Dyah Raṇawijaya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Inayubhagya (bicara | kontrib)
k Halaman ini telah disesuaikan berdasarkan referensi yang akurat
Ibuku (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 143:
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setelah terjadi kekosongan selama tiga tahun, Bhre Wĕngkĕr alias Girīśawardhana Dyah Suryawikrama naik takhta atau dalam [[Serat Pararaton]] bergelar Bhra Hyang Pūrwawiśeṣa. Saat itu anak-anak Sinagara dapat menerima. Namun, setelah Girīśawardhana Dyah Suryawikrama wafat, paman mereka Bhre Paṇḍansalas alias Dyah Suraprabhāwa naik takhta. Anak-anak Sinagara tidak terima dan mereka pergi meninggalkan istana, membangun pertahanan di Keling.
 
Pada tahun 1474, Dyah Suraprabhāwa meninggal dalam istana. Selanjutnya pada tahun 1478 anak-anak Sinagara menyerang Majapahit di bawah pimpinan Sang Munggwing Jinggan yang dibantu Brahmārāja Ganggādhara. Dyah Suraprabhāwa meninggal dalam istana. Menurut prasasti "Petak" (1486) yang dikeluarkanbuat oleh 'Bhaṭāra Prabhu Girīndrawardhana yang memiliki nama asli Dyah Raṇawijaya', berhasil mengalahkan Majapahit di mana ia menetapkan anugerah dari raja sebelumnya kepada Śrī Brahmārāja Ganggādhara yang telah berjasa membantu Sang Munggwing Jinggan sehingga bisa menang melawan Majapahit.
 
Kemudian anak Sinagara yang bernama Bhre Mataram aliasatau Dyah Wijayakusuma diangkat menjadi raja yang bertakhta di Kĕling. Adapun status Majapahit menjadi sederajat dengan Janggala dan Kaḍiri, yaituyang berada di bawah kekuasaan Kĕling. Selanjutnya Dyah Wijayakusuma digantikan oleh Dyah Raṇawijaya sebagai Bhre Keling. Prasasti Jiyu I juga menyebutkan bahwa Girīndrawardhana Dyah Raṇawijaya adalah raja yang berkuasa atas Wilwatiktapura (nama lain Majapahit), Janggala, dan Kaḍiri.<ref name="HD-1978"></ref>
 
Selanjutnya setelah Dyah Wijayakusuma meninggal, dia digantikan oleh Dyah Raṇawijaya sebagai Bhre Kĕling yang menguasai Majapahit, Janggala dan Kadiri. Prasasti Jiyu I juga menyebutkan bahwa Girīndrawardhana Dyah Raṇawijaya adalah raja yang berkuasa atas Wilwatiktapura (nama lain Majapahit), Janggala, dan Kaḍiri.<ref name="HD-1978"></ref>
Pada tahun 1513 saat [[Tomé Pires]] mengunjungi Jawa, ibu kota sudah pindah ke Dayo (ejaan Portugis untuk Daha). Saat itu raja sudah tidak berkuasa penuh. Dyah Raṇawijaya hanya sebagai raja simbol belaka. Yang menjalankan roda pemerintahan adalah ''Guste Pate'' (ejaan Portugis untuk ''Gusti Patih'') yang sebelumnya dikenal dengan nama ''Pate Amdura'' (ejaan Portugis untuk ''Patih Mahodara'').<ref name="Suma Oriental 2015"></ref> Berita ini diperkuat oleh catatan [[Duarte Barbosa]] dari Italia yang menyebutkan pada tahun 1518 yang berkuasa atas Jawa pedalaman bernama Pate Udra. Ia memerintah segala aspek. Ia menggenggam raja di tangannya, bahkan berhak memberikan perintah. Sang raja sudah tidak memiliki suara dalam hal apa pun. Rakyat sudah kehilangan kepercayaan kepada raja karena kecewa telah kehilangan sebagian besar tanah mereka.
 
Pada tahun 1513 saat [[Tomé Pires]] mengunjungi Jawa, ibu kota sudah pindah ke Dayo (ejaan Portugis untuk Daha). Saat itu raja sudah tidak berkuasa penuh. Dyah Raṇawijaya hanya sebagai raja simbol belaka. Yang menjalankan roda pemerintahan adalah ''Guste Pate'' (ejaan Portugis untuk ''Gusti Patih'') yang sebelumnya dikenal dengan nama ''Pate Amdura'' (ejaan Portugis untuk ''Patih Mahodara'').<ref name="Suma Oriental 2015"></ref> BeritaCerita ini diperkuat oleh catatan [[Duarte Barbosa]] dari Italia yang menyebutkan pada tahun 1518 yang berkuasa atas Jawa pedalaman bernama Pate Udra ([[Patih Udara]]). Ia memerintah segala aspek. Ia menggenggam raja di tangannya, bahkan berhak memberikan perintah. Sang raja sudah tidak memiliki suara dalam hal apa pun. Rakyat sudah kehilangan kepercayaan kepada raja karena kecewa telah kehilangan sebagian besar tanah mereka.
 
[[Tomé Pires]] (1513) mencatat sering terjadi peperangan antara ''Pate Amdura'' (ejaan Portugis untuk ''Patih Mahodara'') melawan persekutuan para pate (patih) pesisir utara yang dipimpin Pate Rodim dari ''Demaa'' (ejaan Portugis untuk ''Demak''). Pate Rodim dan para pate yang beragama Islam itu membentuk aliansi melawan Daha. Meskipun demikian, tidak semua pate yang beragama Islam mendukung Pate Rodim. Ada seorang bernama Pate Vira dari Tuban yang meskipun muslim tetapi mendukung Guste Pate di Daha. Pate Vira ini adalah narasumber Tomé Pires mengenai kondisi politik di Jawa saat itu.<ref name="Suma Oriental 2015"></ref>