Keraton Surakarta Hadiningrat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baskoro Aji (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: referensi YouTube VisualEditor-alih
Baris 2:
| Name = Kawasan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
| Image =[[Berkas:Keraton Surakarta.jpg|250px]]
|caption = Tampak depan regolKori kemandunganKamandungan lorLor di keratonKeraton Surakarta
| Type = Nasional
| Criteria =Kawasan
Baris 21:
 
[[Berkas:Radyalaksana The Emblem of Surakarta Kingdom.svg|jmpl|200px|ka|''Sri Radya Laksana'', lambang [[Kasunanan Surakarta]].]]
'''Keraton Surakarta''' ({{lang-jv|ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀​ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ​ꦲꦢꦶꦤꦶꦤꦔꦿꦠ꧀|Karaton Surakarta Hadiningrat}}) adalah [[keraton|Istana]] resmi [[Kasunanan Surakarta]] yang terletak di Kotakota [[Surakarta]], [[Jawa Tengah]]. Keraton ini didirikan oleh [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] pada tahun [[1744]] sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat [[Geger Pecinan]] pada tahun [[1743|pada tahun1743]].
 
Walaupun [[Kasunanan Surakarta|Kasunanan Surakarta Hadiningrat]] Hadinigrat tersebut secara resmi telah menjadi bagian Negara [[Republik Indonesia]] sejak tahun [[1945]], kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal Sri Sunan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kerajaan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata utama di Kotakota [[Surakarta]]. Sebagian kompleks keraton merupakan [[Museum Keraton Solo|museum]] yang menyimpan berbagai koleksi milik kasunanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja [[Eropa]], replika pusaka keraton, dan [[gamelan]]. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan contoh arsitektur istana Jawa tradisional yang terbaik.
 
== Sejarah ==
{{utama|Kasunanan Surakarta}}
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Groepsportret tijdens een bezoek van de kroonprins de sultan Hamengkoe Negoro en Prins Pakoe Alam van Jogjakarta aan Pakoe Boewono X de Susuhunan van Solo TMnr 60001422.jpg|jmpl|ka|[[Pakubuwana X|Susuhunan Pakubuwana X]] bersama [[Hamengkubuwana VII|Sultan Hamengkubuwana VII]] dan putra mahkota [[Kesultanan Yogyakarta]], serta [[Paku Alam VII|Adipati Paku Alam VII]] (berdiri di belakang) berfoto bersama di Bangsal Maligi, Keraton Surakarta (sekitar tahun [[1910]]-[[1921]]).]]
[[Kesultanan Mataram]] yang kacau akibat pemberontakan [[Trunajaya]] pada tahun [[1677]] ibu kotanya oleh [[Sunan Amral|Susuhunan Amangkurat II]] dipindahkan di [[Kasunanan Kartasura|Kartasura]]. Pada masa [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] memegang tampuk pemerintahan, Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang [[Tionghoa]] yang mendapat dukungan dari orang-orang [[Jawa]] anti [[VOC]] tahun [[1742]], dan Mataram yang berpusat di [[Kartasura]] saat itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati [[Cakraningrat IV|Adipati Cakraningrat IV]], penguasa Madura Barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] yang menyingkir ke [[Ponorogo]], kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibu kota Mataram yang baru.
 
Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap "tercemar". [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi [[ibu kota]]/[[keraton]] yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru berjarak 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, tepatnya di Desa Sala, tidak jauh dari [[Bengawan Solo]]. Untuk pembangunan keraton ini, [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] membeli tanah seharga ''selaksa'' keping emas yang diberikan kepada ''akuwu'' (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki GedeGedhe Sala. Saat keraton dibangun, Ki GedeGedhe Sala meninggal dan dimakamkan di area keraton.
 
Setelah istana kerajaan selesai dibangun, nama Desa Sala kemudian diubah menjadi '''Surakarta Hadiningrat'''. Kata ''sura'' dalam [[Bahasa Jawa]] berarti "keberanian" dan ''karta'' berarti "makmur"; dengan harapan bahwa Surakarta menjadi tempat dimana penghuninya adalah orang-orang yang selalu berani berjuang untuk kebaikan serta kemakmuran negara dan bangsa. Dapat pula dikatakan bahwa nama ''Surakarta'' merupakan permainan kata dari [[Kartasura]]. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan [[Kesultanan Mataram]] oleh [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] kepada [[VOC]] pada tahun [[1749]]. Setelah [[Perjanjian Giyanti]] pada tahun [[1755]], keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi [[Kasunanan Surakarta]].
 
== Arsitektur ==
[[Berkas:Gapura gladag.jpg|jmpl|kiri|Gapura Gladhag.]]
[[Berkas:Alunalunutara-solo.jpg|jmpl|kiri|Alun-alunAlun Lor (Utara).]]
Keraton (Istana) Surakarta merupakan salah satu bangunan yang eksotis di zamannya. Salah satu arsitek istana ini adalah [[Pangeran Mangkubumi|KGPH. Mangkubumi]] (kelak bergelar [[Hamengkubuwana I|Sultan Hamengkubuwana I]]) yang juga menjadi arsitek utama [[Keraton Yogyakarta]]. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut ([[Yogyakarta]] dan [[Surakarta]]) banyak memiliki persamaan umum. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun serentak pada [[1744]]-[[1745]], namun dibangun secara bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh [[Pakubuwana X|Susuhunan Pakubuwana X]] yang bertahtabertakhta [[1893]]-[[1939]]. Sebagian besar keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran [[Jawa]]-[[Eropa]].
 
Secara umum pembagian keraton meliputi: Kompleks ''Alun-alunAlun Lor''/Utara, Kompleks Pendopo Bangsal Ageng ''SasonoPagelaran Sasana SumewoSumewa'', Kompleks Bangsal ''Siti Hinggil Lor''/Utara, Kompleks ''Kamandungan Lor''/Utara, Kompleks Bangsal ''Sri Manganti Lor''/Utara, Kompleks ''KedatonKedhaton'', Kompleks Bangsal ''Kamagangan'', Kompleks Bangsal ''Sri Manganti Kidul''/Selatan ''(?)'', dan BangsalKompleks ''Kamandungan Kidul''/Selatan, serta Kompleks ''Siti Hinggil Kidul''/Selatan dan ''Alun-alunAlun Kidul''/Selatan. Kompleks keraton ini juga dikelilingi dengan ''baluwarti'', sebuah dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam dinding adalah dari ''Kamandungan Lor''/Utara sampai ''Kamandungan Kidul''/Selatan.
 
=== Kompleks Alun-alunAlun Lor/Utara ===
[[Berkas:Sasana sumewa.jpg|jmpl|ka|Pedopo Bangsal Ageng Pagelaran SasonoSasana SumewoSumewa.]]
[[Berkas:Sasana Sumewa.jpg|jmpl|ka|Bagian dalam Pendopo Ageng Bangsal Pagelaran SasanoSasana SumewoSumewa.]]
Kompleks ini meliputi Gapura ''Gladag'', ''Pangurakan'', ''Alun-alunAlun Lor'', dan [[Masjid Agung Surakarta]]. ''Gladag'' yang sekarang dikenal dengan Perempatan Gladag di Jalan Slamet Riyadi [[Surakarta|Solo]]. Pada zaman dahulu, ''space area'' di sekitar ''Gladag'' dan gapura kedua dipakai sebagai tempat menyimpan binatang hasil buruan sebelum ''digladag'' (dipaksa) dan disembelih di tempat penyembelihan. Wujud arsitektur pada kawasan ''Gladag'' ini mengandung arti simbolis ajaran langkah pertama dalam usaha seseorang untuk mencapai tujuan ke arah ''Manunggaling Kawula -Gusti'' (Bersatunya Rakyat dengan Raja). Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu alun-alun menjadi tempat bertemunya Sri Sunan dan rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah alun-alun terdapat dua batang pohon beringin (''Ficus benjamina''; Famili ''Moraceae'') yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut ''Waringin Sengkeran'' (harifah: beringin yang dikurung) yang diberi nama ''Dewadaru'' dan ''Jayadaru''.
 
Di sebelah barat alun-alun utara berdiri [[Masjid Agung Surakarta]]. Masjid raya ini merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]] pada tahun [[1750]] ([[Kasunanan Surakarta]] merupakan kerajaan [[Islam]]). Bangunan utamanya terdiri dari atas serambi dan masjid induk. Di sebelah utara alun-alun terdapat bangsal kecil yang disebut ''Bale Pewatangan'' dan ''Bale Pekapalan''. Tempat ini pada zaman dahulu dipergunakan oleh prajurit dan kudanya untuk beristiahat setelah berlatih. Beberapa balai lain terdapat disekitar alun-alun yang dipergunakan untuk karyawan-karyawan keraton menempatkan kudanya. Tempat menambatkan kuda sudah tidak dapat dijumpai lagi saat ini. Bangunan-bangunan lain di sekeliling alun-alun sekarang dipergunakan sebagai kios penjual cinderamatacenderamata. Di sebelah barat daya ''Alun-alunAlun Lor'' (ke arah [[Pasar Klewer]]) dan sebelah timur laut (ke arah Pasar Beteng) terdapat dua gapura besar yang berfungsi sebagai pintu keluar dari ''Alun-alunAlun Lor'' yang bernama ''Gapura Batangan'' dan ''Gapura Klewer''.
 
=== Kompleks Sasana Sumewa dan kompleksKompleks Siti Hinggil Lor/Utara ===
[[Berkas:Siti Hinggil Keraton Surakarta.jpg|jmpl|kiri|Tratag Bangsal Pedopo Ageng Siti Hinggil Lor yang disebut Sasana SewoyonoSewayana.]]
[[Berkas:Bangsal-witono.jpg|jmpl|kiri|Bangsal Witana dengan Krobongan Bale Manguneng di tengahnya.]]
''Sasana Sumewa'' merupakan bangunan utama terdepan di Keraton Surakarta. Tempat ini pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menghadap para punggawa (pejabat menengah ke atas) dalam upacara resmi kerajaan. Di kompleks ini terdapat sejumlah meriam diantaranya diberi nama ''Kyai Pancawura'' atau ''Kyai Sapu Jagad''. Meriam ini dibuat pada masa pemerintahan [[Sultan Agung|Sultan Agung Prabu HanyokrokusumoHanyakrakusuma]]. Di sebelah selatan ''Sasana Sumewa'' terdapat kompleks ''Siti Hinggil''.
 
''Sasana Sumewa'' sendiri adalah bangunan yang berada di sebelah selatan pohon ''Waringin Gung'' dan ''Waringin Binatur''. Bangunan besar ini memiliki citra konstruksi atap kampung ''tridenta'' (atap kampung berjajar tiga dengan bagian tengah lebih kecil) yang disangga oleh kolom tembok persegi berjumlah 48 buah. Atap dan langit-langit bangunan ini terbuat dari bahan seng. Sedangkan lantai bangunan ini ditinggikan dan diplester. Sesuai dengan namanya (''pagelaran'' = area terbuka; ''sasana'' = tempat = rumah; ''sumewa'' = menghadap), fungsi ''Sasana Sumewa'' pada zaman dulu adalah sebagai tempat menghadap Pepatih Dalem, para Bupati, dan atau Bupati Anom kebawah golongan luar. Kegiatan menghadap Sri Sunan tersebut biasanya dilakukan pada saat-saat seperti hari besar ''Bagda Mulud'' (yang diselenggarakan tiga kali dalam setahun), ulang tahun Sri Sunan, peringatan naik tahtatakhta, dan sebagainya.
 
''Siti Hinggil'' merupakan suatu kompleks yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang disebut dengan ''Kori Wijil'' dan satu disebelah selatan yang disebut dengan ''Kori Renteng''. Pada salah satu anak tangga Siti Hinggil sisi utara terdapat sebuah batu yang dahulu digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala para tersangka yang menerima hukuman mati, disebut dengan ''Sela Pamecat''.
 
Bangunan utama di kompleks ''Siti Hinggil'' ini adalah ''Sasana Sewayana'' yang digunakan para pembesar dalam menghadiri upacara kerajaan. Selain itu terdapat pula ''Bangsal Manguntur Tangkil''. Bangsal ini berfungsi sebagai tempat singgasana tahtatakhta Sri Sunan saat menerima para pimpinan. Kemudian di sebelah selatan terdapat ''Bangsal Witana'', tempat persemayaman pusaka kebesaran kerajaan selama berlangsungnya upacara. Bangsal yang terakhir ini memiliki suatu bangunan kecil di tengah-tengahnya yang disebut dengan ''Krobongan Bale Manguneng'', tempat persemayaman pusaka keraton ''Kangjeng Nyai Setomi'', sebuah meriam yang konon dirampas oleh tentara Mataram dari [[VOC]] saat menyerbu [[Jakarta|Batavia]]. Di sebelah timur ''Sasana Sewayana'' dan ''Witana'', terdapat dua bangunan bangsal, yaitu ''Bangsal Gandekan Tengen'' di bagian utara, dan ''Bangsal Angun-angunAngun'' di bagian selatan. Sisi luar timur-selatan-barat kompleks ''Siti Hinggil'' merupakan jalan umum yang dapat dilalui oleh masyarakat yang disebut dengan ''Supit Urang'' (harfiah = capit udang).
 
=== Kompleks Kamandungan Lor/Utara ===
[[Berkas:Kori brojonolo lor.jpg|200px|jmpl|ka|Kori Brajanala Lor dilihat dari Jalan Supit Urang.]]
[[Berkas:Kori kamandungan.jpg|200px|jmpl|ka|Kori Kamandungan Lor.]]
''Kori Brajanala'' (Kori Brojonolo) atau ''Kori Gapit'' merupakan pintu gerbang masuk utama dari arah utara ke dalam halaman ''Kamandungan Lor''. Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam istana yang dilingkungi oleh dinding istana yang disebut ''baluwarti'') yang menghubungkan Jalan Supit Urang dengan halaman dalam istana. Gerbang ini dibangun oleh [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]] dengan gaya ''Limasan'' ''Semar Tinandu''. ''Semar Tinandu'' merupakan gerbang yang memiliki atap trapesium, seperti joglo, tanpa tiang dan hanya ditopang oleh dinding yang menjadi pemisah satu kompleks dengan kompleks berikutnya.
 
Di sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari ''Kori Brajanala'' sebelah dalam terdapat ''Bangsal Wisamarta'' tempat jaga pengawal istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng. Di tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Dari halaman ini pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan ''Panggung Sangga Buwana'' (Panggung Songgo Buwono) yang terletak di kompleks berikutnya, Kompleks ''Sri Manganti''.
 
Di atas ''Kori Kamandungan Lor''/Utara (atau disebut juga ''Balerata'') terdapat gambar bendera merah putih (''gendera gula-kelapa klapa'') dan bermacam senjata perang, di mana di tengah terdapat gambar daun kapas, dan diatasnya terdapat gambar mahkota, gambar tersebut secara keseluruhan disebut ''Sri Makutha Raja'', yang merupakan simbol dari Keraton Mataram sebagai pendahulunya. Di sebelah kiri dan kanan ''Balerata'' terdapat los-los sebagai tempat parkir kereta-kereta dan kendaraan-kendaraan yang akan dipakai oleh Sri Sunan. SekarangTempat tempatini inijuga berfungsi sebagai Museum Kereta Keraton.
 
=== Kompleks Sri Manganti ===
[[Berkas:Kori srimanganti.jpg|jmpl|kiri|Kori Sri Manganti dan Panggung Sangga Buwana.]]
[[Berkas:Bangsal Marcukundho.jpg|jmpl|kiri|Bangsal Marcukundha.]]
Untuk memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui sebuah pintu gerbang yang disebut dengan ''[[Kori Kamandungan|Kori Kamandungan Lor]]''. Di depan sisi kanan dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru dan putih ini terdapat dua arca. Di sisi kanan dan kiri pintu besar ini terdapat cermin besar dan diatasnya terdapat suatu hiasan yang terdiri dari senjata dan bendera yang ditengahnya terdapat lambang kerajaan. Hiasan ini disebut dengan ''Gendera Gula Klapa''. Di halaman Sri Manganti terdapat dua bangunan utama yaitu ''Bangsal SmarakathaMarakatha'' disebelahdi sebelah barat dan ''Bangsal Marcukundha'' di sebelah timur.
 
Pada zamannya ''Bangsal SmarakathaMarakatha'' digunakan untuk menghadap para pegawai menengah ke atas dengan pangkat ''Bupati Lebet'' ke atas. Tempat ini pula menjadi tempat penerimaan kenaikan pangkat para pejabat senior. Sekarang tempat ini digunakan untuk latihan menari dan mendalang. Kata ''marakatha'' atau ''asmarakatha'' sendiri memiliki arti sebagai ''dawuhdhawuh kang nengsemake'', atau perkataan yang menyenangkan.
 
''Bangsal Marcukundha'' pada zamannya digunakan untuk menghadap para opsir prajurit, untuk kenaikan pangkat pegawai dan pejabat yunior, serta tempat untuk menjatuhkan vonis hukuman bagi kerabat Sri Sunan. Sekarang tempat ini untuk menyimpan ''Krobongan Madirengga'', sebuah tempat untuk upacara sunat/khitan para putra Sri Sunan. Selanjutnya, di sebelah timur bangunan tersebut terdapat sebuah ruang yang menghadap ke barat, yang digunakan sebagai ''Kantor Wedana''.
 
Di sisi barat daya ''Bangsal Marcukundha'' terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan ''Panggung Sangga Buwana''. Menara yang memiliki tinggi sekitar tiga puluhan meter ini sebenarnya terletak di dua halaman sekaligus, halaman ''Sri Manganti'' dan halaman Kedaton''Kedhaton''. Namun pintu utamanya terletak di halaman ''KedatonKedhaton''. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat untuk mengintaimengawasi tentara Belanda yang ada di [[Benteng Vastenburg]]. Selain itu, bangunan ini memiliki fungsi spiritual yaitu sebagai tempat raja bermeditasi serta untuk lokasi bertemunya raja dengan [[Ratu Pantai Selatan]]|Kangjeng denganRatu rajaKencana danHadisari]] tempatalias bermeditasiRatu rajaLaut Selatan.<ref> {{citation|title=Morfosemantis Nama-nama Bangunan di Kompleks Keraton Surakarta|author=Rifka Nilasari|year=2013|publisher=Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta|page=88|url=https://core.ac.uk/reader/33526080}} </ref> Bangunan ini sempat terbakar pada 19 November 1954, lalu dibangun kembali dan selesai pada 30 September 1959.<ref> {{cite web|title=Panggung Sangga Buwana Di Keraton Solo, Tempat Ketemu Ratu Kidul|author=Chelin Indra Sushmita|website=Solopos.com|year=2020|accssdate=21 Februari 2021|url=https://www.solopos.com/panggung-sangga-buwana-di-keraton-solo-tempat-ketemu-ratu-kidul-1071063}} </ref>
 
=== Kompleks KedatonKedhaton ===
[[Berkas:Bangsal-maligi.jpg|jmpl|ka|Bangsal Maligi tampak dari arah timur.]]
[[Berkas:Sasana sewakaSewaka Keraton Surakarta.jpgJPG|jmpl|ka|Bagian dalam bangunan Bangsal PendapaPendhapa Ageng SasanoSasana Sewaka, dilihat dari arah Bangsal SewokoMaligi.]]
[[Berkas:Sasana handrawina.jpg|jmpl|ka|Bagian dalam bangunan Sasana Handrawina.]]
''Kori Sri Manganti Lor'' menjadi pintu untuk memasuki kompleks ''KedatonKedhaton'' dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh [[Pakubuwana IV|Susuhunan Pakubuwana IV]] pada tahun [[1792]] ini disebut juga dengan ''Kori Ageng''. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan ''Pangung Sangga Buwana'' secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya ''Semar Tinandu'' ini digunakan untuk menunggu tamu - tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan kiri pintu ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias di atas pintu. Halaman ''KedatonKedhaton'' dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka, antara lain 76 batang pohon Sawo Kecik (''Manilkara kauki''; Famili ''Sapotaceae''). Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya eropaEropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama, diantaranyadi antaranya adalah ''Pendhapa Ageng Sasana SewokoSewaka'', ''Bangsal Maligi'', Nd''alemDalem Ageng PrabasuyosoPrabasuyasa'', ''Sasana HandrowinoHandrawina'', dan ''Panggung SonggoSangga BuwonoBuwana''.
 
''Bangsal PendapaPendhapa Ageng Sasana Sewaka'' aslinya merupakan bangunan peninggalan pendapapendhapa Keraton Kartasura. Pada masa [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] tepatnya pada tahun [[1985]] tempat ini mengalami musibah kebakaran. Di bangunan ini pula Sri Sunan bertahtabertakhta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan, seperti garebegsaat dangarebeg, ulang tahun raja dan peringatan hari kenaikan takhta raja. Di sebelah barat Sasanapendhapa ini terdapat ''Sasana Parasdya'', sebuah peringgitanpringgitan. Di sebelah barat ''Sasana Parasdya'' terdapat Nd''alemDalem Ageng Prabasuyasa''. Tempat ini merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka dan juga tahtatakhta Sri Sunan yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi ini pula Sri Sunan bersumpah ketika mulai bertahtabertakhta sebelum upacara pemahkotaan dihadapan khalayak di ''Siti Hinggil Lor''.
 
Bangunan berikutnya adalah ''Sasana Handrawina''. Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun ''gala dinner'' tamu asing yang datang ke kota Solo[[Surakarta]]. Di depan ''Sasana Handrawina'' (dari arah selatan) terdapat tiga bangunan kecil yaitu ''Bangsal Bujana'' (tempat menjamu pengikut tamu agung), ''Bangsal Pradangga Kidul''/''Bangsal Musik'' (tempatuntuk memukulmusik gamelanatau orkes), dan ''Bangsal MusikPradangga Lor'' (untuktempat musikmemainkan atau orkesgamelan). Bangunan utama lainnya adalah ''Panggung Sangga Buwana'' atau ''Reksa Tengara''.<ref> {{cite web|title=Keraton Surakarta: Sangga Buwana (Wawancara dengan KGPH. Puger)|author=Perpustakaan Nasional Republik Indonesia|website=Youtube.com|year=2016|accssdate=21 Februari 2021|url=https://www.youtube.com/watch?v=gPUrKfe8yOA}} </ref> Menara ini digunakan sebagai tempat meditasi Sri Sunan sekaligus untuk mengawasi [[Benteng Vastenburg]] milik [[Belanda]] yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan yang memiliki lima lantai ini juga digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan. ''Panggung Sangga Buwana'' didirikan tahun [[1777]] saat pemerintahan [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]] . Pembangun ''Panggung Sangga Buwana'' adalah Kyai Baturetna, seorang tukang batu, dan Kyai Nayawreksa, seorang tukang kayu (kalang) pada saat itu. Di atas atap menara terdapat gambarpenunjuk arah angin berbentuk seseorang menaiki seekor naga yang sekaligus sebagai sengkala ''Naga Muluk Tinitihan Janma''. Arti sengkala tersebut adalah tahun [[1708]] Jawa, tahun pembuatanpembangunan menara.
 
Sebelah barat kompleks ''KedatonKedhaton'' merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan terlarang untuk dipublikasikan sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya. Kawasan ini merupakan tempat tinggal resmi Sri Sunan dan keluarga kerajaan yang masih digunakan hingga sekarang. Di belakang tempat tinggal keluarga Sri Sunan, terdapat ''Taman Sari Bandengan''. Di tengah-tengah kolam buatan manusia ini berdiri bangunan yang digunakan sebagai ruang meditasi oleh para pangeran. Di sebelah belakang pinggiran kolam terdapat tempat yang berisi batu meteor keramat dan tangga dari batu yang menuju ruang meditasi. Di antara taman air dan bangunan tempat keluarga Sri Sunan, terdapat bukit yang dipenuhi rerumputan yang diatasnya berdiri bangunan paviliun kecil dengan terasnya. Tempat ini disebut ''Gunungan'' dan dipakai sebagai tempat istirahat Sri Sunan.
 
=== Kompleks MaganganKamagangan, Sri Manganti, Kamandungan, serta Siti Hinggil Kidul/Selatan ===
[[Berkas:Pendopo Magangan Keraton Surakarta.jpg|jmpl|kiri|Bangsal Magangan.]]
[[Berkas:Kori brojonolo kidul.jpg|jmpl|kiri|Kori Brajanala Kidul.]]
Kompleks ''Magangan'' dahulunyaatau ''Kamagangan'' digunakan oleh para calon pegawai kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah pendapapendhapa di tengah-tengah halaman yang disebut ''Bangsal Magangan''. Di sekeliling halaman ini ada kantor-kantor dan bangunan-bangunan untuk menempatkan perlengkapan prajurit, seperti keris, pedang, bedil, pistol, dan pakaian seragam prajurit untuk hari-hari besar kerajaan. Kompleks berikutnya, ''Sri Manganti Kidul''/Selatan dan ''Kamandungan Kidul''/Selatan hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman Sri Sunan maupun permaisuri. Di sekitar ''Kori Kamandungan Kidul'' adalah pelataran yang bersifat lebih terbuka untuk umum.
 
Kompleks terakhir, ''Siti Hinggil Kidul''/Selatan, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino keturunan ''Kyai Slamet''. ''Kori Brajanala Kidul''/Selatan memberikan akses ke kompleks ''Siti Hinggil Kidul''. ''Siti Hinggil Kidul'' sendiri adalah suatu kompleks bangunan pendapapendhapa terbuka, yang dikelilingi oleh barisan pagar besi pendek. Pada zaman dahulu di sekitarnya terdapat empat meriam, dua di antaranya kemudian diambil pemerintah untuk diletakkan di AMN [[Magelang]]. Berbeda dengan kompleks ''Siti Hinggil Lor'' yang megah, kompleks ''Siti Hinggil Kidul'' dan bangunan maupun kori lain di sebelah selatan keraton berbentuk lebih sederhana dan dibuat dari material yang lebih sederhana pula.
 
Di sebelah selatan ''Siti Hinggil Kidul'' dapat dijumpai ''Alun-alunAlun Kidul''/Selatan, alun-alun ini bersifat lebih pribadi dibandingkan ''Alun-alunAlun Lor''/Utara. ''Alun-alunAlun Kidul'' dikelilingi oleh tembok benteng yang tinggi dan di sekitarnya terdapat beberapa rumah bangsawan dan juga ''wong cilik'' yang mencari nafkah di area tersebut. Pada bagian ini, terdapat sebuahdua buah bangunan yang disalah satunya sebagai dalamnyatempat disemayamkandisemayamkannya sebuah gerbong kereta yang digunakan untuk membawa jenazah [[Pakubuwana X|Susuhunan Pakubuwana X]] menuju ke pemakaman [[Pemakaman Imogiri|Astana Imogiri]].
 
Tembok yang mengelilingi alun-alun mempunyai pintu gerbang di tengah ujung selatan yang bernama ''Gapura Gading''. Gapura ini berbentuk gerbang candi bentar, seperti halnya ''Gapura Gladag''. Pada tahun [[1932]], [[Pakubuwana X|Susuhunan Pakubuwana X]], menambahkan pintu gerbang di sebelah selatan ''Gapura Gading'', dengan bentuk mengikuti bentuk gerbang masuk ''Alun-alunAlun Kidul'' dari arah barat dan timur. Ketiga gerbang di ''Alun-alunAlun Kidul'' ini dikenal dengan sebutan ''Tri Gapurendra''.
 
== Warisan Budaya ==
Baris 120:
 
=== Pusaka (''heirloom'') dan tari-tarian sakral ===
Keraton Surakarta memiliki sejumlah koleksi pusaka kerajaan di antaranya berupa singgasana Sri Sunan, perangkat musik gamelan dan koleksi senjata. Di antara koleksi gamelan adalah ''Kyai Guntursari'' dan ''Kyai Gunturmadu'' yang hanya dimainkan/dibunyikan pada saat upacara ''sekaten''. Selain memiliki pusaka Keraton Surakarta juga memiliki tari-tarian khas yang hanya dipentaskan pada upacara-upacara tertentu. Sebagai contoh tarian sakral adalah Tari ''Bedhaya Ketawang'' yang hanya dipentaskan pada saat pemahkotaan dan hari peringatan kenaikan tahtatakhta Sri Sunan.
 
== Pemangku Adat Jawa Surakarta ==
[[Berkas:PB-XIII-beri-gelar-warga-negara-asing.png|jmpl|ka|250px|[[Pakubuwana XIII|Susuhunan Pakubuwana XIII]] saat melakukan pemberian gelar kehormatan kepada beberapa warga negara asing di Sasana Narendra, Kompleks Keraton Surakarta.]]
Semula Keraton Surakarta merupakan Lembaga Istana (''Imperial House'') yang mengurusi Sri Sunan dan keluarga kerajaan disamping menjadi pusat pemerintahan [[Kasunanan Surakarta]]. Setelah tahun [[1946]] peran Keraton Surakarta tidak lebih hanya sebagai Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya [[Surakarta]]. Begitu pula Sri Sunan tidak lagi berperan dalam urusan kenegaraan sebagai seorang raja dalam artian politik melainkan sebagai Baginda Yang Dipertuan Pemangku TahtaTakhta Adat, simbol dan pemimpin informal kebudayaan. Fungsi keraton pun berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya [[Budaya Jawa|Jawa]] khususnya gaya Surakarta. Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun Keraton Surakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di bekas wilayah [[Kasunanan Surakarta]] ([[Kota Surakarta]], [[Kabupaten Sragen]], [[Kabupaten Boyolali]], [[Kabupaten Klaten]], dan [[Kabupaten Sukoharjo]]). Selain itu Keraton Surakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (''honoriscausa'') pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya [[Budaya Jawa|Jawa]] khususnya budaya Jawa gaya Surakarta maupun perhatian dan sumbangsih mereka terhadap eksistensi Keraton Surakarta, disampingdi samping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (''abdi dalem'') keraton.
 
== Filosofi dan Mitologi seputar Keraton ==
Baris 130:
Setiap nama bangunan maupun upacara, bentuk bangunan maupun benda-benda upacara, letak bangunan, begitu juga prosesi suatu upacara dalam [[keraton]] memiliki makna atau arti filosofi masing-masing. Namun sungguh disayangkan makna-makna tersebut sudah tidak banyak yang mengetahui dan kurang begitu mendapat perhatian.
 
Cermin besar di kanan dan kiri ''Kori Kamadungan'' mengadung makna introspeksi diri. Nama ''Kamandungan'' sendiri berasal dari kata ''mandung'' yang memiliki arti berhenti. Nama bangsal ''Marcukundha'' berasal dari kata ''Marcumarcu'' yang berarti api dan ''kundha'' yang berarti wadah/tempat, sehingga kata ''Marcukundha'' berarti melambangkan suatu doa/harapan. Menara ''Panggung SonggoSangga BuwonoBuwana'' adalah simbol ''lingga'' dan ''Kori Sri Manganti'' di sebelah baratnya adalah simbol ''yoni''. Simbol Lingga-Yoni dalam masyarakat [[Suku Jawa|Jawa]] dipercaya sebagai suatu simbol kesuburan. Dalam upacara ''garebeg'' dikenal dengan adanya sedekah Sri Sunan yang berupa gunungan. Gunungan tersebut melambangkan sedekah yang bergunung-gunung. Selain itu Keraton Surakarta juga memiliki mistik dan [[mitos]] serta [[legenda]] yang berkembang di tengah masyarakat. Sebagai salah satu contoh adalah kepercayaan sebagian masyarakat dalam memperebutkan gunungan saat ''garebeg''. Mereka mempercayai bagian-bagian gunungan itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan yang baik maupun yang lainnya.
 
Selain itu ada legenda mengenai usia Nagari Surakarta Hadiningrat. Ketika istana selesai dibangun, muncul sebuah ramalan bahwa [[Kasunanan Surakarta]] hanya akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua ratus tahun maka kekuasaan Sri Sunan hanya akan selebar mekarnya sebuah payung (''kari sak megare payung''). Legenda ini pun seakan mendapat pengesahan dengan kenyataan yang terjadi. Apabila dihitung dari pembangunan dan penempatan istana secara resmi pada [[1745]], maka dua ratus tahun kemudian tepatnya pada tahun [[1945]] negara [[Indonesia]] merdeka dan kekuasaan Kasunanan benar-benar merosot. Setahun kemudian pada [[1946]], [[Kasunanan Surakarta]] sebagai [[Daerah Istimewa Surakarta]] dibekukan oleh pemerintah [[Indonesia]] karena terjadi kekacauan politik saat itu dan pada akhirnya kekuasaan Sri Sunan benar-benar habis dan hanya tinggal atas tanah adat serta kerabat dekatnya saja.
Selain itu Keraton Surakarta juga memiliki mistik dan [[mitos]] serta [[legenda]] yang berkembang di tengah masyarakat. Seperti makna filosofi yang semakin lenyap, mistik dan mitos serta legenda ini pun juga semakin menghilang. Sebagai salah satu contoh adalah kepercayaan sebagian masyarakat dalam memperebutkan gunungan saat ''garebeg''. Mereka mempercayai bagian-bagian gunungan itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan yang baik maupun yang lainnya.
 
== Lihat pulaPula ==
Selain itu ada legenda mengenai usia Nagari Surakarta Hadiningrat. Ketika istana selesai dibangun muncul sebuah ramalan bahwa [[Kasunanan Surakarta]] hanya akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua ratus tahun maka kekuasaan Sri Sunan hanya akan selebar mekarnya sebuah payung (''kari sak megare payung''). Legenda ini pun seakan mendapat pengesahan dengan kenyataan yang terjadi. Apabila dihitung dari pembangunan dan penempatan istana secara resmi pada [[1745]], maka dua ratus tahun kemudian tepatnya pada tahun [[1945]] negara [[Indonesia]] merdeka dan kekuasaan Kasunanan benar-benar merosot. Setahun kemudian pada [[1946]], [[Kasunanan Surakarta]] sebagai [[Daerah Istimewa Surakarta]] dibekukan oleh pemerintah [[Indonesia]] karena terjadi kekacauan politik saat itu dan pada akhirnya kekuasaan Sri Sunan benar-benar habis dan hanya tinggal atas tanah adat serta kerabat dekatnya saja.
 
== Lihat pula ==
* [[Baluwarti|Kampung Baluwarti]]
* [[Keraton Yogyakarta]]
Baris 151 ⟶ 149:
* Acara budaya dengan judul ''Pocung'' dalam episode ''Wewangunan Karaton Surakarta Hadiningrat'' disiarkan oleh JogjaTV [http://www.jogjatv.com]
 
== Pranala luarLuar ==
{{commonscat|Kraton of Surakarta|Keraton Surakarta Hadiningrat}}
* {{id}} [http://karatonsurakarta.com Arsitektur Keraton Surakarta]