Harun Thohir: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 50:
Bulan Juli tahun 1964 ia ditugaskan di Tim Brahma I Basis II operasi A KOTI. Bergabung bersama Dwikora, ia dikirim ke Sumbu, Riau untuk menyusup ke Singapura. Dalam misi penyusupan beliau sangat ahli menyamar. Berbekal wajah yang seperti orang Cina dan keahlian bahasa asing, seperti Cina Belanda dan Inggris. Membuatnya tidak kesulitan memasuki area target. Ia sukses memasuki Singapura tanpa hambatan. Seringkali Harun Tohir menyamar sebagai masyarakat biasa atau pelayan kapal<ref name=":3">{{Cite book|title=Ensiklopedia Pahlwan Nasional|last=Hadi|first=Kuncoro|date=2015|publisher=Relasi Inti Group|isbn=|location=Yogjakarta|pages=166|url-status=live}}</ref>.
 
Dalam misi KOTI basis X, beliau mendapatkan tugas berat bersama tiga teman lainnya yaitu Usman, Gani dan Raoep<ref name=":2" />. Misinya ialah ''demolision'':Sabotase sabotase objek vital militer atau ekonomi Singapura. Tanggal 8 Maret 1965 misi pun dijalankan, pada tanggal tersebut mereka memasuki Singapura saat tengah malam. Bersama teman-temannya mereka mengamati dan merumuskan sasaran yang cocok untuk di jadikan tempat sabotase (peledakan bom). Siang harinya, mereka berhasil menempatkan bom seberat 12,5 kilogram di Basement Hotel Mc Donald, di [[Orchard Road]]. Tepat pukul 03.:07 shubuh, tanggal 10 Maret bom tersebut meledak<ref name=":1" />.
 
TargediTragedi meledaknya Hotel Mac Donald mengegerkan masyarakat dan pemerintah Singapura. Dengan cepat aparat Singapura dikerahkan untuk menyelidiki dan menangkap pelakunya. Setelah beredar berita tersebut, Harun dan teman-temannya berpencar untuk melarikan diri. Harun melarikan diri bersama Usman menuju pelabuhan.
 
Pada tanggal 13 Maret 1965, Harun Tohir dan Usman melarikan diri dengan ''motorboat'' menuju pangkalan militer di Sumbu Riau. Namun sayang, ''motorboat tersebut''-nya mogok di tengah laut. Akibatnya, mereka berdua ditangkap oleh petugas patroli laut Singapura. Pukul 09.00 mereka di bawa ke Singapura sebagai tawanan. Semejak kejadian tersebut mereka mendekam di penjara selama tujuh7 bulan sebelum hukuman resmi dijatuhkan<ref name=":4" />.
 
Pada akhirnya, tanggal 4 Oktober 1965, kasus peledakan bom oleh Harun Tohir segera digelar di Mahkamah Tinggi Singapura (''High Court''). Saat pengadilan berlangsung Harun Tohir membela diri, karena pada kenyataannya beliau melakukan hal tersebut dalam rangka tugas negara yang sedang berperang, oleh karena itu Harun Tohir meminta diperlakukan dan diadili sebagai tawanan perang. Namun sayang, pengadilan tinggi Singapura menolak pembelaan diri tersebut. Dua minggu setelah pengadilan, hakim menjatuhi hukuman mati gantung kepada mereka dengan tuduhan pembunuhan terencana dengan aksi sabotase<ref name=":3" />.
 
Mendengar berita tersebut, pemerintah Indonesia mulai berdiplomasi untuk membujuk Singapura agar meringankan hukuman Harun dan temannya. Beberapa usaha telah dilakukan oleh pemerintahan Indonesia. Pada tanggal 5 Oktober 1966, Indonesia mengajukan banding ke Singapura namun ditolak. Selain itu juga, tanggal 17 Februari 1967 Indonesia berusaha membawa kasus ini ke pengadilan internasional di London, namun ditolak juga. Usaha mengirimkan [[Adam Malik]] sebagai menteri luar negeri pun, tidak membuahkan hasil<ref name=":1" />. Pemerintahan Singapura tetap menetapkan hukuman mati gantung.
 
== Gugur ==
Sehari sebelum eksekusi hukuman gantung, Harun bin Said menuliskan surat untuk Ibunya.
“… {{cquote|''hukumanHukuman jang akan diterima oleh Ananda adalah hukuman digantung sampai mati, di sini Dalam dunia ini akan tetap kembali ke Illahi… Mohon Ibunda ampunilah segala dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan Ananda selama ini… Ananda tutup surat ini dengan utjapan terima kasih dan selamat tinggal selama-lamanja, amin… Djangan dibalas lagi''}}<ref>{{Cite web|url=https://www.hariansejarah.id/2019/09/kopral-harun-bin-said-tohir-pejuang.html|title=Kopral Harun bin Said [Tohir]: Pejuang Dwikora|website=Harian Sejarah|language=en|access-date=2020-06-13}}</ref><br />Eksekusi akan dilaksanakan tanggal 17 Oktober 1967 pukul 06.00 pagi. Sejam sebelum itu, Harun Tohir menunaikan shalat subuh tuk terakhir kalinya. Dia pasrah atas ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Sebelum di eksekusi tangan beliau dibius dan dipotong. Setelah eksekusi jenazahnya langsung dikembalikan ke tanah air. Sehari setelahnyanya, tanggal 18 Oktober 1967 pemakaman militer digelar dengan haru.<ref name=":2" />
Eksekusi akan dilaksanakan tanggal 17 Oktober 1968 pukul 06:00 pagi. Sejam sebelum itu, Harun Tohir menunaikan shalat subuh untuk terakhir kalinya. Dia pasrah atas ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Sebelum di eksekusi tangan beliau dibius dan dipotong. Setelah eksekusi jenazahnya langsung dikembalikan ke tanah air. Sehari setelahnyanya, tanggal 18 Oktober 1968 pemakaman militer digelar dengan haru.<ref name=":2" />
 
Kematiannya, menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan. Presiden [[Soeharto]] sendiri, memberikan pesan khusus melalui Brigjen TNI [[Tjokropranolo]], kepada Tohir dan Usman yang menyatakan kebanggan atas perjuangan mereka berdua. Selain itu sejam setelah eksekusi Tohir para Penjabat Kuasa Usaha RI menggelar upacara penghormatan dan mengheningkan cipta Wisma Indonesia. Di depan peserta yang berbaju hitam Letkol A. Rachman memberikan sambutan yang berisi penghormatan kepada kedua pahlawan muda tersebut<ref name=":2" />.
“… ''hukuman jang akan diterima oleh Ananda adalah hukuman digantung sampai mati, di sini Dalam dunia ini akan tetap kembali ke Illahi… Mohon Ibunda ampunilah segala dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan Ananda selama ini… Ananda tutup surat ini dengan utjapan terima kasih dan selamat tinggal selama-lamanja, amin… Djangan dibalas lagi'' ”<ref>{{Cite web|url=https://www.hariansejarah.id/2019/09/kopral-harun-bin-said-tohir-pejuang.html|title=Kopral Harun bin Said [Tohir]: Pejuang Dwikora|website=Harian Sejarah|language=en|access-date=2020-06-13}}</ref><br />Eksekusi akan dilaksanakan tanggal 17 Oktober 1967 pukul 06.00 pagi. Sejam sebelum itu, Harun Tohir menunaikan shalat subuh tuk terakhir kalinya. Dia pasrah atas ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Sebelum di eksekusi tangan beliau dibius dan dipotong. Setelah eksekusi jenazahnya langsung dikembalikan ke tanah air. Sehari setelahnyanya, tanggal 18 Oktober 1967 pemakaman militer digelar dengan haru.<ref name=":2" />
 
Reaksi tak terima di tubuh KKO-AL atas perlakukan Singapura kepada prajuritnya terlihat dari kesiapan KKO-AL menyerbu SingapuranSingapura dalam waktu 24 jam. Sayangnya, aksi tersebut tidak mendapatkan izin dari pemerintah. MPRS Indonesia juga turut memberikan ucapan belasungkawa dan menyematkan gelar pahlwan kepada Tohir dan Usman. "Sebagai prajurit, saya ingin berkelahi" Reaksi ini disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta [[Ali Sadikin]] yang juga perwira KKO-AL. Berbeda dengan Kolonel KKO-AL Bambang yang menyampaikan kesedihannya lewat puisi yang berjudul "''Patah Tumbuh Berganti Untukuntuk Usman dan Harun''". Puisi tersebut masih tersimpan baik di Museum Korps Marinir, Jakarta<ref name=":2" />.
Kematiannya, menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan. Presiden Soeharto sendiri, memberikan pesan khusus melalui Brigjen TNI Tjokropranolo, kepada Tohir dan Usman yang menyatakan kebanggan atas perjuangan mereka berdua. Selain itu sejam setelah eksekusi Tohir para Penjabat Kuasa Usaha RI menggelar upacara penghormatan dan mengheningkan cipta Wisma Indonesia. Di depan peserta yang berbaju hitam Letkol A. Rachman memberikan sambutan yang berisi penghormatan kepada kedua pahlawan muda tersebut<ref name=":2" />.
 
Aksi kesedihan juga diperlihatkan masyarakat Indonesia. Ketika jenazah mereka tiba di Tanah Air, masyarakat menyambutnya dengan hari dan memenuhi Jalanjalan dari [[Bandar Udara Internasional Kemayoran|Kemayoran]] sampai [[Medan Merdeka|Merdeka Putih]]. Begitu pun saat saat pemakaman tanggal 18 Oktober 1968<ref name=":2" />.
Reaksi tak terima di tubuh KKO-AL atas perlakukan Singapura kepada prajuritnya terlihat dari kesiapan KKO-AL menyerbu Singapuran dalam waktu 24 jam. Sayangnya, aksi tersebut tidak mendapatkan izin dari pemerintah. MPRS Indonesia juga turut memberikan ucapan belasungkawa dan menyematkan gelar pahlwan kepada Tohir dan Usman. "Sebagai prajurit, saya ingin berkelahi" Reaksi ini disampaikan oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin yang juga perwira KKO-AL. Berbeda dengan Kolonel KKO-AL Bambang yang menyampaikan kesedihannya lewat puisi yang berjudul "Patah Tumbuh Berganti Untuk Usman dan Harun. Puisi tersebut masih tersimpan baik di Museum Korps Marinir, Jakarta<ref name=":2" />.
 
Aksi kesedihan juga diperlihatkan masyarakat Indonesia. Ketika jenazah mereka tiba di Tanah Air, masyarakat menyambutnya dengan hari dan memenuhi Jalan dari Kemayoran sampai Merdeka Putih. Begitu pun saat saat pemakaman tanggal 18 Oktober 1968<ref name=":2" />.
 
== Penghargaan ==