Borobudur: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Membatalkan 1 suntingan oleh 117.102.108.178 (bicara) ke revisi terakhir oleh Myifn (Twinkle 🌟🔔📝)
Tag: Pembatalan
k bentuk baku
Baris 55:
Dalam [[Bahasa Indonesia]], bangunan keagamaan purbakala disebut ''[[candi]]''; istilah ''candi'' juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya [[gerbang]], [[gapura]], dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama ''Borobudur'' tidak jelas,<ref name="Soekmono13" /> meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.<ref name="Soekmono13" /> Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "[[Sejarah Pulau Jawa]]" karya [[Sir Thomas Raffles|Sir Thomas Stamford Raffles]].<ref name="Raffles1814">{{cite book|title=The History of Java|author=Thomas Stamford Raffles|authorlink=Sir Thomas Raffles|year=1817|edition=1978|isbn=0-19-580347-7|publisher=Oxford University Press}}</ref> Raffles menulis mengenai monumen bernama ''borobudur'', akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis.<ref name="Soekmono13">Soekmono (1976), halaman 13.</ref> Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah [[Nagarakretagama]], yang ditulis oleh [[Mpu Prapanca]] pada 1365.<ref name="moens" />
 
Nama ''Bore-Budur'', yang kemudian ditulis ''BoroBudur'', kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan ''candi'' memang seringkalisering kali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah ''Buda'' dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".<ref name="Soekmono13" /> Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama ''Budur'' berasal dari istilah ''bhudhara'' yang berarti gunung.<ref name="casparis" />
 
Banyak [[teori]] yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata ''Sambharabhudhara'', yaitu artinya "[[gunung]]" (''bhudara'') di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa [[etimologi]] rakyat lainnya. Misalkan kata ''borobudur'' berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi ''borobudur''. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata ''bara'' konon berasal dari kata ''[[vihara]]'', sementara ada pula penjelasan lain di mana ''bara'' berasal dari [[bahasa Sanskerta]] yang artinya kompleks candi atau biara dan ''beduhur'' artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam [[bahasa Bali]] yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah [[biara]] atau [[asrama]] yang berada di tanah tinggi.
Baris 72:
=== Danau purba ===
[[Berkas:Borobudur Panoramic View.jpg|jmpl|ka|380px|Borobudur di tengah kehijauan alam [[dataran Kedu]]. Diduga dulu kawasan di sekeliling Borobudur adalah danau purba.]]
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas bukit dengan ketinggian {{convert|265|m|ft|abbr=on}} dari permukaan laut dan {{convert|15|m|ft|abbr=on}} di atas dasar danau purba yang telah mengering.<ref name="Murwanto">{{cite journal|author=Murwanto, H.; Gunnell, Y; Suharsono, S.; Sutikno, S. and Lavigne, F|title=Borobudur monument (Java, Indonesia) stood by a natural lake: chronostratigraphic evidence and historical implications|journal=The Holocene|issue=3|year=2004|pages=459–463|doi=10.1191/0959683604hl721rr|volume=14|unused_data=volume14}}</ref> Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada tahun 1931, seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha, [[W.O.J. Nieuwenkamp]], mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga [[teratai]] yang mengapung di atas permukaan danau.<ref name="casparis">J.G. de Casparis, "The Dual Nature of Barabudur", in Gómez and Woodward (1981), halaman 70 dan 83.</ref> Bunga teratai baik dalam bentuk ''padma'' (teratai merah), ''utpala'' (teratai biru), ataupun ''kumuda'' (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha. seringkalisering kali digenggam oleh [[Boddhisatwa]] sebagai ''laksana'' (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan Buddha mahzab [[Mahayana]] (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak bunga teratai.<ref name="Murwanto" /> Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog. pada daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.
 
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini.<ref>R.W. van Bemmelen (1949). ''The geology of Indonesia, general geology of Indonesia and adjacent archipelago, vol 1A'', The Hague, Government Printing Office, Martinus Nijhoff. cited in Murwanto (2004).</ref> Sebuah penelitian [[stratigrafi]], sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur,<ref name="Murwanto" /> yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil dalam mengubah bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danau nya. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa [[Pleistosen]].<ref>{{cite journal|author=Newhall C.G., Bronto S., Alloway B., Banks N.G., Bahar I., del Marmol M.A., Hadisantono R.D., Holcomb R.T., McGeehin J., Miksic J.N., Rubin M., Sayudi S.D., Sukhyar R., Andreastuti S., Tilling R.I., Torley R., Trimble D., and Wirakusumah A.D.| title= 10,000 Years of explosive eruptions of Merapi Volcano, Central Java: archaeological and modern implications| journal=Journal of Volcanology and Geothermal Research| volume=100| issue=1| year=2000| pages=9–50| doi=10.1016/S0377-0273(00)00132-3}}</ref>
Baris 143:
 
[[Berkas:Trail of civilisations.jpg|jmpl|kiri|Sendratari "Mahakarya Borobudur" digelar di Borobudur]]
Monumen ini adalah objek wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi di Indonesia. Pada 1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000 di antaranya adalah wisatawan mancanegara telah mengunjungi monumen ini.<ref name="Hampton2004"/> Angka ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung setiap tahunnya (80% adalah wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an, sebelum [[Krisis finansial Asia 1997]].<ref name="Sedyawati1997"/> Akan tetapi pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan masyarakat setempat sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi.<ref name="Hampton2004" /> Pada 2003, penduduk dan wirausaha skala kecil di sekitar Borobudur menggelar pertemuan dan protes dengan pembacaan puisi, menolak rencana pemerintah provinsi yang berencana membangun kompleks mal berlantai tiga yang disebut 'Java World'.<ref>{{cite news|url=http://www.time.com/time/printout/0,8816,501030203-411454,00.html|accessdate=23 August 2008|title=Battle of Borobudur|author=Jamie James|date= 27 January 2003|publisher=[[Time]]}}</ref> Upaya masyarakat setempat untuk mendapatkan penghidupan dari sektor pariwisata Borobudur telah meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar Borobudur. Akan tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah seringkalisering kali malah mengganggu kenyamanan pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata asongan yang mengganggu dengan bersikeras menjual dagangannya; meluasnya lapak-lapak pasar cenderamata sehingga saat hendak keluar kompleks candi, pengunjung malah digiring berjalan jauh memutar memasuki labirin pasar cenderamata. Jika tidak tertata maka semua ini membuat kompleks candi Borobudur semakin semrawut.
 
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah. Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan korban terbanyak di [[Yogyakarta]], akan tetapi Borobudur tetap utuh.<ref>{{cite news|url=http://www.smh.com.au/news/world/an-ancient-wonder-reduced-to-rubble/2006/05/29/1148754940170.html|title=An ancient wonder reduced to rubble|author=Sebastien Berger|date=30 May 2006|accessdate=23 August 2008|publisher=The Sydney Morning Herald}}</ref>
Baris 264:
| archivedate =
}}
</ref> Relief Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan, [[bidadari]] atapun makhluk yang mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa, seringkalisering kali digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu melekuk atau sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam teratai bertangkai panjang.<ref>{{Cite web
| url = http://www.art-and-archaeology.com/indonesia/borobudur/bor05.html
| title = Surasundari