Suku Muna: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Matakidi (bicara | kontrib)
Suku Muna/ Orang Muna adalah suku bangsa Muna. Mereka adalah penghuni PUlau Muna dan Puau Buton serta pulau-pulau kecil di kedua pulau tersebut. Suku una/ Orang Muna sudah menghuni kedua puau tersebut sejak 60 - 50 rini SM ( sarasin, 1905 )
Baris 11:
}}
 
'''A. SIAPA SUKU MUNA/ORANG MUNA ITU?'''
'''Suku Muna''' atau Wuna adalah suku yang mendiami [[Pulau Muna]], [[Sulawesi Tenggara]]. Dari bentuk tubuh, tengkorak, warna kulit (coklat tua/hitam), dan rambut (keriting/ikal) terlihat bahwa orang Muna asli lebih dekat ke suku-suku [[Polynesia]] dan [[Melanesia]] di [[Pasifik]] dan [[Australia]] ketimbang ke [[Melayu]]. Hal ini diperkuat dengan kedekatannya dengan tipikal manusianya dan kebudayaan suku-suku di [[Nusa Tenggara Timur]] dan [[Pulau Timor]] dan [[Flores]] umumnya. Motif sarung tenunan di NTT dan motif [[sarung muna]] sangat mirip yaitu garis-garis horisontal dengan warna-warna dasar seperti kuning, hijau, merah, dan hitam. Bentuk ikat kepala juga memiliki kemiripan satu sama lain. Orang Muna juga memiliki kemiripan fisik dengan suku Aborigin di Australia. Sejak dahulu hingga sekarang nelayan-nelayan Muna sering mencari ikan atau teripang hingga ke Perairan Darwin. Telah beberapa kali Nelayan Muna ditangkap di perairan ini oleh pemerintah Australia. Kebiasaan ini boleh jadi menunjukkan adanya hubungan tradisional antara orang Muna dengan suku asli Australia: [[Aborigin]].
 
Suku Muna atau lebih di kenal sebagai Orang Muna adalah masyarakat Suku Bangsa Muna. Suku Muna/ Orang Muna mendiami seluruh Pulau Muna dan pulau-pulau kecil disekitarnya, serta sebagian besar Pulau Buton khususnya bagian Utara, Utara Timur Laut, selatan  dan Barat Daya Pulau Buton, Pulau Siompu, Pulau Kadatua dan Kepulauan Talaga ( wilayah administrasi Kabupaten Buton Selatan dan Buton Tengah). Menurut Sarasin[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftn1|[1]]] bersaudara dan Bernhard Hagen[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftn2|[2]]], Orang Muna yang mereka sebut sebagai Tomuna merupakan penghuni pertama Kepulauan Muna bahkan termasuk penghuni pertama Kepulauan Nusantara. Baik Sarasin maupun Bernhard berpendapat bahwa Tomuna di Pulau Muna dan Tokea di Sulawesi Bagian Tenggara ( Konawe Utara saat ini )  bersama Toala di Sulawesi Selatan dan Orang Kubu  di Sumatra, adalah migrant dari benua Afrika melalui Saylon yang masuk di Nusantara sekitar 60.000 – 50.000 SM.
 
   .Orang Muna mulai mendiami Pulau Muna  sejak jaman purba tepatnya sekitar era mesolitikum ( 50.000 SM ).  Namun Orang Muna saat ini bukanlah asli dari keturunan migrant yang pertama kali ( 60.000 – 50.000 SM ),   tetapi telah terjadi percampuran dengan ras Austronesia –yang datang pada era berikutnya ( 7.000- 5.000 SM ) dan ras Melanosoid ( Doutro Melayu & Protto Melayu) serta Mongoloid yang datang sekira 4000 – 2000 tahun SM. .  Asumsi penulis ini didasarkan pada fakta dimana Bahasa Muna  merupakan lingua franca Orang Muna masih satu rumpun Bahasa Austronesia ( Rene Van Deberg , 2006 ; 115 ). Herawati,seorang peneliti dari lembaga penelitian Eijkman berhipotesa bahwa penyebaran penutur Austronesia di Nusantara terjadi sekitar 5.000  hingga 7.000 SM  ke arah selatan. Berdasarkan hipotesa Herawati tersebut maka  dapat dipastikan Orang Indonesia yang bahasanya masih satu rumpun dengan bahasa Austronesia dalam hal ini termasuk Orang Muna  saat ini yang menggunakan Bahasa Muna yang masih serumpun dengn bahasa Austronesia adalah percampuran ras Weddoid ( migran pertama 60 – 50 ribu SM ) dan ras austronesia yang mulai  menghuni Kepuluan Nusantara sekitar 7.000 – 5.000 SM.
 
Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Harry Truman Simanjuntak, mengatakan, keberagaman manusia Indonesia dipengaruhi gelombang kedatangan dan jalur perjalanan yang berbeda walaupun asal- usulnya tetap satu, yaitu dari Afrika (out of Africa).
 
Pendapat Harry  Truman  tersebut  dikuatkan  oleh  hasil penelitian yang dilakukan oleh Herawati Sudoyo. Dalam studi genetika terbaru menunjukkan bahwa, genetika manusia Indonesia saat ini kebanyakan adalah campuran, berasal dari dua atau lebih populasi moyang. Secara gradual, presentasi genetikan Austronesia lebih dominan di bagian timur Indonesi
 
H. Anwar Hafid[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftn3|[3]]] mengutip Razake mengungkapkan bahwa orang muna banyak memiliki persamaan dengan ras Austro-Melanesoid (Razake, 1989 dalam H. Anwar Hafid, 2013). Di Nusantara, Orang Muna memiliki kesamaan dengan penduduk di Kepulauan Banggai (Sulteng)  dan suku-suku di Nusa Tenggara Timur ( NTT ) dan Kepulauan Maluku. Kesamaan itu dapat di identifikasi dari bentuk tubuh, tengkorak, warna kulit (coklat tua/hitam), dan rambut (keriting/ikal). Hal ini semakin  diperkuat dengan kedekatan tipikal manusianya dan kebudayaan dari suku-suku di Nusa Tenggara Timur dan di Kepulauan Banggai serta Maluku.. Masih menurut Hafid, ras Austro-Melanosoid ini merupakan kelompok migrant terakhir yang datang di Kepulauan Sulawesi Tenggara dan merupakan nenek moyang masyarakat di kepulauan tersebut.
 
Motif sarung tenunan di NTT, Kepulaun Banggai dan Muna memiliki kemiripan yaitu garis-garis horisontal dengan warna-warna dasar seperti kuning, hijau, merah, dan hitam dan bentuk ikat kepala juga memiliki kemiripan satu sama lain serta memiliki nama yang sama yakni ‘ ''Kampurui'' ‘. Demikian juga dengan  bahasa, antara bahasa di daerah NTT, Maluku dan Muna banyak memiliki kesamaan. Dalam hal makanan pokok serta kebiasaan dalam bercocok tanam dan lain-lain, antara Orang Muna dengan masyarakat di NTT serta Maluku juga memiliki banyak kesamaan. Banyaknya kesamaan tersebut  semakin memperkuat keyakinan penulis,  bahwa penduduk di daerah-daerah tersebut benar memiliki kesamaan ras dengan Orang Muna.
 
Orang Muna juga memiliki kemiripan fisik dengan suku Aborigin di Australia. Sejak dahulu hingga sekarang nelayan-nelayan muna, khususnya di Pulau Siompu, Kadatua dan Kepulauan Talaga sering mencari ikan atau teripang hingga ke perairan Darwin. Hal ini membuktikan adanya hubungan antara Orang Muna dengan Orang Aborigin di  Australian.
 
Telah beberapa kali Nelayan Muna[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftn4|[4]]] ditangkap di perairan ini oleh pemerintah Australia. Kebiasaan ini boleh jadi menunjukkan adanya hubungan tradisional antara Orang  Muna dengan suku asli Australia Aborigin.
 
La Kimi Batoa dalam bukunya ‘S''ejarah Kerajaan Muna’ terbitan Jaya Press Raha  ( 1993 ) mengatakan'' bahwa penduduk asli Pulau Muna adalah ''O Tomuna'' dan ''Batuawu. O Tomuna'' memiliki ciri-ciri  berkulit hitam, rambut ikal tinggi badan antara 160- 165 Cm. Ciri-ciri ini merupakan ciri-ciri umum suku-suku malanesia dan Aborigin di  Australia .Suku-suku di Indonesia yang memiliki ciri-ciri seperti ini mendiami wilayah Irian,. Sedadangkan Batuawu  berkulit Coklat  berambut ikal dan tinggi tubuh berkisar 150-160 Cm. Postur tubuh seperti ini merupakan ciri-ciri yang dimiliki suku-suku  Polynesia yang  mendiami Pulau Flores dan Maluku. Sisa-sisa Orang Batuawu di Pulau Muna saat ini sebgian telah di mukimkan di Desa Nihi Kecamatan Sawerigading wilayah administrasi Kabupaten Muna Barat. Sedangkan sebagian lainnya masih hidup didalm gua-gua di dalam hutan di wilayah Punto, Desa Lagadi Kecamatan Lawa Muna Barat.
 
Idris Bolopari seorang tokoh masyarakat Muna  ( Wawacara, 2015 ), mengatakan  penghuni Pulau Muna pertama kali adalah ras Negroit yang datang dari Daratan Tinggi Golan Afrik. Sayagnya Indris Bolopari tidak menjelaskan secara pasti kapan ras Negroit itu datang ke Pulau Muna. Masih menurut Idris Bolopari, mereka itulah penghuni gua-gua di Pulau Muna.   Manusia dengan ras negroit yang digambarkan Idris Bolopari  ini besar kemungkinan merupakan penduduk asli Pulau Muna seperti yang digambarkan oleh Sarasin bersaudara, Hargen  dan La Kimi Batoa yang dikenal dengan O Tomuna.  Siasa – sisa sejarah peradaban ras Negroid tersebut dapat di lihat pada lukisan dinding- dinding gua yang tersebar di daerah Kawuna-wuna ( Kopleks Liangkobori ). Lukisan-lukisan pra sejarah  yang ada di Kompleks Gua Liangkobhori tersebut menurut Koasi telah berusia diatas 25.000 tahun.
 
'''B. ASAL USUL ORANG MUNA'''
 
Para ahli sampai saat ini bersepakat bahwa Afrika sebagai awal munculnya genus Homo, termasuk Homo. sapiens, yang menjadi cikal bakal manusia saat ini. Pendapat para ahli tersebut didukung oleh ilmu genetika melalui penelitian DNA mitokondria gen perempuan ("Eve" mitochondrial gen) dan Y kromosom gen laki-laki ("Adam" Y chromosome), sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga penelitian Eijkmen (Tempo.com, 30 Januari 2017).
 
Berdasarkan biomolecular dating, kronologi migrasi orang Afrika adalah sebagai berikut : sekira  120 ribu tahun SM mereka bermigrasi ke Afrika Selatan, 100 ribu tahun SM.  mencapai Israel, 70 - 50 ribu tahun SM  mencapai Arabia dan wilayah Timur Tengah, serta 50 -30 SM mencapai Asia Selatan, Asia Tenggara termasuk Kepulauan Nusantara, dan Australia-. Cabang lain ke Eropa dan Siberia; 20 – 15 SM mencapai Bering dan Alaska, Amerika Utara; 15.000-12.000  SM mencapai Amerika Selatan.
 
Temuan para peneliti Lembaga Eijkmen tesebut memperkuat  temuan Sarasin bersaudara yang mengatakan bahwa Orang Afrika yang bermigrasi di Kepuluan Nusantara dan menjadi cikal bakal Penduduk Nusantara sekira tahun 60.000 – 50.000  SM. Mereka itu menyebar di Pulau Sumatra ( Orang Kubu ), Kalimatan, dan Sulawesi ( Toala dan Tokea – daratan Sulawesi & Tomuna di Daratan Pulau Muna ).
 
Paul dan Fritz Sarasin, atau yang dikenal dengan Sarasin bersaudara melakukan penelitian mengenai nenek moyang bangsa Indonesia. Menurut Sarasin bersaudara, nenek moyang bangsa Indonesia adalah ras yang berkulit gelap dan memiliki postur tubuh kecil. Ras ini pada mulanya mendiami Asia bagian Tenggara yang pada saat zaman glasial masih menyatu dengan benua Asia. Akan tetapi setelah zaman es mencair, daratan tersebut kemudian terpisahkan oleh laut, yaitu Laut China Selatan dan Laut Jawa. Sehingga, Indonesia yang tadinya bersatu sebagai satu daratan dengan Benua Asia, menjadi terpisah. Ras pertama yang menghuni Kepulauan Indonesia ini oleh Sarasin bersaudara disebut sebagai Ras Vedda atau Weddoid[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftn5|[5]]].
 
Mereka mulanya tinggal di Asia bagian tenggara. Ketika zaman es mencair dan air laut naik hingga terbentuk Laut Cina Selatan dan Laut Jawa, sehingga memisahkan pegunungan vulkanik Kepulauan Indonesia dari daratan utama. Akibat peristiwa itu menyebabkan penduduk asli Kepulauan Indonesia yang tersisa menetap di daerah-daerah pedalaman, sedangkan daerah pantai dihuni oleh penduduk pendatang. Pendapat Sarasin ini memeberi jawaban kenapa Tomuna yang mendiami gua-gua di Pulau Muna tinggal di pedalaman jauh dari pantai.
 
Berasarkan   temuan para peneliti dari Lembaga Penelitian Eijkman dan Sarasin bersaudara tersebut, dapat dipastikn bahwa manusia penghuni pertama kepulauan Nusantara termasuk Kepulauan Muna adalah migrasi dari Benua Afrika yang masuk ke Nusantara melalui Benua Asia dalam sejak 60.000 – 50. 000 tahun SM.
 
Bukti-bukti keberadaan migrasi awal manusia modern ini bisa ditemui di banyak situs di Jawa Timur (Song Terus, Braholo, dan Song Kepek), Sulawesi Selatan (Leang Burung dan Leang Sekpao), serta di gua pra sejarah Linagkobhori Pulau Muna. Temuan lukisan tangan di Leang Timpuseng, Maros, telah berusia 40.000 tahun dan Liangkobhori  Pulau Muna yang telah berusia 25.000 tahun. Lukisan-lukisan di gua yang ditemukan di Sulawesi Selatan dan Pulau Muna Sulawesi Tenggara tersebut  diperkirakan yang tertua di dunia.
 
Selain Ras Vedda dan Negroit[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftn6|[6]]], bangsa Indonesia termasuk Orang Muna  juga terpengaruh oleh persebaran ras Proto Melayu dan Deutro Melayu. Secara umum, kedua ras tersebut memiliki ciri - ciri fisik yang hampir serupa, yaitu berambut lurus, berkulit kuning kecoklatan dan bermata sipit.  
 
Proto Melayu. Disebut juga sebagai Melayu Tua. Ras ini lebih dahulu datang dibandingkan dengan Deutro Melayu. Ras Proto Melayu merupakan kelompok Melayu Polinesia yang bermigrasi dari wilayah Cina Selatan (sekarang Provinsi Yunan). Proto Melayu bermigrasi ke wilayah Nusantara melalui dua jalur, yaitu jalur Barat dan Jalur Timur. Yang bermigrasi mlalui jalur Timur inilah yang sampai di wilayah Timur Sulawesi termasuk Pulau Muna.  Deutro Melayu. Disebut juga dengan Melayu Muda. Ras ini merupakan gelombang kedatangan yang kedua. Yang berasal dari Indochina bagian Utara.
 
Kelompok Proto Melayu dan Deutro Melayu dikenal sebagai Austromelanesia atau Austroasiatik. Dalam peradabannya mereka  mengembangkan hunian goa yang sebelumnya dilakukan manusia migran pertama dan melanjutkan tradisi berburu serta meramu (out of Taiwan) sekitar 4.000 tahun lalu
 
Berdasarkan gelombang migrasi dan persebarannya, orang Indonesia dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu sebagai berikut [[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftn7|[7]]]:
 
1. Golongan Papua Melanesoid
 
Ciri-cirinya : rambut kriting, bibir tebal, dan kulit hitam. Yang termasuk golongan ini adalah penduduk Pulau Papua, Kai, dan Aru.
 
2. Golongan Negroit
 
Ciri-cirinya : rambut kriting, perawakan kecil, dan kulit hitam. Persebaran golongan ini di Semenanjung Malaya.
 
3. Golongan Weddoid
 
Ciri-cirinya : perawakan kecil, kulit sawo matang, dan rambut berombak. Persebarannya adalah orang Sakai, di Siak, orang Kubu di Jambi, orang Enggano, Mentawai, Toala Tokea di Sulawesi, dan Tomuna di Kepulauan Muna.
 
4. Golongan Melayu Mongoloid
 
Ciri-cirinya : rambut ikal atau lurus dan muka bulat. Golongan Melayu Mongoloid adalah golongan terbesar yang ditemukan di Indonesia dan dianggap sebagai nenek moyang bangsa Indonesia. Golongan ini dibagi menjadi golongan Melayu Tua (Proto-Melayu) dan golongan Melayu Muda (Deutro Melayu).
 
Berdasarkan teori-teori migrasi manusia penghuni kepulauan Nusantara tersebut, maka dapat dikatakan bahwa asal usul  '''Orang Muna''' menjadi penghuni Pulau Muna dan Pulau-pulau lainnya sejak  jaman purbakala berasal dari Afrika ( ras Weddoid ) dan dari daratan asia ( ras Austronesi dan Melanesia).  Mereka itu datang ke Pulau Muna dalam tiga  periode migrasi yaitu :
 
1.   Fase Pertama adalah Ras Weddoid datang dari benu Afrika melalui Asia ( Kepuluan Saylon Srilangka)  yang saat itu masih bersatu karena bumi masih ditutupi es sekitar 60 - 50 ribu SM ( teori out of Afrika ) .
 
2.   Fase Kedua adalah ras Austronesia datang dari Asia sekitar  7000 – 5000 SM. Kedatangan pada vase kedua ini jumlanya lebih banyak dari fase pertama sehingga mereka lebih dominan  dari segi gen dan budaya.
 
3.   Fase Ketiga adalah ras Melanesia atau Melayu Austronesia sekitar 4000- 2000 SM. Ras Melanesia ini  terbagi lagi menjadi dua yaitu  Dautro Melayu ( Melayu Tua ) dan Proto Melayu ( Melayu Muda ).
 
Orang Muna saat ini adalah percampuran dari ketiga ras tersebut namun yang lebih dominan dari segi gen dan budaya khusunya bahasa adalah ras Austronesia.
 
Sisa-sisa peradaban nenek moyang Orang Muna tersebut masi dapat dilihat pada relief purba di gua Liangkobori dan Gua Metanduno. Menurut beberapa penelitian,  relief tersebut telah berusia lebih dari 25.000 tahun. Relief yang ada di Gua Liangkobori dan Metanduno secara jelas menceritakan aktifitas  Orang Muna saat itu. Bukti dominasi ras Austronesia dalam gen Orang Muna  dapat dilihat dari bentuk fisiknya yang 90 % memiliki kesamaan dengan ras Austronesia yang tersebar diseluruh dunia seperti di Maluku, Kepulauan Vanuatu Papua Nugini dan Kepuaauan Madagaskar. Demikian juga dari segi bahasa dimana masyarakat di wilayah-wilayah tersebut menggunakan bahasa yang masih serumpun dengan bahasa Austronesia.    
 
Dari relief yang ada di dinding goa yang da di kompleks goa Liangkobhori tergambar bahwa walau '''Orang Muna''' masih menempati goa sebagai tempat tinggal mereka, tetapi mereka telah memiliki peradaban dan kebudayaan yang cukup tinggi. Orang Muna saat itu seperti yang diceritakan dari relief tersebut telah menggunakan alat-alat  pertanian dalam bercocok  tanam. Pengetahuan mereka dibidang astronomi juga mulai mengalaami perkembangan. Hal ini dapat dilihat dari gambar matahari, bintang dan bulan.
 
Pengetahuan Orang Muna di bidang astronomi tersebut masih terus di lestarikan. Hal ini dapat dilihat dari Masyarakat Muna di pedalaman yang masih mengandalkan pengetahuan tradisional dibidang astronomi untuk menentukan musim tanam.
 
Ada beberapa nama Rasi bintang yang menjadi petunjuk untuk melakukan aktifitas pertanian. Misalnya saja Rasi Bintang yang di namakan ''Fel''e dan Moose.  apabila rasi bintang ini sudah mulai terlihat jelas, maka aktifitas membersikan lahan segera di mulai sebab satu bulan lagi hujan pertama akan turun. Apabila hujan sudah turun maka pembakaran lahan dimulai.
 
Masih dalam hal ilmu perbintangan dan benda-benda langit lainnya. Orang Muna penghuni gua-gua juga sudah mengembangkan ilmu yang berkaitan dengan pergerakan benda-benda langit seperti matahari, bintang dan bulan. Pada jaman dahulu, nenek moyang Orang Muna, bila bila ingin melakukan suatu aktifitas penting seperti berburu, berperang atau menikah selalu berpedoman pada pergerakan benda-benda langit. Orang yang memiliki keahlian di bidang ini di sebut sebagai “ Pande Solo “ sedangkan ilmunya mereka sebut “ Kutika “. Orang Muna sangat percaya bahwa setiap pergerakan benda-benda langit  sangat berpengaruh terhadap kelangsungan  hidup manusia kedepannya. Bila orang tidak memperhatikan hal itu dalam memulai aktifitas penting, maka besar kemungkinan aktifitas itu tdak membuahkan manfaat bahkan bisa mendatangkan bencana bagi yang melakoninya.
 
Selain sebagai alat menentukan musim dan waktu melakukan aktifitas penting, Orang Muna juga memanfaatkan benda-benda langit sebagai penunjuk arah khususnya ketika berlayar. Sebagai manusia pengembara di samudra, Orang Muna tentu membutuhkan patokan yang tetap untuk menentukan suatu arah. Olehnya itu, Orang Muna menggunakan bemda-benda langit seperti bintang, bulan dan matahari sebagai petunjuk arah. Dengan memanfaatkan benda-benda langit terebutlah Orang Muna bisa mengembara kemana saja sesuai tujuan yang di inginkan.
 
Semua Peradaban Orang Muna itu terekam jelas dari lukisa-lukisan di dinding gua pra sejarah Lingkobhori di sekitar Kawuna- wuna, berjarak sekitar 10 KM dari Raha Ibukota Kabupaten Muna saat ini. Ada sekitar 13 gua dengan lebih dari 1600 gambar yang menyimpan dokumen-dokumen tersebut yang dapat berfungsi sebagai perpustakaan alam yang di sediakan bagi generasi saat kini dan yang akan datang yang dibangun oleh nenek moyang Orang Muna sejak puluhan ribu tahun yang lalu. Perpustakaan alami itu dapat dijadikan suber referensi untuk memperkaya ilmu pengetahuan sekligus mengenal peradaban Orang Muna sejak puluhan ribu tahun yang lalu.
 
     .    
 
C. PROSES PENYEBARAN ORANG MUNA DI KEPULAUAN MUNA & BUTON
 
Orang Muna yang menghuni Pulau Muna sejak  60 ribu- 50 ribu  tahun yang lalu, populasinya semakin besar. Pertambahan populasi tersebut berimplikasi pada semakin besarnya kebutuhan makanan dan persaingan untuk mendapatkan sumber-sumber maknan tersebut. Sementara itu, ketersediaan makanan dan hewan buruan di alam semakin terbatas. Olehnya itu mereka terus berusaha memperluas wilayah mencari makanan dan areal berburu mereka. Dipimpin oleh yang di tua kan ( Primus Interparents ) mereka bergerak ke arah Selatan Pulau Muna ( sekarang masuk dalam administrasi Kabupaten Buton Tengah ) yang diharapkan  masih menyediakan banyak hewan buruan seperti babi hutan, rusa dan sapi liar.
 
Fritz Sarasin Reisen in Celebes: Ausgefhrt in Den Jahren 1893-1896 Und 1902-1903 berpendapat bahwa beberapa suku bangsa seperti Kubu, Lubu, Talang Mamak yang tinggal di Sumatra dan Toala di Sulawesi Selatan serta Tomuna di Kepulauan Muna Sulawesi Tenggara merupakan penduduk tertua di Kepulauan Indonesia. Mereka mempunyai hubungan erat dengan nenek moyang Melanesia masa kini dan orang Vedda yang saat ini masih terdapat di Afrika, Asia Selatan, dan Oceania. Vedda itulah manusia pertama yang datang ke pulau-pulau yang sudah berpenghuni. Mereka membawa budaya perkakas batu.
 
Sedangkan Arkeolog Universitas Hasanuddin, Iwan Sumantri mengatakan, 60.000 tahun lalu, gelombang manusia dari ras Austro-Melanesia mendatangi kepuluan Sulawesi. Mereka menggunakan rakit sederhana dan gua tempat berlindung. Masa itu, ras ini belum mengenal pakaian, namun sudah menggunakan api untuk memasak makanannya dan sebagai penerangan dan penghangat tubuh bila malam hari. Mereka  mendapatkan makanan dengan cara berburu dan meramu,  serta menggunakan  perkakas sederhana dari batu.
 
Gelombang migrasi ini, belum mengenal kehidupan yang menetap. Belum membangun rumah atau mengenal cocok tanam. Pemenuhan kebutuhan hidup seperti makanan, dengan mencari kerang ataupun mengkonsumsi hewan dan umbi-umbian.
 
Gelombang ini, menciptakan kelompok-kelompok kecil, dengan sistem kepimpinan informal. Mereka menjelajahi daratan hingga ratusan kilometer untuk pemenuhan kebutuhan. Kebiasaan menjelajah itulah yang kemudian mereka menyebar hingga ke arah Selatan Pulau Muna bahkan sampai di Pulau Buton dan Pulau-pulau kecil di sekitarnya.
 
Dumont d’Urville seorang penjelajah berkebangsaan Prancis dalam pertemuan Geography Society of Paris pada tanggal 27 Desember 1831. Pertama kali memperkenalkan Melanesia yaitu  etnik penduduk yang berkulit hitam dan berambut keriting di kawasan Pasifik. Menurut Harry Truman Melanesia  berasal dari Afrika. Dari tanah asalnya Afrika, mereka  dengan semangat keberaniannya melintasi selat-selat dan laut hingga mencapai Kepulauan Nusantara. Ketika  itu , mereka tidak mempunyai tempat tujuan.
 
Dalam pikiran mereka ketika meninggalkan tanah Afrika, yang ada hanyalah bagaimana mereka dapat menemukan ladang kehidupan baru yang lebih menjanjikan. Mereka beruntung dalam pengembaraannya segala rintangan alam dapat diatasi, dari generasi ke genarasi mereka mencapai wilayah-wilayah penghidupan yang baru. Di tempat baru itu mereka mengeksplorasi sumberdaya lingkungan yang tersedia untuk mempertahankan hidup. Mereka meramu dari berbagai umbi-umbian dan buah-buahan.  Hewan-hewan juga diburu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Untuk keperluan itu maka dibuatlah peralatan dari batu dan bahan organik, seperti kayu dan bambu.
 
Karena wilayah yang mereka tuju ternyat terdapat banyak gua-gua yang bisa menjadi tempat berlindung dan bertempat tinggal, akhirnya mereka menetap di wilayah tersebut dan tinggal dalam gua-gua disekitar mereka berburu dan meramu. Orang Muna yang bermigrasi ke Selatan Pulau Muna adalag percampuran migrant pertama ( Weddoid )  yang dating sekitara60 – 50 ribu SM dengan migrant kedua ( ras Austronesia ) yang dating sektar 7.000 – 5.000 SM. Mereka itulah yang menjadi nenek moyang Orang Muna di Selatan Pulau Muna tersebut.
 
Keterpisahan wilayah yang cukup jauh ( 100 Km ) membuat sedikit terjadi perbedaan kebudayaannya khususnya dari segi dialek bahasa. Ada beberapa kosa kata dan dialek yang berbeda antara Orang Muna di bagian selatan dengan Orang Muna di bagian utara Pulau Muna. Adanya perbedaan beberapa kosa kata dan dialeg tersebut sehingga beberapa ahli linguistic  mengatakan bahwa Bahasa Muna di Utara Pulau Muna sebagai Bahasa Muna standar sedangkan Bahasa Muna yang digunakan Orang Muna di Selatan Pulau Muna sebagai Bahasa Muna dialeg Gu-Mawasangka.
 
Setelah ketersediaan hewan buruan di daratan Pulau Muna juga semakin menipis, mendorong sebagian Orang Muna kemudian menyeberang ke Pulau Buton. Orang Muna di bagian Utara Pulau Muna menyeberang ke pesisir Utara Pulau Buton, sedangkan Orang Muna yang ada Selatan Pulau Muna menyeberang di pesisir Tengah sampai Selatan Pulau Buton. Mereka- mereka itulah yang kemudian menjadi cika bakal penduduk awal Pulau Buton. Rudyansah dkk yang mengutip Mujur dalam bukunya Kesepakatan Tanah Wolio ( 2011 ) mengatakan bahwa pada jaman pra sejarah Pulau Buton telah di huni oleh suku-suku diantaranya adalah Suku Pancana. Yang merupakan orang asli tertua yang pernah hidup di dalam goa di daratan Muna sejak 4000 SM. Suku ini  kemudian menurunkan Suku Wakaokili, Suku Kalende, Suku Lambusango, Suku Kolagana, Suku Lowu Lowu, Suku Wapancana, dan Suku Todhanga ( Tony Rudyasjah dkk, 2011;18 ).
 
Berdasarkan hipotesa Tony Rudyansjah dkk tersebut maka diperkirakan Orang Muna menyeberang di pulau Buton adalah perpaduan genetic antara ras Weddoid-austrronesia dan Proto Melayu atau Melayu Muda. Mereka adalah migrasi gelombang ke tiga  dan bermigrasi Kepulauan Nusantara termasuk Pulau Muna antara 4000 – 2000 SM. Ras Proo Melayu ini ketika bermigrasi ke Nusantara telah mengenal teknologi pembuatan rumah dan bercocok tanam. Olehnya itu mereka tidak lagi tinggal dalam gua tapi telah membuat rumah sebagai tempat tinggal mereka. Rumah-rumah yang mereka buat adalah rumah panggung. Pembuatan rumah panggung ini bertujuan agar mereka terhindar dari gangguan hewan liar.
 
Beradasarkan alasan itulah, mengapa di daratan Pulau Buton tidak di temukan peninggalan-peninggalan prasejarah di dalam gua. Hal itu selain di Pulau Buton ( Khususnya yang menjadi sebaran hunian Orang Muna ) tidak memiliki gua yang representative untuk dijadikan sebagai tempat hunian, Orang Muna yang menyeberang di Pulau Buton telah mengenal teknologi pembuatan rumah. Jadi kemungkinan Orang Muna yang menyeberang di Pulau Buton tersebut tidak lagi tinggal di dalam gua tetapi telah tinggal dalam rumah-rumah yang mereka bangun sendiri.
 
Orang Muna di Pulau Buton  semakin berkembang peradabannya setelah datangnya pendatang dari Semenanjung Melayu. Para pendatang tersebut dalam sejarah Buton di Kenal sebagai “ ''Mia Pata Miana “.''  Rombongan Mia Pata Miana inilah yang kemudian merintis berdirinya Kerajaan Wolio sekitar abad ke 14. Kerajaan para pendatang itu bertahan sampai raja ke 5 yang bernama Nguju Raja atau Raja Mulae. Kerajaan ini runtuh setelah Putera Raja Muna Ke 6 Sugi Manuru yang bernama La Kilaponto mengambil alih kerajaan tersebut pada Tahun 1538 dan mendirikan kerajaan baru berbentuk kesultanan yang diberi nama Kesultanan Butuuni atau Buton tahun 1541[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftn8|[8]]]  .  
 
    .  
 
'''C. ORANG MUNA DALAM MEMBANGUN PERADABAN DI KEPULAUAN  MUNA DAN BUTON'''
 
'''C.1. Orang Muna Di Pulau Muna'''
 
Sebagaimana ulasan diatas bahwa Orang Muna atau Tomuna ( menurut Sarasin bersaudara dan Hebern ) telah mendiami Pulau Muna sejak 60-50 ribu SM, maka berarti peradaban Orang Muna sudah dimulai sejak saat itu pula.
 
Mengenai awal peradaban manusia di Pulau Muna dikisah dalam dua versi yaitu versi mitologi ( cerita rakyat ) dan versi ilmiah. Kedua versi itu memiliki pengaruh kuat dikalangan masyarakat sehingga dalam penulisan sejarah Muna, keduanya selalu digunakan sebagai rujukan sebagai sejarah awal mula peradaban masyarakat Muna.
 
Dalam artikel ini, penulis mencoba menampilkan kedua versi itu agar bisa menjadi pencerahan pembaca.
 
'''C.1.1. Versi Mitologi'''
 
Dalam tradisi lisan masyarkat Muna dikisahkan bahwa salah satu kelompok manusia pertama di Pulau Muna adalah Sawerigading dan pengikutnya yang berjumah 40 orang. Dalam tradisi lisan yang diceritakan secara turun temurun tersebut dikisahkan bahwa, pada zaman dahulu seluruh daratan Pulau Muna masih digenangi oleh lautan. Dan pada suatu masa, ketika kapal Sawerigading lewat tiba-tiba air menjadi surut dan daratan yang sebelumnya didasar lautan muncul ke permukaan dan membentuk Pulau Muna dan seketika itu juga kapal Sawerigading karam. Bukit karang yang mirip sebuah perahu di wilayah Bahutara masih dalam kompleks Benteng Kotano Wuna oleh masyarakat Muna di yakini sebagai bangkai kapal Sawerigading yang telah berubah menjadi fosil. 
 
J. Couvreur,  kontroleur yang pernah bertugas di Muna, mengutip  tradisi lisan masyarakat Muna dalam laporan serah terima yang diberi judul Ethnografisch overzicht van Moena. Setelah perahunya terdampar itu, Sawerigading kemudian berjalan diatas pulau tersebut sampai Tewiseno Kontu ( Kecamatan Lamanu saat ini ) kemudian kembali ke Luwu. Sementara 40 orang pengikutnta menetap di Muna. Beberap saat kemudian, sebagian dari [engikut Sawerigding itu kembali ke Luwu untuk memboyong kelurganya ke Pulau Muna  ( Rene Van Deberg, 2005 : 1 & 2 ),
 
Namun rupanya, kisah tentang kapal Sawerigading tersebut di kisahkan terlalu hiperbolik sehingga kisah itu diaggap hanyalah sebuah mitos atau bahkan dongeg sebelum tidur. Betapa tidak,  dalam berbagai literature yang mengisahkan tentang Sawerigading mengungkapkan  bahwa peristiwa petulangan Sawerigading kejadiannya sekitar abad ke 13 Masehi. Jadi tidak masuk akal bangkai kapal yang karam pada masa itu, saat ini sudah berubah menjadi batu.
 
Kejadian karamnya kapal Sawerigading di Pulau Muna bisa jadi benar adanya, sebab tradisi lisan masyarakat Muna tersebut memiliki kemiripan dengan kisah yng digambarkan  dalam epic I La galigo. Kisah dalam Epic tersebut  mengisahkan bahwa Sawerigading adalah seorang pelaut yang tangguh. Dia melakukan penjelajahan samudera setelah bersumpah untuk tidak kembali di negerinya ( Luwu) karena ditentang rencananya untuk menikahi Wa Tendriyabeng yang ternyata saudara kembarnya. Jadi dalam pengembaraannya tersebut, kemungkinan kapal Sawerigading karam di sekitar Pulau Muna sehingga dia dan pengikutnya harus singgah dan menetap di Pulau Muna. Namun karamnya kapal Sawerigading tersebut tidak seperti yang diceritakan secara turun temurun dalam masyarakat Muna tapi di suatu pesisir Pulau Muna.  
 
Dikisahkan dalam epik tersebut bahwa menurut adat masyarakat Luwu hubungan antara  Sawerigading dan Wa Tanriabeng ( Saudara kembar ) tidak dibolehkan. Olehnya itu keduanya harus dipisahkan. Atas bujukan  We Tenriabeng akhirnya Sawerigading berangkat  ke negeri Tiongkok memenuhi jodohnya di sana, I We Cudai namanya. Wajah dan perawakannya sama benar dengan We Tenriabeng. Pada waktu Sawerigading berangkat ke Tiongkok. Pada saat yang bersamaan We Tenriabeng sendiri naik kelangit dan kawin dengan tunangannya di sana bernama Remmang ri Langi ([[Sawerigading|https://id.wikipedia.org/wiki/Sawerigading]] ) .
 
Tutur lisan masyarakat Muna lainya mengisahkan bahwa permaisuri Raja Muna pertama La Eli atau Bheteno Ne Tombula bernama Wa Tandi Abe. Nama ini mirip dengan  We Tenriabeng saudara kembar Sawerigading. Masih dalam tradisi lisan tersebut dikisahkan, bahwa Wa Tadi Abe ditemukan oleh masyarakat Muna di tepi pantai, pesisir timur Pulau Muna. Penemuan Wa Tandi Abe yang kemudian diberi gelar Sangke Palangga[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftn9|[9]]]  didengar oleh Mieno Wamelai[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftn10|[10]]] Sebelum  Sawerigading  dan pengikutnya yang  berjumlah 40 orang berbaur dengan penghuni Pulau Muna yang telah ada sebelumnya, mereka mulai membangun peradaban dan kebudayaaan  yang lebih maju. Pada fase berikutnya, kelompok pendatang dari Luwu Sulawesi selatan itu kemudian memperkenalkan organisasi modern pada Orang Muna dengan membentuk Kerajaan yang di beri nama Kerajaan Wuna[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftn11|[11]]] dengan Raja Pertamanya adalah La Eli gelar bheteno ne tombola yang menikahi We Tenriabeng ( W Tandi Abe ) saudara Sawerigading dari Luwu ( Pembahasan mengenai pembentukan Kerajaan Muna ini akan dibahas pada “ Sejarah Pembentukan Kerajaan Muna ). Cikal bakal Kejan Wuna adalah 8 kampung yang telah terbentuk sebelum kelompok pendatang dari Luwu yang dipimpin oleh Sawerigading datang di Pulau Muna.
 
'''C.1.2. Versi Ilmiah'''
 
Sebagaimana pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa berdasarkan penelitian ilmiah, Orang Muna berasal dari Afrika yang datang ke Nusantara melalui  Saylon di Srilangka pada masa glacial (jaman  es ) sejak 60-50 ribu SM ( Sarasin bersaudara dan Herberg ). Itu artinya sejak sejak saat itu pula Orang Muna telah memulai peradaban di Pulau Muna. Dengan kebudayaan yang sederhana, Orang Muna memulai peradabannya dengan berburu dan meramu untuk bertahan hidup. Sedagkan tempat untuk tinggal,  mereka mengandalkan goa-goa cadas yang banyak tersedia di daratan Pulau Muna.
 
Karena populasi mereka yang tidak terlalu banyak, maka alam dapat mencukupi kebutuhan mereka. Umbi- umbian seperti Kolope, Ghofa dan Mafu  serta hewan buruan seperti rusa, babi hutan dan kerbau juga masi tersedia banyak di alam
 
Kondisi alam yang saat itu mendukung, semakin meyakinkan mereka untuk menetap di tempat hunian yang baru itu. Alam tropis dengan biodiversitasnya menyediakan kebutuhan hidup sehingga populasi terus meningkat. Mereka kemudian hidup menyebar ke gua- gua. Seiring dengan semakin berkembangnya zaman, kebutuhan nenek moyang kita ini juga semakin meningkat. Teknologi untuk mempermudah kehidupan mereka juga semakin berkembang.
 
Kemajuan dalam bidang seni pada saat itu ditandai dengan lukisan-lukisan cadas yang terdapat di dinding gua-gua yang memanifestasikan kekayaan alam pikiran. Kepercayaan pada kehidupan sesudah mati juga terkonsepsi dalam perilaku   kubur terhadap orang yang meninggal.
 
Kosasi, seorang pakar arkeologi yang melakukan penelitian terhadap gua pra sejarah di Gua Leang-leang Maros Sulawesi Selatan dan  di Kompleks Gua Liangkobori Muna Sulawesi Tenggara, mengatakan bahwa kedua situs yang ada di kedua gua tersebut diperkirakan  telah berusia sekitar 25. 000 tahun. Itu artinya Tomuna datang ke Pulau Muna sebelum  jauh sebelum gambar-gambar itu dibuat. Mereka tinggal di gua-gua membawa budaya perkakas batu. Sedangkan relief-relief yang ada dalam gua-gua di kompleks gua liangkobori adalah peninggalan Tomuna.
 
Mungkin karena mereka belum memilki kemampuan membangun rumah, sehingga mereka menggunakan gua-gua  karts yang memang banyak di Pulau Muna sebagai tempat berlindung dan beristirahat. Pada saat didalam gua itulah kemudian mereka mengekspresikan pikiran dan apa yang dilihatnya sebelumnya dalam bentuk lukisan di dinding gua.
 
Walaupun waktu kedatangannya bersamaan dan dari ras yang sama pula, namun atara  Toala di Sulawesi,  Selatan dan Tomuna yang menghuni gua-gua di Pulau Muna  Sulawesi Tenggara memiliki peradaban yang sangat menonjol. Perbedaan itu dapat dilihat dari  Relief yang terdapat digua Leang-leang ( sebagai peradaban Toala dan reliaef yang ada di Kompleks Gua Liangkobhori. Bila relief-relief yang ada di Gua Leang-leang gambarnya masih sangat sederhana hanya berupa cap telapak tangan dan gambar manusia serta gambar-gambar abstrak, maka relief di dinding gua di Kompleks Gua Liangkobhori sudah lebih maju dan beragan serta jumlahnya pun jauh lebih banyak dari pada relief-relief yang ada di Gua Leang-leang.
 
Lukisan di dinding gua karts tersebut memberikan gambaran peradaban  Orang Muna saat itu. Walau masih sangat sederhana, Orang Muna   telah menggunakan  alat-alat  pertanian dalam bercocok  tanam, telah menguasai teknologi pelayaran serta memiliki pengetahuan  dibidang astronomi. Lukisan-lukisan tanaman jagung, kelapa, perahu layar, orang yang sedang berburu, matahari dan lain sebagainya, menunjukan bahwa mereka telah mengenal cara bercocok tanam, teknologi perkapalan dan ilmu astronomi dan astrologi. 
 
Pola hidup Orang Muna pada era itu terekam dalam lukisan-lukisan yang ada di dinding goa Liangkobhori dan metanduno yaitu gambar-gambar hewan buruan seperti gambar rusa, sapi dan anoa.Pada era ini, peradaban Orang Muna sudah mengenal senjata yang digunakan untuk berburu yaitu tobak. 
 
Masalah mulai muncul setelah kedatangan migrant fase  kedua ( 7.000-5000 SM ) yang jumlahnya lebih banyak dari   migrant fase pertama. Migran kedua ini adalah ras Austronesia yang  datang dari daratan Asia. Akibatnya alam yang tadinya masih bisa mencukupi kebutuhan mereka, mulai terasa berkurang. Keterbatasan ketercukupan makanan di alam tersbut, memaksa mereka untuk berinovasi agar kebutuhan makanan mereka tercukupi. Olehnya itu mereka mulai mengembangkan teknologi bercocok tanam dan berternak. Perdaban Orang Muna pad fase dapat dilihat pada dinding-dinding goa yang ada di goa Sugi Patani dan goa Wasobo yang masih satu kompleks dengan goa Liangkobhori dan metanduno.
 
Sebagaimana yang tergmbar dalam lukisan di kedua gua tersebut, peradaban Orang Muna pada era itu sudah mengenal teknologi pembuatan perahu, ilmu perbintangan bahkan ilmu kedirgantaraan sebagaimana tergambar dengan adanya lukisan layang-layang di gua Sgi Patani. Menurut Wolfgan, seorang pemerhati layang-layang asal jerman, adanya gambar laying-layang di gua Sugi Patani yang dibuat diatas tahun 4000 SM, membuktikan bahwa laying-layang pertama di dunia dibuat oleh Orang Muna. Hal ini sekaligus mematahkan anggapa selama ini yang memperkirakan bahwa layang-layang tertua dibuat di China sekitar 2.000 tahun SM.
 
Chippindale (2001) mengungkapkan bahwa si penggambar lukisan gua menekankan nilai penting dari sebuah benda yang akan direpresentasikannya, apakah dia menggambarkan sesuatu yang dia lihat atau sesuatu yang ada dalam imajinasinya. Bagaimana seorang pelukis mengubah benda (3D) menjadi sebuah gambar (2D) yang pasti akan mengeliminir informasi dari benda tersebut. Pada dasarnya ketika si pembuat gambar lukisan gua akan membuat gambar, ia akan membayangkan bagian-bagian apa saja dari benda tersebut yang dapat merepresentasikan benda yang akan di gambar. Pada gambar motif perahu, si penggambar akan membayangkan terlebih dahulu bentuk-bentuk bagian perahu. Selanjutnya dalam melakukan pendeskripsian terhadap motif perahu, bagian-bagian bentuk perahu tersebut yang menjadi atribut gambar dari motif perahu. Pada proses berikir inilah si pembuat gambar motif perahu pada seni cadas mendapatkan inspirasi dari pengalamannya saat ia melihat perahu yang nyata di DAS sungai, pesisir pantai, atau di lautan
 
Dari penjelasan Chippindale tersebut mengungkapkan bahwa Orang Muna saat itu selain telah menguasai teknologi – teknologi seperti yang digambarkan dalam lukisan pra sejarah di gua-gua di kompleks gua Liangkobhori, juga telah memiliki kemampuan seni dan daya imajinasi yang tinggi. Karena hanya manusi-manusia yang memiliki daya seni dan imajinasi yang tinggilah yang mampu menghasilkan gambar-gambar tiga dimensi sebagaimana yang terlihat di dinding-dinding gua prasejarah di Pulau Muna.
 
Pada era migrasi ketiga ( 4.000-2.000 SM ), para migrant itu ketika datang ke Pulau Muna membawa serta kebudayaan mereka sendiri yang lebih maju yaitu tehnik pembuatan rumah dan keterampilan pembuatan gerabah dari tanah liat serta  peralatan dari perunggu. Olehnya itu peradaban Muna semakin berkembang dengan dan beragam dengan kehadiran para migrant itu.
 
Sayangnya, kehadiran migrant fase ketiga tersebut membuat permasalahan juga semakin kompleks. Akhirnya persaingan diantara mereka tidak dapat dihindari. Untuk menghindari semakin besarnya gesekan akibat persaingan itu, maka dibuatlah kelompok-kelompok untuk mempermudah pengorganisasian diantara mereka. Pemimpin dari kelompok-kelompok itu diangkatlah orang yang dituakan ( primus interparents ) diantara mereka sebagai pemimpin. Pada perkembangan berikutnya kelompok-kelompok itu berubah menjadi kampong dan pemimpinnya diberi gelar Kamokula ( orang yang dituakan ) dan Mieno.  Sebelum kedatangan Sawerigading dan pengikutnya di Pulau Muna, telah terbentuk 8 kampung di Muna yakni 4 kampung di pimpin Kamokula dan 4 kampung lainnya dipimpin oleh Mieno. Kedelapan kampong itu kemudian mengikat diri dalam sebuah Union yang diberi nama Wamelai[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftn12|[12]]]. Pemipin tertinggi dari Union itu adalah Mieno Tongkuno dan diberi gelar Mieno Wamelai. Wamelai kemudian dibubarkan setelah terbentuknya Kerajaan Muna, namun 8 kampung yang telah terbentuk statusnya tidak berubah dan menjadi bagian dari Kerajaan Muna.    
 
 
 
'''C.2. Orang Muna Dalam Membangun Peradaban di Negeri Buton'''
 
Sebagaimana pembahasa sebelumnya bahwa penghuni pertama di Pulau Buton adalah Orang Muna yang bermigrasi kepulau itu sekitar 4.000 SM. Sejak kedatangannya pertama itulah, Orang Muna mulai membangun peradabannya di Pulau Buton. Awalnya mereka membentuk kampong-kampung yang dinamakan Limbo ( Susanto Zuhhdi, 1987 ). Sebelum migrant dari semenanjung Melayu yang dikenal dengan Mia Pata Miana  yakni Simalui, Sijawangkati, Sitamanajo dan Sipanjonga datang di Pulau Buton, di puau itu telah terbentuk kampong-kampung yang dibentuk oleh Orang Muna sebagai penghuni awal pulau Tesa penulis ini diperkuat oleh hikayat  ''Mia Patamiana,''  sebagai mana yang di kutip Susanto Zuhdi ( 1987 ) dari Haziroen ( 1984 ). Dalam hikayat itu dikisahkan bahwa pada saat Armada  ''Simalui'' yang berjumlah 40 orang  mendarat di sebelah Timur Laut Negeri Buton ( diperkirakan disekitar Kamaru ) pada tahun 1236 M, mereka bertemu dan berbaur dengan masyarakat local kemudian  membentuk sebuah pemukiman. Selain itu mereka juga membuat benteng sebagai pertahanan dari serangan dari luar.
 
Cikal bakal wilayah kesultanan Buton adalah daerah Kalampa di desa Katobengke kecamatan Betoambari kola Bau-bau Pulau Buton penduduk awalnya adalah Orang Muna. Menurut tradisi lisan setempat wilayah ini merupakan pemukiman pertama dari tokoh-tokoh utama (primus interparis) kerajaan Buton Wolio. Di tempat inilah mereka membabat ilalang (Welia) untuk mendirikan tempat tinggal mereka. Dari wilayah ini kemudian berkembang ke arah timur di daerah Tobe-tobe. Daerah ini adalah suatu <nowiki>''</nowiki>Kerajaan" lain yang bersatu dengan Wolio alas jalan damai karena kepala daerahnya (rajanya) menjalin hubungan baik dengan Wolio. makin lama Wolio terus berkembang dengan berdirinya pemukiman-pemukiman baru di sekitar Kalampa dan Wolio. Pemukiman-pemukiman tersebut berkembang menjadi kampung dan yang terkenal adalah Kampung Gundu-gundu dan Barangkatopa. (Haziroen : Agustus l 994 dalam  Susanto Zuhdi, 1996 : 6 )
 
Setelah ''Mia Patamiana'' dan pengikutnya datang di Pulau Buton kemudian berbaur dengan Orang Muna yang terlebi dahulu menempati Pulau Buton mereka membangun peradaban yang lebih maju lagi sampai menjadikan Buton sebagai sebuah kerajaan yakni Kerajaan Wolio  dan raja pertamany adalah Wakaaka pendatang dari China yang bersuamikan Sibatara pendatang dari Jawa tepatnya dari wilayah Lasem Jawa Timur, salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit,
 
Kerajaan Wolio di kuasai  dinasti Wa Khaa-Khaa secara turun temurun. Sejak penetapan raja perlama dan pengangkatan raja kedua sampai dengan raja kelima adalah menggunakan sistem monarkhi absoludl. Sistem pemerintahan "monarki" yang digunakan ini prakteknya dapat dilihat dalam pergantian raja-raja yang berkuasa, yailu seorang raja yang meninggal dunia atau mengundurkan diri ( Susanto Zuhdi dkk, 1996 : 18 ). Sistem pemerintahan monarkhi dynasty Wakaka ini berlangsung selalam dua bad ( 1332 – 1511 ).
 
Pada masa pemerintah Raja Wolio kelima Mulae ( 1511-1538), Kerajaan Buton mengalami kekacauan karena serangan Tobelo (bajak laut) yang dipimpin La Balontio. Serangan Labolontio itu menyebabkan rakyak di pesisir pantai yang dilaluinya sangat ketakutan. Raja Mulae yang sedang berkuasa saat itu tidak dapat berbuat banyak sehingga kerajaannya terancam runtuh.
 
Mendengar kondisi Kerajaan Wolio yang sudah di unjung tanduk itu, Raja Muna ke 6 Sugi Manuru berniat untuk membantu. Olehnya itu Sugi Manuru memanggil anaknya yang diasingkan di Selayar yang bernama La Kilaponto untuk segera pulang dan di utus ke Wolio guna memadamkan aksi pengacau di Kerajaan Wolio. Sugi Manuru berpandangan bahwa apabila Putranya La Kilaponto berhasil memadamkan kekacauan yang di timbulkan oleh Labolontio di Kerajaan Wolio maka ada dua keuntungan yang didapat yaitu, 1).  Dengan dilakahkannya Labolontio maka stabilitas Kerajaan Wuna tetap terjaga karena ulah Labolontio apa bila tidak segera di padamkan maka boleh jadi bisa merembes  sampai ke Kerajaan Muna. 2). Karena posisi Raja Mulae saat dalam keadaan lemah, maka ketika La Bolontio bisa terkalahkan maka akan dengan mudah Kerajaan Wolio di ambil alih oleh Sugi Manuru dan akan diserahkan pada La Kilaponto sebagai orang yang berjasa memadamkan kekacauan itu. Upaya pengambil alihan itu sekaligus dapat meredam perpecahan antara dua puteranya yaitu La Kilaponto dan La Posasu yag sama-sama berpotensi dan berambisi untuk menjadi raja di Kerajaan Muna.
 
Terjadi pertempuran sengit antara pasukan La Kilaponto yang berasal dari Kerajaan Muna di bantu oleh pasukan Opu Manjawari dari Kerajaan Selayar dengan Pasukan Labolontio saat bertemu  di pesisir timur Pulau Buton, tepatnya di sekitar Boneatiro wilayah Kecamatan Kapontori saat ini. Menurut L.M. Tanzilu (( 1998 ),  banyak  jatuh korban di pihak  pasukan Labolontio saat itu sehingga pasir disepanjang pantai Boneatiro berwarna merah tertutup darah para korban.  Salah satu yang menjai korban pada pertempuran itu adalah Labolontio. Sisa-sisa pasukan yang selamat lari kocar-kacir menyelamatkan diri. Mereka itu ada yang lari ke Wawonii  dan ada juga yang lari ke pesisir Kerajaan Konawe, bahkan ada yang lari sampai ke Australia.
 
Setelah Labolontio terbunuh, La Kilaponto kemudian memenggal kepala dan memotong kemaluan Labolontio kemudian membawa nya ke hadapan Raja Wolio Mule. Melihat La Kilaponto datang sebagai pemenang dan digenggamannya ada kepala dan kemaluan Labolontio yang sedang berlumuran dara, Mulae kemudian berseruh pada etinggi kerajaan dalam bahasa Wolio yang artinya “ Wahai labaa-bata ( Kupu-kupu besar ), tundukanlah tubuhmu karena La kapoluka ( kura-kura ) telah datang meminta isinya “.( Tanzilu, 1998 : 99 ). Menurut analisa penulis, yang dimaksud dengan Labaa-bata ( kupu-kupu besar ) dalam ucapan Mulae tersebut adalah para petinggi Kerajaan Wolio, sedangkan La Kapoluka adalah sindiran bagi La Kilaponto yang dianggap sebagai mahluk rendah namun cerdik dan kuat. Dalam beberapa cerita rakyat Buton, kapoluka ( kura-kura ) adalah hewan yang cerdik mengalahkan kecerdikan kancil dan monyet. 
 
Setelah misinya membasmi pengacau La Bolontio berhasil, La Kilaponto segera berpamitan pada Mulae untuk segera puang ke Muna sekaligus mau melaporkan keberhasilannya itu pada ayahandanya Raja Muna ke 6 Sugi Manuru. Namun sebelum pulang, La Kilaponto dinikahkan terlebih dahulu dengan puteri Raja Mulae yang bernama Watampaidongi.
 
Kepulangan La Kilaponto ke Muna,  selain melaporkan keberhasilannya membasmi pengacau Labolontio, juga sekaligus untuk mewujudkan ambisinya menjadi Raja Muna menggantikan Ayahandanya.  Hal itu tentu saja meresahkan ayahandanya Sugi Manuru sebab tujuan Sugi Manuru memanggil pulang La Kilaponto dari pengasingannya di Selayar dan mengutusnya ke Wolio adalah, selain menumpas Labolontio sekaligus untuk menjadi raja di kerajaan itu. Namun demikian Raja Muna ke 6 Sugi Manuru tidak dapat mencegah ambisi anaknya tersebut. Olehnya itu sesampainya di Muna, La Kilaponto langsung di nobatkan sebagai Raja Muna ke 7 menggantikan ayahandanya Sugi Manuru. Beberapa saat menjadi Raja Muna , terdengar kabar bahwa Raja Wolio ke 5 meninggal dunia.
 
Mendengar kabar itu, Sugi Manuru merasa legah, karena dengan demikian maka rencana awalnya untuk membagi kekuasaan pada dua puteranya bisa segera terwujud. Olehnya itu Sugi Manuru langsung meminta La Kilaponto untuk segera ke Wolio agar menjadi Raja di sana menggantikan Mulae yang juga sudah menjadi mertuanya. La Kilaponto mengiyakan permintaan ayahandanya itu, kendati demikian jabatanya sebagai Raja di Kerajaan Muna tidak juga dilepaskan. Peristiwa pengangkatan La Kilaponto sebagai Raja Wolio itu menurut sejarah Buton terjadi pada tahun 1538. La Kilaponto menjai raja di dua kerajaan sekaligus ( Muna dan Wolio ) berlangsung sampai La Kilaponto membentuk Kesultanan Butuuni atau Buton pada tahun 1541. Menurut Susanto Zuhdi, sejak La Kilaponto menjadi Raja Wolio ( 1538 ), maka kekuasaan dynasty Wakaaka berakhir dan digantikan oleh dynasty La Kilaponto dari Kerajaan Muna. .    
 
`Setelah berhasil mendirikan Kesultanan Butuuni/ Buton dan menjadi Sultan pertama dengan gelar  Qaimuddin Khalifatul Khamis maka jabatan nya sebagai Raja di Kerajan Muna di serahkan pada saudaranya La Posasu namun denga syarat dua kampong yang pernah dipimpinya sebagai Kino yakni La Kudo dan Bombona Wulu ( sekarang wilayah administrasi Kabupaten Buton Tengah ) di masukan kedalam teritorial Kesultanan Buton.
 
Dikisahkan pula setelah mendirikan Kesultanan Buton, La Kilaponto menggabungkan beberapa kerajaan kecil dalam wilayah Kesultanan Buton yaitu Kobaena, Kaledupa dan Tiworo sebagaimana kutipan berikut ; ''‘ Adapun tatkala Murhum menjadi raja dalam negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian negeri karena ia Raja La Kilaponto membawahi negeri  yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri ini seperti Kaledupa dialihkannya, Mekongga dialihkannya dan Kobaena dialihkannya. Maka sekalian negeripun dialihkannya oleh Murhum’ ( Koleksi belanda, hal 1)’''
 
Dinasti La Kilaponto berkuasa secara absolud di Kesultanan Buton sampai pada Masa Sultan ke 5 La Balawo sebgaimana yang dikatakan Susanto Zuhdi ( 1996 ) yang mengutip Zahari ( 1977 ) bahwa  sekalipun bentuk negara berubah menjadi kesultanan,
 
pengangkatan raja/sultan masih berlangsung secara warisan . Sultan pertama La Kilaponto digantikan oleh dua puteranya secara hergantian, La Tumparasi (1584-1591) dan La Sangaji (159 1- 1597) masing-masing sebagai Sultan kedua dan ketiga.  . Sultan keempat La Elangi
 
(1597-1 631) adalah putera dari La Sangaji, sedang Sultan kelima adalah putera La Elangi bernama La Balowo alias Kamaruddin (1631 -1632). (Zahari, 1977; 33-63 dalam Susanto Zuhdi 1996 : ). Pengangkatan Kamaruddin adalah berdasarkan hasil perjanjian Schoot- Elangi .
 
Campur tangan VOC ini, akhirnya menimbulkan insiden dalam kesultanan, sehingga sejak saat itu pengangkatan Sultan harus berdasarkan pemilihan sesuai
 
amanah Undang-Undang Kesultanan (Murtabat Tujuh).   Pada masa tersebut bangsa Belanda  pertama kali menginjakan kakinya di Buton dalam suatu ekspedisi yang dipimpin Commodor Afolonius Schoot. Ia tiba pada 5 Januari 1613 dan membuat perjanjian atas nama Belanda (VOC) dengan Kesultanan Buton . Dalam perjanjian yang lebih dikenal dengan perjanjian Scoot-Elangi tersebut, VOC diizinkan membangun benteng (loji) di Buton dan berdagang dalam daerahnya. sebaliknya Belanda (VOC) berjanji untuk melindungi Buton dari musuh-musuhnya (A. Lightvoet :1878).  Namun sejak masa tersebut  kerajaan Buton dan P. Buton sendiri mulai dieksploitasi oleh VOC ( Susanto, 1996 : 9 ). Buton benar-benar takluk dibawah kekuasaan belanda setelah Pcrjanjian Bungaya yang diperbaharui dan perjanjian  tahun 1873 dimana  memasukkan Buton ke dalam wilayah kckuasaan pemerintah Hindia Belanda .( Susanto, 1996: 3 )
 
Campur tangan VOC di Kesultanan Buton   ditolak keras oleh Kerajaan Muna. Raja Muna saat itu La Ode Ngkaridi langsung menyatakan perang terhadap Buton dan VOC setelah perjanjian Scoot-Elangi 1613. Penolakan Kerajaan Muna terhadap campur tanga VOC di Kesultanan Buton sangat beralasan, sebab akibat dari perjanjian itu disusul dengan lahirnya Martabat Tujuh yang memangkas hak Dinasti Muna melalui trah La Kilaponto berkuasa secara absolute.
 
Martabat Tujuh yang di proklamirkan oleh Sapti La Singga dan Kenepulu La Bula yang masih saudara Sultan Laelangi secara tegas mengatakan bahwa sejak dideklarasikan Martabat Tujuh maka pengangkatan Sultan tidak lagi berdasarkan dynasty absolud tetapi harus melalui pemilihan yang diapilih  dari tiga dinasty  atau Kamboru-mboru Talu Palena yakni Kumbewaha sebagi representasi dynasty La Bula, Tanailandu sebagai representasi dynasty Laelangi dan Tapi-tapi sebagai reprsentasi dinasty La Singga.
 
Martabat Tujuh tidak saja memangkas kekuasaan absolud dinasty Kerajaan Muna di kesultanan Buton, tetapi juga mengklaim Kerajaan Muna sebagai bagian Kesultanan Buton dengan diberi status ''“ Barata “'' dengan kekuasaan otonom. Klaim Barata oleh Kesultanan Buton terhadap Kerajaan Muna tersebut merupakan sikap pemberontakan terhadap kebijakan La Kilaponto yang mana pada saat mengambil alih kekuasaan Kerajaan Wolio dari penguasa sebelumnya, La Kilaponto langsung menyingkirkan dinasty wakaaka dari istana dan mengangkat mertuanya Opu Manjawari yang juga membantu dirinya menumpas Labolontio sebagai Sapati, orang kedua setelah Sultan,  Hal seperti  itu menurut Teuku Kemal Fasya Dosen atripologi Universitas Malikul Saleh Banda Aceh ( Kompas, 1 desember 2012;5 ) dalam ilmu sosiologi disebut sebagai inferiority complex, yaitu orang yang selama ini merasa sebagai orang yang ditindas, apabila pendindasnya hilang dia menjadi penindas baru. Inferiority compelx inipun menjadi superiority complex.
 
Klaim ''“ Barata “'' tersebut semakin memperuncing perselisihan antara Muna dan Buton. Bahkan sampai saat ini, perelisihan itu terus di munculkan kepermukaan sehingga tidak jarang dari  diskusi itu sampai menjurus pada penyerangan harkat dan martabat individu yang sedang berdiskusi.
----[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftnref1|[1]]] Fritz Sarasin & Paul Sarasin  adalah naturalis dan etnolog asal Swiss  pernah mengunjungi Sailan, Sulawesi, Kaledonia Baru, dan Siam. mereka mengajukan teori pertama mengenai penghunian Kepulauan Nusantara oleh orang-orang dari Sailan (Sri Lanka) dalam sebuah buku  ''Ergebnisse naturwissenschaftlicher Forschungen auf Ceylon. Die Weddas von Ceylon und die sie umgebenden Völkerschaften. Ein Versuch, die in der Phylogenie des Menschen ruhenden Räthsel der Lösung näher zu bringen''
 
[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftnref2|[2]]] Zu Kap. I. die Toala in Suud Celebes, die Tomuna und Tokea der Siidostlich Zentral-Celebes zerstreute Reste Biden die Trumer  einer binnenlandischen (Die Orang Kubu auf Sumatra, hal  82 )
 
[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftnref3|[3]]]  Penduduk kepulauan (Muna dan Buton), termasuk di Kepulauan Banggai (Sulteng) dan suku-suku di NTT banyak memiliki persamaan dengan ras Austro-Melanesoid ( Anwar Hafid, 2013 mengutip Razake, 1989 dalam makalanya Hubungan Kekerabatan Antar Etnik Di Sulawesi Tenggara Dalam  Analisis Jaringan Pelayaran Dan Perdagangan Sejak Masa Kerajaan Hingga Kini )
 
                                               
 
[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftnref4|[4]]] Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Dayanu Ikhsanuddin ( UNIDAYAN ) yang dilakukan oleh LA. Munafi dan Andi Tenri (2002) di tulis “ Nelayan Buton “  
 
[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftnref5|[5]]] Wedda atau widdoid adalah istilah yang diambil dari bangsa Wedda di Srilanka untuk menunjuk penghuni nusantara dengan ciri seperti kepala mesochepal, mata yang cenderung dalam, kuilit kecoklatatan dan tinggi rata-rata hanya 155 cm. Kelompok WEDDID ini tersebar di nusantara seperti di Sulawesi Tenggara, Palembang, Jambi, Siak dan lain lain.
 
[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftnref6|[6]]] NEGRITO adalah istilah yang digunakan oleh orang Spanyol dalam menunjuk orang-orang yang hidup di Nusantara. Kata Negrito digunakan karena mereka menilai ciri fisik penghuni nusantara tersebut mirip dengan orang Negro Afrika.
 
[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftnref7|[7]]] : Sumber  : <nowiki>https://www.sejarah-negara.com/4-golongan-orang-indonesia-berdasarkan/</nowiki>
 
[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftnref8|[8]]] baca La Kilapono Omputo Mepokonduaghono Ghoera
 
[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftnref9|[9]]] Sangke palangga ( bahasa muna ) artinya orang yang menumpang dulang- sejenis talam yag terbuat dari kuningan.
 
[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftnref10|[10]]] Mieno Wamelai adalah primus interparents dari pemimpin 8 kampung yang telah ada sebelum terbentuknya kerajaan muna
 
[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftnref11|[11]]] Wuna, selain nama kerajaan, juga sebagai penyebutan bagi pulau dan orang Muna dalam bahasa Muna. Nama ini berasal ari kata “ wuna” yang berarti bunga, merujuk pada tiga buah batu di Kotano Wuna yang sewaktu-waktu mengeluarkan bunga seperti bunga karang.
 
[[:Berkas:///D:/Buku Editing/Buku sejarah/Bagian-bagian buku/BAB II Orang Muna.docx#%20ftnref12|[12]]] Nama ini sudah tidak diketahui lagi artinya. Diperkirakan nama itu berasal dari kata “ Melayu “ dan dalam pengucpanya dalam bahasa muna di tambah dengan ‘ wa ‘ sehingga menjadi “ Wamelai “.
 
Referensi :
<references group="1. Paul & Frizt Sarasin ( 1905 ), 2. Bernhard Hagen (1908 ) Die Orang Kubu auf Sumatra 3. Ligtvoet ( 1877 ) beschrijving en geschiedenis van boeton 4. Herawati ( 2017) Lembaga Penelitian Eikjman: Tempo.com 5. Rene Van Deberg ( 2001 ) Sejarah Dan Kebudyaan Kerajaan Muna : Arta Wacana Press, Kupang 6. Tony Herdijansah dkk ( 2011 ) Kesepakatan Tanah Wolio :" />
 
== Upacara Karia ==