Konservasi alam di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
'''Konservasi sumber daya alam''' adalah pengelolaan sumber daya alam yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas [[keanekaragaman]] dan [[nilainya]]. '''Konservasi''' juga merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk '''melestarikan atau melindungi alam'''. Sedangkan menurut ilmu lingkungan, konservasi dapat diartikan adalah sebagai berikut:
 
# '''Upaya efisiensi''' dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau distribusi yang berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak menyediakan jasa yang sama tingkatannya.
Baris 6:
# '''Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan.''' Suatu keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola, sementara [[keanekaragaman genetik]] dari [[spesies]] dapat berlangsung dengan mempertahankan [[lingkungan]] alaminya <ref name=":0">{{Cite web|url=http://repository.ut.ac.id/4311/1/PWKL4220-M1.pdf|title=Ruang Lingkup Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan|last=Joko|first=Christianti|date=2014|website=Ruang Lingkup Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan.|access-date=}}</ref>
 
'''Konservasi Sumbersumber Dayadaya Alam''' di Indonesia mulai memperoleh perhatian pada tahun 1970-an. Sejak saat itu konservasi sumber daya alam di Indonesia mulai berkembang. Tujuan dilaksanakannya konservasi tersebut adalah untuk:
 
# memelihara proses [[ekologi]] yang penting dan sistem penyangga kehidupan;
Baris 12:
# pelestarian pemanfaatan jenis dan ekosistem<ref name=":0" />
 
Berdasarkan konsep, cakupan, konservasi dapat dinyatakan bahwa konservasi merupakan sebuah upaya untuk menjaga, melestarikan, dan menerima perubahan dan/atau pembangunan. Perubahan yang dimaksud bukanlah perubahan yang terjadi secara drastis dan serta merta, melainkan perubahan secara alami yang terseleksi. Hal tersebut bertujuan untuk tetap memelihara identitas dan sumber daya lingkungan dan mengembangkan beberapa aspeknya untuk memenuhi kebutuhan arus modernitas dan kaulitaskualitas hidup yang lebih baik. Dengan demikian, konservasi merupakan upaya mengelola perubahan menuju pelestarian nilai dan warisan budaya yang lebih baik dan berkesinambungan. Dengan kata lain bahwa dalam konsep konservasi terdapat alur memperbaharui kembali ''(renew),'' memanfaatkan kembali ''(reuse),'' reducemengurangi ''(mengurangireduce)'', mendaurulang kembali ''(recycle),'' dan menguangkan kembali ''(refund)''<ref name=":1">{{Cite journal|last=Maman|first=Rachman|year=2012|title=Konservasi nilai dan warisan budaya|url=|journal=Journal of Conservation|volume=1|issue=1|pages=|doi=}}</ref>
Berdasarkan pada fakta  tersebut, dapat dilihat bahwa sejak jaman dahulu, konsep konservasi telah ada dan diperkenalkan kepada manusia meskipun konsep konservasi tersebut masih bersifat konservatif dan eksklusif (kerajaan). Konsep tersebut adalah konsep kuno konservasi yang merupakan cikal bakal konsep modern konservasi, yaitu konsep modern konservasi yang menekankan pada upaya memelihara dan memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana
 
=== Sejarah Konservasi SDA di Indonesia ===
Berdasarkan konsep, cakupan, konservasi dapat dinyatakan bahwa konservasi merupakan sebuah upaya untuk menjaga, melestarikan, dan menerima perubahan dan/atau pembangunan. Perubahan yang dimaksud bukanlah perubahan yang terjadi secara drastis dan serta merta, melainkan perubahan secara alami yang terseleksi. Hal tersebut bertujuan untuk tetap memelihara identitas dan sumber daya lingkungan dan mengembangkan beberapa aspeknya untuk memenuhi kebutuhan arus modernitas dan kaulitas hidup yang lebih baik. Dengan demikian, konservasi merupakan upaya mengelola perubahan menuju pelestarian nilai dan warisan budaya yang lebih baik dan berkesinambungan. Dengan kata lain bahwa dalam konsep konservasi terdapat alur memperbaharui kembali (renew), memanfaatkan kembali (reuse), reduce (mengurangi), mendaurulang kembali (recycle), dan menguangkan kembali (refund)<ref name=":1">{{Cite journal|last=Maman|first=Rachman|year=2012|title=Konservasi nilai dan warisan budaya|url=|journal=Journal of Conservation|volume=1|issue=1|pages=|doi=}}</ref>
Selama periode 1974-1982, bidang konservasi alam di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat. Perhatian para peneliti sudah mulai timbul dan tenaga-tenaga ahli Indonesia yang bekerja di bidang konservasi alam semakin meningkat jumlahnya. Pada tahun 1982, di Bali diadakan [[Kongres Taman Nasional Sedunia]] ke-3 yang menghasilkan [[Deklarasi Bali]].  Terpilihnya Bali sebagai tempat kongres mempunyai dampak yang positif bagi pengelolaan Hutan [[Suaka Alam]] dan [[Taman Nasional]] di Indonesia. Perkembangan kawasan konservasi terus meningkat, hingga tahun 1986 luas kawasan perlindungan dan pelestarian alam mencapai 18,7 juta hektar. Di samping itu, dilakukan pula program perlindungan dan pelestarian terhadap satwa liar dan tumbuhan alam yang keadaan populasi serta penyebarannya mengkhawatirkan ditinjau dari segi kelestariannya. Pada tahun 1978 tercatat tidak kurang dari 104 jenis telah dinyatakan sebagai satwa liar yang dilindungi. Sampai dengan tahun 1985, keadaan berubah menjadi 95 jenis mamalia, 372 jenis burung, 28 jenis reptil, 6 jenis ikan dan 20 jenis serangga yang dilindungi <ref name=":2">{{Cite web|url=http://bahanajar.ut.ac.id/app/webroot/epub/pdf_files/1013/PEBI4522.pdf|title=Untitled - Universitas Terbuka|last=Dede|first=Rachman|date=2012|website=|access-date=}}</ref>
 
Kemajuan dan kegiatan konservasi alam di Indonesia juga banyak dirangsang oleh adanya ''[[World Conservation Strategy]]'' (Strategi Konservasi Alam Sedunia), SKAS yang telah disetujui pada waktu sidang umum [[Perserikatan Bangsa-Bangsa]] pada tanggal 15 Maret 1979. Pemerintah Indonesia menyambut positif SKAS tersebut, yang dituangkan dalam tanggapan dan petunjuk Presiden Republik Indonesia pada waktu sidang kabinet tanggal 5 Maret 1980, sebagai berikut:
Konservasi lahir akibat adanya semacam kebutuhan untuk melestarikan sumber daya alam yang diketahui mengalami degradasi mutu secara tajam. Dampak degradasi tersebut, menimbulkan kekhawatiran  dan kalau tidak diantisipasi akan membahayakan umat manusia, terutama berimbas  pada kehidupan generasi mendatang pewaris alam ini <ref name=":1" />
 
== Sejarah Konservasi ==
 
=== Sejarah Konservasi Amerika Serikat ===
Perkembangan kegiatan konservasi sumber daya alam pada garis besarnya dapat dikelompokkan ke dalam 3 periode:
 
* '''Periode I,''' yaitu pada tahun 1901-1909, di bawah kepemimpinan [[Theodore Roosevelt]].
 
Pada tahun 1908, diadakan Konferensi Gedung Putih yang dihadiri oleh para Gubernur, ilmuwan, olahragawan dan pakar yang membahas masalah kelestarian sumber daya alam. Hasilnya dibentuk suatu Komisi Konservasi Nasional (''National Conservation Commission'') yang diketuai oleh Giffort Pinchot. Komisi ini bertugas untuk melakukan kegiatan inventarisasi sumber daya alam secara terperinci. Berdasarkan hasil konferensi sumber daya alam tersebut, T. Roosevelt dapat melakukan langkah-langkah konkret antara lain melakukan alokasi penggunaan sumber daya alam yang lebih tepat. Mulai saat itu tumbuh kelompok-kelompok masyarakat pencinta alam, terutama dari golongan masyarakat yang bekerja di bidang kehutanan. Mereka bekerja sama mencari berbagai upaya untuk melindungi dan melestarikan sumber daya alam <ref name=":2">{{Cite web|url=http://bahanajar.ut.ac.id/app/webroot/epub/pdf_files/1013/PEBI4522.pdf|title=Untitled - Universitas Terbuka|last=Dede|first=Rachman|date=2012|website=|access-date=}}</ref>
 
Pada Periode I ini diterbitkan peraturan perundangan yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam. Dan pada periode ini pertama kali dikembangkan teori sumber daya alam yang dapat dipulihkan (''Renewable Resources'') dan mengembangkan pola pengelolaan untuk mendapatkan hasil yang lestari. Kemudian, ditetapkan sistem perlindungan sumber daya alam dan lingkungan nasional, salah satunya menetapkan luas hutan nasional di Amerika Serikat yang berkembang dari 17 juta ha pada tahun 1902 menjadi 70 juta ha pada tahun 1909
 
* '''Periode II''', yaitu pada tahun 1933-1941, di bawah kepemimpinan [[Franklin Delano Roosevelt|Franklin D. Roosevelt]].
 
Pada masa kepemimpinan, Franklin D. Roosevelt menciptakan pekerjaan dan memecahkan sejumlah masalah sumber daya alam dibentuk ''Public Work Administration'' (PWA) pada tahun 1933 yang bertujuan untuk mengembangkan sumber daya alam. Salah satu program yang diprakarsai oleh PWA pada tahun 1934 adalah ''Prairie State Forestry Project'', yang bertugas untuk membina ''shelter belt'' (pelindung) yang terdiri dari pohon-pohon dan alang-alang yang ditanam mulai dari ''Texas Pan Handle'' ke perbatasan dengan Kanada, yaitu Dakota Utara. Proyek ini berguna untuk mengurangi pengaruh angin yang merusak dataran pertanian. Pada tahun 1934, juga diselesaikan inventarisasi sumber daya alam nasional II dan melakukan tindakan-tindakan perbaikan sumber daya alam yang mengikutsertakan + 2,5 juta anak muda dalam pekerjaan proyek-proyek konservasi. Dibuat barak-barak menempati hutan untuk bekerja membangun alat untuk mencegah timbul dan meluasnya kebakaran hutan, pengendalian hama dan menanam pohon-pohonan. Mereka juga melakukan perbaikan-perbaikan terhadap danau, sungai dan pengendalian banjir. Program ini berdampak positif bagi kelestarian sumber daya alam dan dapat memperbaiki persepsi masyarakat terhadap hutan dan sumber daya alam lainnya <ref name=":2" />
 
Pada tahun 1933, Roosevelt juga mendirikan ''Soil Erosion Service'' yang pada tahun 1935 diganti menjadi ''Soil Conservation Service'' (SCS). SCS ini mengadakan demonstrasi percobaan tentang teknik pengendalian erosi. Pada tahun 1936 diadakan seminar membahas pelestarian sumber daya satwa liar, dengan tujuan:
 
1) Survei sumber daya satwa liar;
 
2) Mengetahui perkembangan usaha-usaha konservasi;
 
3) Mengetahui teknik dan kebijaksanaan yang digunakan untuk memecahkan masalah konservasi <ref name=":2" />
 
Selanjutnya selama Perang Dunia II, kegiatan pertanian ditinggalkan, karena lebih memusatkan usaha untuk memenangkan perang maka mulai muncul lagi masalah pencemaran udara, erosi tanah, kepunahan satwa liar, pengelolaan hutan yang salah.
 
* '''Periode III''', yaitu antara tahun 1962 sampai sekarang, yang dipelopori oleh kepemimpinan [[John F. Kennedy|John F. Kennedy.]]
 
Periode ini diawali oleh kepemimpinan John F. Kennedy (1961). Pada tahun 1962 diadakan Konferensi Gedung Putih yang dihadiri oleh 500 pakar/ahli dari berbagai negara. Dalam konferensi itu dikemukakan mengenai program konservasi sumber daya alam yang meliputi:
 
# Pengawetan daerah hutan rimba;
# Pengembangan sumber daya kelautan;
# Pencadangan pantai yang digunakan untuk umum;
# Perluasan daerah rekreasi;
# Peningkatan penyediaan air tawar melalui desalinisasi;
# Melakukan program tata ruang daerah metropolis;
# Merumuskan rencana pengembangan sumber daya air dari seluruh daerah aliran sungai;
# Meningkatkan pencegahan semua bentuk pencemaran;
# Mengorganisasi perkumpulan konservasi untuk dapat melakukan berbagai program <ref name=":2" />
 
Program konservasi tersebut dilanjutkan oleh pengganti [[John F. Kennedy]], antara lain oleh [[Lyndon Baines Johnson|Lyndon B. Johnson]], Februari 1965. Johnson mengusulkan kepada kongres untuk melakukan pencegahan lebih lanjut terhadap memburuknya lingkungan, antara lain:
 
# program peningkatan sumber daya manusia;
# pengawasan pencemaran udara dan air;
# pengawetan daerah-daerah hutan rimba beserta lingkungan <ref name=":2" />
 
Dua fungsi dari konservasi sumber daya alam dan pemeliharaan serta peningkatan lingkungan hidup manusia dilaksanakan secara baik di bawah pemerintahan Nixon, Ford, Carter dan Reagan. Salah satu usaha dari konservasi sumber daya alam dan pemeliharaan serta peningkatan lingkungan hidup manusia yang dikerjakan pada waktu pemerintahan Nixon adalah membentuk organisasi Badan Perlindungan Lingkungan (EPA = ''Environmental Protection Agency''), yang antara lain terdiri dari:
 
# Badan Pengawasan Pencemaran Udara Nasional (''National Air Pollution Control Agency''); penelitian mengenai pengaruh pencemaran udara; peningkatan kualitas udara.
# Badan Pengawas Mutu Air Federal (''Federal Water Quality Administration''); Penelitian pengaruh pencemaran air terhadap kesehatan, meningkatkan dan menetapkan kualitas air.
# Departemen Dalam Negeri (''Department of Interior''); melakukan penelitian pengaruh pestisida sangat beracun dan sedikit beracun terhadap ikan, satwa liar, binatang-binatang yang kulitnya berbulu serta burung-burung yang suka menyanyi.
# Badan Pengawas Obat dan Makanan (''Food and Drug Administration''); pengawas residu pestisida dalam makanan.
# Badan Pengawas Lingkungan (''Environmental Control Administration''); melaksanakan program pengelolaan limbah padat.
# Program Baku Radiasi Lingkungan (''Environmental Radiation Standard Program''); bertanggung jawab untuk mencegah kerusakan-kerusakan tanaman, satwa liar, ternak dan manusia oleh radiasi sebagai akibat percobaan bom nuklir atau bekerjanya pabrik [[nuklir]] <ref name=":2" />
 
=== Sejarah Konservasi di Indonesia ===
Kegiatan konservasi di Indonesia dimulai pada permulaan abad ke-19, diawali dengan berdirinya perkumpulan penggemar alam (''Nederlands-Indische Vereniging voor Naturbescherming'') yang diketuai oleh [[Dr. S. H. Koorders]]. Kegiatan perkumpulan penggemar alam ini menghasilkan bermacam-macam peraturan dan usulan ditetapkannya beberapa kawasan konservasi alam. Pada bulan September 1864, di Jakarta telah didirikan suatu perkumpulan pencinta flora dan fauna yang dinamakan ''Vereniging Platen en Dierentuin Batavia''. Di antaranya tahun 1889, hutan Cibodas dilarang diganggu gugat dan kemudian dikenal sebagai Cagar Alam Cibodas, dan terakhir statusnya diubah menjadi Taman Nasional. Pada Tahun 1912 diusulkan lagi beberapa kawasan konservasi alam, salah satu diantaranya yang terpenting adalah Ujung kulon. Sebelumnya telah banyak dilakukan ekspedisi, diantaranya ahli botani yang terkenal [[F. Junghuhn]] pada bulan Mei 1846 mengunjungi Ujung kulon. Kemudian, ahli botani dan konservasi alam D[[r. S. H. Koorders]] mengunjungi Ujung kulon pada tahun 1892 <ref name=":2" />
 
Pada tahun 1990 dibentuk persatuan pemburu satwa liar yang diberi nama ''Venatoria''. Kegiatan Venatoria selain mengadakan kunjungan sambil melakukan perburuan satwa liar besar, juga sering kali mengajukan usul kepada persatuan penggemar alam yang diketuai Dr. S. H. Koorders untuk menetapkan kawasan-kawasan konservasi. Misalnya, tahun 1921 ''Venatoria'' mengajukan petisi untuk menetapkan Ujung kulon, seluas 300 km2, sebagai suaka alam. Dalam sejarah konservasi alam di Indonesia, selain Dr. S. H. Koorders sebagai orang pertama, juga dikenal [[A. Hoogerwerf]] yang pada tahun 1937 menjabat Asisten Direktur pada Museum Zoologi dan Kebun Raya di Bogor. Di samping pekerjaannya sebagai asisten direktur, A. Hoogerwerf juga menaruh perhatian yang sangat besar terhadap bidang perlindungan alam dan pengelolaan satwa liar. Dalam tahun 1932-1957 sering melakukan penelitian di kawasan-kawasan konservasi alam, salah satu di antaranya yang mendapat perhatian serius adalah Ujung kulon. Bukunya yang sangat terkenal adalah Ujung kulon'': The Land of the Last Javan Rhinoceros'', diterbitkan tahun 1970. Setelah zaman Hoogerwerf perhatian bangsa asing terhadap konservasi alam di Indonesia semakin meningkat. Walaupun masih sangat terbatas, peneliti-peneliti Indonesia juga mulai tertarik untuk mendalami masalah-masalah konservasi satwa liar. Pada mulanya artikel yang ditulis oleh bangsa Indonesia dapat dikatakan hampir tidak ada. Pada tahun 1955, F.J. Appelman seorang rimbawan senior Indonesia menulis artikel tentang konservasi alam di Indonesia dalam majalah kehutanan ''Tectona''<ref name=":2" />
 
Pada awal dekade 1970-an, wacana konservasi keanekaragaman hayati tumbuh pesat di Eropa Barat dan Amerika. Hal ini di picu oleh merosotnya keanekaragaman hayati dan hancurnya lingkungan karena pertumbuhan urbanisasi serta praktek-praktek pengambilan sumberdaya alam. Untuk menarik perhatian public laporan mengenai kerusakan alam ditulis dengan dramatis. Laporan-laporan ilmiah diisi daftar-daftar spesies punah. Televisi menampilkan penggundulan hutan dan laut tercemar. Foto-foto kawasan-kawasan asli yang hilang dilampirkan di media massa. Pembangunan kegagalan revolusi hijau, sistem ekonomi kapitalis dipandang sebagai penyebab utama. Dunia membutuhkan kesadaran baru terhadap lingkungan. Sebagai alternative, aktivis konservasi, antroplog, ahli biologi, wartawan mencari imajinasi baru mengenai pengelolaan keanekaragaman hayati yang asli <ref name=":3">{{Cite journal|last=|first=Darmanto|year=2011|title=Global, Taman Nasional dan Praktek Lokal di Pulau Siberut, Sumatera Barat|url=https://jurnal.ugm.ac.id/jikfkt/article/view/582|journal=Jurnal Ilmu Kehutanan|volume=|issue=|pages=|doi=}}</ref>
 
Perhatian pemerintah mulai timbul lagi sejak tahun 1974, diawali oleh kegiatan Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam yang berhasil menyusun rencana pengembangan kawasan-kawasan konservasi di Indonesia dengan bantuan FAO/UNDP (''Food and Agriculture Organization/United Nation Development Program''), dan usaha penyelamatan satwa liar yang diancam kepunahan dengan bantuan WWF (''World Wildlife Fund''). WWF adalah badan internasional yang bertugas mencari, menghimpun dan menyalurkan dana untuk kepentingan penyelamatan flora dan fauna yang terancam kepunahan. Pangeran Benhard sebagai pendiri WWF memberikan perhatian yang sangat besar dan terus mendorong WWF bagi program pelestarian satwa liar Indonesia, seperti Badak Sumatra (''Dirhinocheros sumatrensis''), Badak Jawa (''Rhinocheros sondaicus''), Mawas (''Pongo pygmaeus'') dan Bekantan (''Nasalis larvaeus''). Untuk memperlancar bantuan WWF bagi pelestarian satwa liar di Indonesia, dibentuk IWF (''Indonesian Wildlife Fund'') yang pertama kali diketuai oleh Hamengkubuwono IX <ref name=":2" />
 
Pada waktu pertemuan teknis IUCN (''International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources''), suatu badan internasional yang bergerak dalam bidang konservasi alam) ke-7 di New Delhi, India tanggal 25-28 November 1969, Indonesia mengirimkan beberapa orang utusan, di antaranya [[Ir. Hasan Basjrudin]] dan [[Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng]]. Pada konferensi tersebut wakil dari Indonesia menyampaikan makalahnya dengan judul "Suaka Alam dan Taman Nasional di Indonesia. “Keadaan dan Permasalahannya" (''Nature Reserves and National Parks in Indonesia: Present Situation and Problems''), dan "Pendidikan Konservasi Alam di Indonesia" (''Nature Conservation Education in Indonesia''). Kedua makalah tersebut mendapat tanggapan positif dari para peserta konferensi sehingga perhatian dunia luar terhadap kegiatan konservasi alam di Indonesia semakin meningkat<ref name=":2" />
 
Kesadaran lingkungan menciptakan gerakan pelestarian alam sejak dekade 1980. Lembaga konversi internasional terbentuk dan aktif memainkan wacana penyelamatan bumi. Gerakan ini menjadi tekanan bagi lembaga pembangunan global World Bank, Bank Afrika, PBB, FAO yang dituduh sebagai penyebab krisis lingkungan. Lembaga-lembaga ini mengadopsi kritik-kritik dari gerakan lingkungan. Laporan Brunddtland, ''Our Common Future'' (1987) dari World Comission on Environtment and Development (WCED), menandai isu lingkungan masuk ke dalam wacana pembangunan melalui konsep ''“Sustainability development”''. Laporan memunculkan ''“environtment managerialism”'' dimana ilmuwan-ilmuwan dan politisi bekerja dengan para administrator dan birokrat untuk peduli dengan bumi. Wacana konservasi global memuncak pada Pertemuan Puncak Rio 1992. Wacana konservasi semakin melembaga dalam bentuk Protokol Montreal, Konvensi Keanekaragaman Hayati dan terbentuknya lembaga-lembaga internasional (UNEP, UNCED, TFAP, DLL). Menguatnya wacana pelestarian alam berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Dibawah rejim Orde Baru, Indonesia menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Sebagian besar keberhasilan ini berlandaskan eksploitasi minyak bumi, kayu dan hasil alam lainnya melalui penanaman modal asing dan bantuan luar negeri <ref name=":3" />
 
Selama periode 1974-1982, bidang konservasi alam di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat. Perhatian para peneliti sudah mulai timbul dan tenaga-tenaga ahli Indonesia yang bekerja di bidang konservasi alam semakin meningkat jumlahnya. Pada tahun 1982, di Bali diadakan Kongres Taman Nasional Sedunia ke-3 yang menghasilkan Deklarasi Bali.  Terpilihnya Bali sebagai tempat kongres mempunyai dampak yang positif bagi pengelolaan Hutan Suaka Alam dan Taman Nasional di Indonesia. Perkembangan kawasan konservasi terus meningkat, hingga tahun 1986 luas kawasan perlindungan dan pelestarian alam mencapai 18,7 juta hektar. Di samping itu, dilakukan pula program perlindungan dan pelestarian terhadap satwa liar dan tumbuhan alam yang keadaan populasi serta penyebarannya mengkhawatirkan ditinjau dari segi kelestariannya. Pada tahun 1978 tercatat tidak kurang dari 104 jenis telah dinyatakan sebagai satwa liar yang dilindungi. Sampai dengan tahun 1985, keadaan berubah menjadi 95 jenis mamalia, 372 jenis burung, 28 jenis reptil, 6 jenis ikan dan 20 jenis serangga yang dilindungi <ref name=":2" />
 
Kemajuan dan kegiatan konservasi alam di Indonesia juga banyak dirangsang oleh adanya ''World Conservation Strategy'' (Strategi Konservasi Alam Sedunia), SKAS yang telah disetujui pada waktu sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 15 Maret 1979. Pemerintah Indonesia menyambut positif SKAS tersebut, yang dituangkan dalam tanggapan dan petunjuk Presiden Republik Indonesia pada waktu sidang kabinet tanggal 5 Maret 1980, sebagai berikut:
 
# Pemerintah Indonesia mendukung SKAS, seperti disepakati Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Baris 93 ⟶ 23:
# Menyebarluaskan SKAS terhadap masyarakat luas untuk diketahui dan dilaksanakan sesuai dengan semangat dan ideologi Pancasila <ref name=":2" />
 
Pada tahun 1983 dibentuk [[Departemen Kehutanan sehingga Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam]] statusnya diubah menjadi [[Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam]] (PHPA) yang wawasan tugas dan tanggung jawabnya semakin luas. Di samping itu, kegiatan koordinasi yang menyangkut permasalahan lingkungan hidup, termasuk satwa liar, secara aktif dilakukan oleh Kantor [[Menteri Negara dan Kependudukan Lingkungan Hidup]] (KLH) misalnya ''[[Operasi Tata Liman'']] pada tahun 1982, berhasil menggiring + 240 ekor gajah dari [[Lebong]] Hitam ke [[Padangsugihan]] (Sumatra Selatan). Di Sumatra telah dilakukan beberapa studi tentang AMDAL satwa liar, misalnya dampak eksploitasi minyak terhadap satwa liar di [[Suaka Margasatwa]] [[Danau Pulau Besar]] dan [[Danau Bawah]] (Riau) (Alikodra, 1985) dan studi AMDAL gajah untuk lingkungan PIR ([[Perkebunan Inti Rakyat]]) Takseleri kelapa sawit di PT Perkebunan VI Kabupaten Kampar (Riau). Beberapa studi AMDAL yang banyak membahas pelestarian dan perlindungan satwa liar telah dilakukan <ref name=":2" />
 
Pertumbuhan [[Kebun Binatang]], [[Taman Burung]] dan [[Taman Safari]] di Indonesia sangat membantu program perlindungan dan pelestarian satwa liar. Oleh karena selain fungsinya sebagai tempat rekreasi dan koleksi binatang, Taman Safari dan Taman Burung juga mempunyai peranan dalam usaha melindungi dan melestarikan satwa liar. Beberapa kebun binatang di Indonesia telah berhasil mengembangbiakkan satwa liar, misalnya [[Komodo]], [[Jalak Bali]] dan [[Anoa]]. Di samping itu, Kebun Binatang dan Taman Safari secara terbatas juga dapat menampung satwa liar sebagai titipan dari instansi PHPA, misalnya gajah Sumatra atau hewan hasil sitaan. Organisasi Kebun Binatang, Taman dan Taman Safari seluruh Indonesia bersatu di bawah satu perhimpunan, yaitu [[Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia]] (PKBSI). Perhatian dunia Internasional terhadap kepentingan perlindungan satwa liar juga sangat besar. Melalui Pertemuan IUCN (''International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources'') telah ada perjanjian-perjanjian internasional yang membahas masalah '''konservasi sumber daya alam''' antara lain:
 
# [[CITES]], ''Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora''. Perjanjian ini telah diterima sejak tahun 1973 pada konferensi internasional di Washington D.C., Amerika Serikat. Perjanjian ini mulai diperkenalkan untuk mendapatkan anggotanya sejak tahun 1975. Sampai saat ini anggota CITES telah mencapai 90 negara, termasuk Indonesia. Tujuan CITES adalah untuk mengendalikan perdagangan kehidupan liar yang terancam kepunahan., Didi dalam lampiran CITES terdapat lebih dari 2000 spesies fauna dan flora yang terancam kepunahan.
# [[CMA, Convention on the Conservation of Migratory Species of Wild Animals.|CMA, ''Convention on the Conservation of Migratory Species of Wild Animals''.]] Perjanjian ini telah diterima pada tahun 1979 pada konferensi internasional di [[Bonn]], [[Republik Federasi Jerman]]. Perjanjian ini baru dapat dikembangkan sejak tahun 1983 hingga 1985 yang anggotanya telah mencapai 19 negara. Tujuannya adalah untuk mengembangkan mekanisme kerja sama internasional dalam rangka konservasi dan pengelolaan spesies-spesies yang melakukan migrasi dan untuk melakukan identifikasi adanya spesies-spesies migrasi yang memerlukan perhatian khusus. Perjanjian ini juga berusaha untuk menghimpun dana dan mendistribusikan dana, teknik dan mengembangkan pendidikan serta latihan untuk kepentingan konservasi spesies-spesies migrasi.
# [[Ramsar Convention on Wetland of International Importance Especially as Waterfowl Habitat.|''Ramsar Convention on Wetland of International Importance Especially as Waterfowl Habitat''.]] Perjanjian Ramsar diterima sejak tahun 1971, bertujuan untuk menahan kehilangan daerah rawa-rawa dan melindunginya karena fungsinya yang sangat penting bagi proses-proses ekologi di samping kekayaan flora dan fauna yang tinggi. Sampai dengan tahun 1985 telah terdaftar 300 tempat yang mencapai luas 20 juta hektar sebagai daerah rawa yang mempunyai kepentingan internasional ditinjau dari segi [[ekologi]], [[botani]], [[zoology]], [[limnologi]] ataupun [[hidrologi]].
# [[ICRW (International Convention for the Regulation of Whaling|ICRW (''International Convention for the Regulation of Whaling'']]) atau disebut ''Washington Convention'' 1946. Perjanjian ini bertujuan untuk melindungi jenis-jenis ikan Paus yang langka dan terancam kepunahan sehingga diperlukan suatu kebijakan, meliputi mengatur beroperasinya kapal-kapal penangkapan ikan Paus, pabrik pengolahan dan cara-cara penangkapan <ref name=":3">{{Cite journal|last=|first=Darmanto|year=2011|title=Global, Taman Nasional dan Praktek Lokal di Pulau Siberut, Sumatera Barat|url=https://jurnal.ugm.ac.id/jikfkt/article/view/582|journal=Jurnal Ilmu Kehutanan|volume=|issue=|pages=|doi=}}</ref>
 
== Permasalahan Konservasi ==
Baris 106 ⟶ 36:
 
=== Permasalahan dalam Bidang Ekonomi ===
Kerusakan lingkungan bukan saja akan mengurangi kemampuan sumber daya alam dan jasa lingkungan dalam menyuplai kebutuhan manusia, namun juga memiliki konsekuensi yang cukup dalam di tengah penderitaan yang diderita oleh masyarakat akibat kerusakan lingkungan, seperti kekeringan dan kekurangan pangan. Ada kecenderungan yang meningkat terhadap kerusakan alam yang terjadi di wilayah lndonesia. Kecenderungan ini dalam beberapa hal dipicu oleh semakin meningkatnya kebutuhan ekonomi dengan terus meningkatnya pertambahan penduduk. Dengan demikian bukan saja pada jumlah sumber daya alam dan lingkungan yang semakin banyak dikomsumsi namun juga intensitas yang semakin meningkat. Sifat sumber daya alam yang merupakan barang publik kemudian menimbulkan eksternalitas yang berakibat pada ''over consumtion'' dan ''over extraction'' terhadap sumber daya alam dan lingkungan. Berbagai peristiwa nenyangkutmenyangkut menurunnya kualitas lingkungan seperti kasus pencemaran akibat penambangan di [[Teluk Buyat]], penggundulan dan kebakaran hutan, polusi udara, pencemaran wilayah pesisir dan lain sebagainya menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi yang hanya memenuhi keinginan pasar semata pada akhirnya hanya akan mengorbankan kuaitaskuantitas sumber daya alam dan lingkungan. Dan manakalaManakala sumber daya alam dan lingkungan telah terdegradasi, maka akan menjadi bumerang bagi Pertumbuhanpertumbuhan ekonomi itu sendiri<ref name=":4">{{Cite journal|last=Fauzi|first=Akhmad|year=2009|title=Sinergi antara Pembangunan Ekonomi dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.|url=http://eslpasca.ipb.ac.id/pdf/Sinegri%20antara%20Pembangunan%20Ekonomi%20dan%20Penelolaan%20Sumber%20Daya%20Alam%20dan%20Lingkungan.pdf|journal=Jurnal Ekonomi Lingkungan|volume=13|issue=2|pages=|doi=}}</ref>
 
=== Permasalahan dalam Bidang Sosial ===
Ketidak pemahamanKetidakpahaman masyarakat akan lingkungan dapat berakibat sangat fatal kepadabagi kehidupan bermasayarakt local maupun dunia. Masalah socialsosial yang sering ditemukan adalah ketidak pedulanketidakpedulan masyarakat terhadap permasalahan lingkungan tersebut. Masalah social lainnya adalah budaya atau kebiasaan dari penduduk setempat yang masih memegang adat istiadat setempat yang hasil dari adat tersebut adalah berhubungan dengan perusakan lingkungan sehingga para pendiri konservasi susah dan sulit untuk masuk dan melakukan konservasi/pengelolaan kawasan tersebut <ref name=":4" />
 
=== Permasalahan dalam Bidang Politik ===
Gerakan konservasi SDA yang dilahirkan atas kepentingan sebuah warisan keindahan dunia bagi generasi mendatang telah mendunia. Berbagai konvensikonferensi internasional melingkupinya. Dalam pergeseranDewasa waktuini, konservasi kemudian dipahami berbeda antara dunia utara dan dunia selatan. Pemaknaan konservasi di dunia utara lebih mengutamakan warisan keindahan, yang kemudian menjadikan kawasan konservasi steril dari manusia, menjadi sebuah petaka ketika gagasan dialirkan ke wilayah selatan belahan dunia <ref name=":4" />
 
=== Permasalahan dalam Bidang Kelembagaan ===
Persoalan kelembagaan dalam pemerintahan bersumber dari bentuk dari kelembagaan itu sendiri (portofolio atau nonportofolio), keterbatasan mandat, cakupan kewenangan, dan lemahnya koordinasi. Cara pandang bahwa aspek lingkungan hidup merupakan urusan Komisi VIII DPR RI (Komisi yang membidangi lingkungan), dan bukan merupakan urusan komisi-komisi lainnya (misalnya yang menangani bidang kehutanan, perdagangan, dan industri) masih sangat kental. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila isu-isu tertentu contohnya [[Lapindo]] yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang membawa dampak pada lingkungan hidup, kesehatan dan kehidupan masyarakat di Sidoarjo ditanggapi secara berbeda oleh komisi yang satu dengan yang lainnya <ref name=":4" />
<br />