pengawasan secara internal saja. Pengwasan secara internal dikhawatirkan menimbulkan semangat korps ''(l’esprit de corps)'', sehingga objektivitasnya sangat diragukan.
# Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis nonhukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya.