Dewa Ruci: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
M. Adiputra (bicara | kontrib)
k Menghapus Kategori:Tokoh Wayang; Menambah Kategori:Tokoh wayang menggunakan HotCat
M. Adiputra (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
[[Berkas:Bimasuci.jpg|jmpl|300px|Ilustrasi [[Bima (Mahabharata)|Bima]] bertemu dengan Dewa Ruci.]]
'''Dewa Ruci''', dalam cerita [[pewayangan]], adalah nama seorang Dewa kerdil[[dewa (miniHindu)|dewa]] kerdil yang dijumpai oleh [[Bima (Mahabharata)|Bima]] atau Werkudara dalam sebuah perjalanan mencari [[amerta|air kehidupan]].<ref name="Yudhi"/><ref name="Wahyudi"/> Nama Dewa Ruci kemudianjuga diadopsi menjadimerupakan lakon atau judul pertunjukan [[wayang]] tentang dewa tersebut, yang berisi ajaran atau falsafah hidup [[moral]] [[orang [[Jawa]].<ref name="Yudhi"/> Lakon wayang ini menjadi [[interpolasi (sastra)|interpolasi]] bagi ''[[Mahabarata]]''.<ref name="Yudhi"/><ref name="Sucipto">{{id}}Mahendra Sucipta., Ensiklopedia Wayang dan Silsilahnya, Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2010, 125</ref> Kisah Dewa Ruci ini banyak disunting oleh penulis buku-buku etika Jawa, misalnya Frans Magnis Suseno ,<ref name="Frans">{{id}}Frans Magnis Suseno., Wayang dan Panggilan Manusia., Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991, Hal.48-51</ref>, Hazim Amir,<ref name="Amir">{{id}}Hazim Amir., Nilai-nilai Etis dalam Wayang, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994, Hal. 163</ref>, Ignas G. Saksana, dan Djoko Dwijanto<ref name="Saksono">{{id}}Ignas G. Saksana dan Djoko Dwijanto., Terbelahnya Kepribadian Orang Jawa, Yogyakarta: Keluarga Besar Marhaenisme DIY, 2011, hal. 136-137</ref> Kisah Dewa Ruci menggambarkan sebuah kepatuhan seorang murid kepada guru, kemandirian bertindak, dan perjuangan keras menemukan jati diri.<ref name="Wahyudi"/> Pengenalan jati diri akan membawa seseorang mengenal asal-usul diri sebagai ciptaan dari Tuhan.<ref name="Frans"/> Pengenalan akan Tuhan itu menimbulkan hasrat untuk bertindak selaras dengan kehendak Tuhan, bahkan menyatu dengan Tuhan atau sering disebut sebagai ''Manunggaling Kawula Gusti'' (bersatunya hamba Gusti).<ref name="Yudhi">{{id}}Yudhi A.W., Serat Dewa Ruci, Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2012, 11</ref><ref name="Wahyudi"/><ref name="Frans"/> Walaupun bukan bagian asli dari kitab ''[[Mahabharata]]'' karya [[Byasa]], cerita ini sangat populer dalam masyarakat [[Jawa]] dan dipentaskan oleh kebanyakan [[dhalang]] di Jawa.<ref name="Yudhi"/><ref name="Wahyudi">{{id}}Aris Wahyudi., Lakon Dewa Ruci: Cara menjadi Jawa, Yogyakarta: Penerbit Bagaskara, 2012, xix</ref>
 
== Sejarah penulisan ==
== Ajaran dan Bukti sejarah Serat Dewa Ruci ==
Menurut beberapa tulisan, salah satunya dikarang oleh [[Yasadipura I]], (ditengarai sebagai guru dari pujangga [[Ranggawarsita]]) dari [[Surakarta]], nuansa dari kisah Dewa Ruci sarat dengan ajaran kebatinan masyarakat Jawa, yakni berisi pencarian jati diri seorang manusia.<ref name="Yudhi"/> Kisah Dewa Ruci yang menjadi rujukan para dhalang dan para pencerita masa kini merujuk pada tulisan Yasadipura I yang hidup pada masa Pakubuwono III (1749-1788) dan Pakubuwono IV (1788-1820). Yasadipura I sendiri dijuluki sebagai pujangga “penutup” Kraton Surakarta.<ref name="Yudhi"/>
Beberapa naskah transformasi Dewa Ruci dalam bentuk cetakan antara lain:
# ''Serat Dewa Ruci'' cetakan pertama yang diterbitkan oleh Mas Ngabehi Kramapawira tahun 1870, dicetak oleh Percetakan Van Dorp Semarang dengan tulisan [[aksara]] Jawa.<ref name="Yudhi"/>
# ''Serat Dewa Ruci'' berbahasa Jawa dan juga berhuruf Jawa tulisan Mas Ngabehi Mangunwijaya dan diterbitkan oleh Tan Khoen Swie Kediri tahun 1922.<ref name="Yudhi"/>
# ''Cerita Dewa Roetji'' yang dimuat di majalan Belanda Djawa pada tahun 1940, dengan kontributor R.M. Poerbatjaraka.<ref name="Yudhi"/>
# ''Serat Dewa Ruci Kidung dari Bentuk Kakawin'' yang diterbitkan oleh Penerbit Dahara Prize Semarang tahun 1991, berhuruf Latin, berbahasa Jawa, dan ada terjemahan bahasa Indonesia secara tekstual. Dalam versi tersebut hanya disebutkan penulisnya adalah pujangga Surakarta.<ref name="Yudhi"/>
 
Walaupun bukan bagian asli dari 18 kitab ''[[Mahabharata]]'' (''[[Astadasaparwa]]'' atau 18 Parwa ''Mahabharata'') karya [[Byasa|Kresna Dwaipayana Byasa]], cerita ini sangat populer dalam masyarakat [[Jawa]] dan dipentaskan oleh kebanyakan [[dalang]] di Jawa.<ref name="Yudhi"/><ref name="Wahyudi">{{id}}Aris Wahyudi., Lakon Dewa Ruci: Cara menjadi Jawa, Yogyakarta: Penerbit Bagaskara, 2012, xix</ref> Menurut beberapa tulisan, salah satunya dikarang oleh [[Yasadipura I]], (ditengarai sebagai guru dari pujangga [[Ranggawarsita]]) dari [[Surakarta]], nuansa dari kisah Dewa Ruci sarat dengan ajaran kebatinan masyarakat Jawa, yakni berisi pencarian jati diri seorang manusia.<ref name="Yudhi"/> Kisah Dewa Ruci yang menjadi rujukan para dhalangdalang dan para pencerita masa kini merujuk pada tulisan Yasadipura I yang hidup pada masa [[Pakubuwono III]] (1749-17881749–1788) dan [[Pakubuwono IV]] (1788-18201788–1820). Yasadipura I sendiri dijuluki sebagai pujangga “penutup”"penutup" Kraton Surakarta.<ref name="Yudhi"/>
== Kisah Dewa Ruci ==
Dikisahkan Bima memiliki seorang guru bernama Resi [[Drona]].<ref name="Kosasih">{{id}}R.A. Kosasih, Dewa Ruci, Bandung: Erlina (Rumah Produksi: Nikita Komik), tth</ref> Kemudian Resi Drona memerintahkan Bima untuk mencari air kehidupan (tirta perwita) yang akan membuat Bima mencapai kesempurnaan hidup.<ref name="Yudhi"/> Perintah ini sesungguhnya hanyalah siasat untuk melenyapkan Bima supaya tidak turut berperang dalam Perang Baratayuda yang kala itu sedang dipersiapkan.<ref name="Kosasih"/> Bima yang memiliki jiwa seorang murid, tanpa bertanya langsung menjalankan titah sang guru.<ref name="Kosasih"/> Ia berangkat menuju tempat-tempat berbahaya yang sudah ditentukan Drona.<ref name="Kosasih"/>
 
Beberapa naskah yang mencatat kisah Dewa Ruci antara lain:<ref name="Yudhi"/>
Pertama, ia diutus ke gua gunung Candramuka.<ref name="Surakarta">{{id}}http://www.karatonsurakarta.com/dewaruci.html</ref> Namun, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik hingga membuat terkejut dua raksasa yang tinggal di sana, yaitu Rukmuka dan Rukmakala.<ref name="Surakarta"/> Kemudian terjadi perkelahian antara mereka dan membuat dua raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur.<ref name="Surakarta"/> Bima tak juga dapat menemukan air kehidupan, akhirnya ia pasrah dan tersandar pada sebuah pohon beringin.<ref name="Surakarta"/>
# ''Serat Dewa Ruci'' cetakan pertama yang diterbitkan oleh Mas Ngabehi Kramapawira tahun 1870, dicetak oleh Percetakan Van Dorp Semarang dengan tulisan [[aksara]] Jawa.<ref name="Yudhi"/>
[[Berkas:4848061031 c12bff65a8 b.jpg|jmpl|kiri|300px|Bima bertemu dengan dua raksasa, Rukmuka dan Rukmukala di gunung Candradimuka]]
# ''Serat Dewa Ruci'' berbahasa Jawa dan juga berhuruf Jawa tulisan Mas Ngabehi Mangunwijaya dan diterbitkan oleh Tan Khoen Swie Kediri tahun 1922.<ref name="Yudhi"/>
Tak lama kemudian, Ia mendengar suara tak berwujud, "Wahai cucuku yang sedang bersedih, engkau mencari sesuatu yang tidak ada di sini.<ref name="Surakarta"/> Mustahil mencari air kehidupan di sini".<ref name="Surakarta"/> Suara itu berasal dari Batara Indra dan Bayu yang kemudian memberitahu Bima bahwa dua raksasa yang dibunuh Sena,ternyata memang sedang dihukum Batara Guru.<ref name="Surakarta"/> Lalu dikatakan juga agar untuk mencari air kehidupan, Sena di perintahkan agar kembali ke [[Astina]].<ref name="Surakarta"/>
# ''Cerita Dewa Roetji'' yang dimuat di majalanmajalah Belanda Djawa pada tahun 1940, dengan kontributor R.M. Poerbatjaraka.<ref name="Yudhi"/>
# ''Serat Dewa Ruci Kidung dari Bentuk Kakawin'' yang diterbitkan oleh Penerbit Dahara Prize Semarang tahun 1991, berhuruf Latin, berbahasa Jawa, dan ada terjemahan bahasa Indonesia secara tekstual. Dalam versi tersebut hanya disebutkan penulisnya adalah pujangga Surakarta.<ref name="Yudhi"/>
 
== Kisah Dewa Ruci ==
Setelah ia kembali ke Astina, ia menemui gurunya kembali, Resi Drona.<ref name="Kosasih"/> Bukannya mengakui kesalahan, Resi Drona berdalih hanya menguji Bima.<ref name="Kosasih"/> Ia pun memerintahkan Bima untuk menuju Samudra demi mendapatkan air kehidupan.<ref name="Kosasih"/> Sebelum pergi, semua kerabat Bima melarang dan memperingatkan bahwa semua itu hanyalah jebakan saja.<ref name="Kosasih"/> Namun Bima tetap teguh dan bertekad pergi demi melaksanakan titah sang guru.<ref name="Kosasih"/> Bahkan jika ia harus menemui kemalangan pun ia siap, sebab ia sendiri memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah darma, dan semua ada yang mengaturnya.<ref name="Kosasih"/>
[[File:Kisah bima bertemu dewa ruci.jpg|right|thumb|Ilustrasi Bima bertarung dengan naga di dasar samudra.]]
Dikisahkan Bima memiliki seorang guru bernama Resi [[Drona]].<ref name="Kosasih">{{id}}R.A.Sang Kosasih, Dewa Ruci, Bandung: Erlina (Rumah Produksi: Nikita Komik), tth</ref> Kemudian Resi Drona[[resi]] memerintahkan Bima untuk mencari air kehidupan (tirta perwita) yang akan membuat Bima mencapai kesempurnaan hidup.<ref name="Yudhi"/> Perintah ini sesungguhnya hanyalah siasat untuk melenyapkan Bima supaya tidak turut berperang dalam Perang Baratayuda[[Bharatayuddha]] yang kala itu sedang dipersiapkan.<ref name="Kosasih"/>{{id}}R.A. BimaKosasih, yangDewa memilikiRuci, jiwaBandung: seorangErlina murid(Rumah Produksi: Nikita Komik), tanpatth</ref> bertanyaBima langsungpun menjalankan titah sang guru.<ref name="Kosasih"/> Ia berangkat menuju tempat-tempat berbahaya yang sudah ditentukan Drona.<ref name="Kosasih"/>
 
Pertama, ia diutus ke gua gunung Candramuka. Setelah mendapati bahwa air yang dicarinya ternyata tidak ada, maka ia mengobrak-abrik gua sehingga membuat terkejut dua raksasa yang tinggal di sana, yaitu Rukmuka dan Rukmakala. Kemudian terjadi perkelahian antara mereka, yang akhirnya dimenangkan oleh Bima. Saat beristirahat usai pertempuran, ia bersandar pada sebuah pohon beringin. Tak lama kemudian, suara tak berwujud yang berasal dari [[Indra|Batara Indra]] dan [[Bayu]] memberi tahu bahwa dua raksasa yang dibunuh Bima ternyata memang sedang dihukum [[Batara Guru]]. Lalu mereka memerintahkan Bima agar kembali ke [[Hastinapura|Astina]].<ref name="Surakarta">{{id}}http://www.karatonsurakarta.com/dewaruci.html</ref>
Sesamapai di tepi laut, ia mengatur segala emosi yang timbul, ketakutan, keraguan di dalam diri atas sanggup dan tidaknya ia memasuki samudra raya itu.<ref name="Surakarta"/> Dengan kesaktian aji Jalasegara yang ia dapatkan dari Batara Bayu pada perjalanan sebelumnya, ia memasuki dasar laut dengan menyibak air, bahkan sanggup bernafas di dalam air.<ref name="Surakarta"/>
Alkisah ada naga sebesar anakan sungai, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan.<ref name="Surakarta"/> Bima bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.<ref name="Surakarta"/>
 
Setiba di Astina, Bima kembali menghadap Resi Drona. Sang resi berdalih bahwa ia hanya menguji Bima. Ia pun memerintahkan Bima untuk menuju [[samudra]] demi mendapatkan air kehidupan. Sebelum pergi, semua kerabat Bima melarang dan memperingatkan bahwa semua itu hanyalah jebakan. Namun Bima tetap teguh dan bertekad pergi demi melaksanakan titah sang guru. Sesampainya di tepi samudra, ia menenangkan pergolakan batin dalam dirinya, sebelum memasuki samudra raya itu. Dengan kesaktian Aji Jalasegara yang ia dapatkan dari Batara Bayu pada perjalanan sebelumnya, ia memasuki dasar laut dengan menyibak air. Bahkan ia sanggup bernapas di dalam air. Seekor [[naga (mitologi India)|naga]] yang menghuni dasar samudra segera melilit Bima. Ia menikamkan kukunya (''Pancanaka'') ke badan naga, yang akhirnya merenggut nyawa naga tersebut.<ref name="Surakarta"/>
[[Berkas:Bimasuci.jpg|jmpl|300px|Bima bertemu dengan Dewa Ruci]]
Hingga akhirnya di Samudra yang sama Bima bertemu dengan seorang Dewa kerdil bernama Dewa Ruci yang wajahnya menyerupai Bima sendiri.<ref name="Surakarta"/> Besar dari Dewa Ruci tidak lebih besar dibanding telapak tangan Bima.<ref name="Hudi"/> Dewa Ruci memerintahkan Bima untuk memasuki telinga kiri Dewa Ruci, sebuah perintah yang mustahil.<ref name="Hudi"/> Namun, dengan sebuah keajaiban, Bima berhasil masuk ke telinga Dewa kerdil itu dan di dalamnya Bima mendapati dunia yang maha luas.<ref name="Hudi"/> Dewa Ruci mengatakan bahwa air kehidupan tidak ada di mana-mana, percuma mencari air kehidupan di segala tempat di dunia, sebab air kehidupan berada di dalam diri manusia itu sendiri.<ref name="Kosasih"/><ref name="Surakarta"/>
 
Di samudra yang sama, Bima bertemu dengan seorang [[Dewa (Hindu)|dewa]] kerdil bernama Dewa Ruci yang wajahnya menyerupai Bima sendiri. Besar dari Dewa Ruci tidak lebih besar dibanding telapak tangan Bima. Dewa Ruci memerintahkan Bima untuk memasuki telinga kirinya. Namun—dengan sebuah keajaiban—Bima berhasil masuk ke telinga dewa kerdil itu, dan di dalamnya Bima mendapati dunia yang mahaluas. Dewa Ruci mengatakan bahwa air kehidupan tidak ada di mana-mana, sebab air kehidupan berada di dalam diri manusia itu sendiri. Bima memahami wejangan Dewa Ruci yang sesungguhnya adalah representasi dirinya sendiri, yang muncul dan memberi pengajaran kepadanya karena ia telah mematuhi segenap perintah gurunya (Drona) dengan sepenuh hati.<ref name="Kosasih"/><ref name="Wahyudi"/><ref name="Surakarta"/>
 
Ada empat macam bendacahaya yang tampak oleh Bima, yaitu hitam, merah, kuning, dan putih. Lalu berkatalahMenurut Dewa Ruci, "Yang pertama kau lihat cahaya, menyalaitu tidak tahu namanya,disebut Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu,hati manusia. Sedangkan yang memimpinberwarna dirimumerah, maksudnyahitam, hatikuning, disebut mukadan sifatputih, yangitu menuntunadalah kepadapenghalang sifathati. Yang hitam melambangkan lebihkemarahan, merupakanmurka, hakikatyang sifatmenghalangi itudan menutupi tindakan yang sendiribaik.<ref name="Surakarta"/>Yang Lekasmerah pulangmenunjukkan jangannafsu berjalanyang baik, selidikilahsegala rupakeinginan itukeluar jangandari ragusitu, untukpanas hati tinggal, matamenutupi hati itulah,yang menandaisadar padakepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti hakikatmunyata, sedangkanhati yang berwarnatenang merahsuci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, kuningmerah dan putih, itukuning adalah penghalang hatipikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.<ref name="Surakarta"/>
 
Lalu Bima melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangiber[[pelangi]] melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu?!<ref name="Surakarta"/>. Menurut Dewa Ruci, itu adalah kemampuan manusia untuk berwaspada, yang disebut sebagai Pramana.<ref name="Surakarta"/> Pramana menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita,.<ref jikaname="Surakarta"/> berpisahDewa dariRuci tempatnya,juga ragamenjelaskan yangtentang tinggal,Suksma badanSejati tanpaserta dayapersatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti.<ref name="Surakarta"/> ItulahSetelah yangmendengar mampuperkataan merasakanDewa penderitaannyaRuci, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup,perasaan mengakuiBima rahasiamenjadi zatbahagia.<ref name="Surakarta"/>
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik.<ref name="Surakarta"/> Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan.<ref name="Surakarta"/> Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian.<ref name="Surakarta"/> Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.<ref name="Surakarta"/>
 
== Makna ==
Lalu Bima melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu?!<ref name="Surakarta"/> Menurut Dewa Ruci, itu adalah kemampuan manusia untuk berwaspada, yang disebut sebagai Pramana.<ref name="Surakarta"/> Pramana menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya.<ref name="Surakarta"/> Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.<ref name="Surakarta"/>
Kisah Dewa Ruci inginmerupakan menyampaikan[[alegori]] ihwaltentang hasrat manusia yang terus dan terus ingin melacak keberadaan Yang Ilahi[[Tuhan]], dan dengan nalarnya ia melakukan penjelajahan.<ref name="Hudi">{{id}}M. Darwis Hude., Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis Emosi Manusia di dalam Alquran, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006, vi-vii</ref> ManusiaMenurut filsafat Jawa, manusia disebut sebagai jagad''jagat cilik'' atau [[mikrokosmos]] atau (dunia kecil), sedangkan semesta raya disebut sebagai [[makrokosmos]] atau jagad''jagat gede'' yang merupakan manifestasi dari Tuhan sendiri.<ref name="Hudi"/> Jagat mikrikosmos sama luasnya dengan jagat makrokosmos. Di sana, rahasia ketuhanannya diberi petunjuk: "Siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya." Keyakinan ini mengendap dalam keyakinan orang-orang Jawa pada masa silam.<ref name="Hudi"/>
 
Perjalanan Bima mengalahkan para raksasa untuk menemukan air perwita, mengalahkan naga, dan bertemu dengan Dewa Ruci sesungguhnya sarat denganakan simbol-simbol tentang perjuangan manusia mengalahkan nafsu-nafsu yang dapat menghalanginya menuju kesempurnaan, misalnya nafsu makan, kekuasaan, kesombongan, dlldan semacamnya.<ref name="Wahyudi"/> Bima mencapai kesempurnaan karena watak dan sifat rela, patuh, waspada, eling (tidak lupa diri), dan rendah hati.<ref name="Wahyudi"/> Seseorang yang telah tahu siapa dirinya akan melakukan hal-hal tersebut dengan alasan ia mengamalkan tugas-tugasnya di dunia.<ref name="Hudi"/><ref name="Wahyudi"/>
Kemudian tentang Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti.<ref name="Surakarta"/> Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.<ref name="Surakarta"/>
 
Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga.<ref name="Surakarta"/> Badan hanya sekadar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.<ref name="Surakarta"/>
 
Bima setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya.<ref name="Surakarta"/> Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci, "Bima, ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.<ref name="Surakarta"/>
 
== Makna Religi Kisah Dewa Ruci ==
Kisah Dewa Ruci ingin menyampaikan ihwal hasrat manusia yang terus dan terus ingin melacak keberadaan Yang Ilahi, dengan nalarnya ia melakukan penjelajahan.<ref name="Hudi">{{id}}M. Darwis Hude., Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis Emosi Manusia di dalam Alquran, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006, vi-vii</ref> Manusia disebut sebagai jagad cilik atau [[mikrokosmos]] atau dunia kecil, sedangkan semesta raya disebut sebagai [[makrokosmos]] atau jagad gede yang merupakan manifestasi dari Tuhan sendiri.<ref name="Hudi"/>
Dalam penjelajahan itu, sebelum orang melangkah lebih jauh ke dalam dirinya, ia niscaya melakukan pendefinisian diri.<ref name="Hudi"/> Sayangnya pendefinisian ini bukanlah tindakan yang mudah dilakukan. Karena, tiap kali pendefinisian itu, pada akhirnya justru mempersempit hakikat diri yang sesungguhnya.<ref name="Hudi"/> Pendefinisian selalu selalu saja hanya menghadirkan sepotong dari kenyataan yang kompleks.<ref name="Hudi"/>
 
Jagad mikrikosmos sama luasnya dengan jagad makrokosmos.<ref name="Hudi"/> Di sana, rahasia ke-Tuhanannya disembunyikan, "Siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya."<ref name="Hudi"/> Keyakinan ini mengendap dalam keyakinan orang-orang Jawa pada masa silam.<ref name="Hudi"/>
 
Perjalanan Bima mengalahkan para raksasa untuk menemukan air perwita, mengalahkan naga, dan bertemu dengan Dewa Ruci sesungguhnya sarat dengan simbol-simbol tentang perjuangan manusia mengalahkan nafsu-nafsu yang dapat menghalanginya menuju kesempurnaan, misalnya nafsu makan, kekuasaan, kesombongan dll.<ref name="Wahyudi"/> Bima mencapai kesempurnaan karena watak dan sifat rela, patuh, waspada, eling (tidak lupa diri), dan rendah hati.<ref name="Wahyudi"/> Seseorang yang telah tahu siapa dirinya akan melakukan hal-hal tersebut dengan alasan ia mengamalkan tugas-tugasnya di dunia.<ref name="Hudi"/>
 
== Referensi ==
{{reflist|2}}
 
{{tokoh wayang}}