Rumah adat Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 5:
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Het Atjeh Museum in Koetaradja TMnr 60023674.jpg|thumb|left|Rumoh Aceh di [[Museum Negeri Aceh|Museum Aceh]] dengan Lonceng Cakra Donya di kawasan pekarangannya. Foto ini diambil oleh tentara Kerajaan Belanda di [[Kota Banda Aceh|Banda Aceh]] sekitar awal abad ke 20 ketika [[Daftar Penguasa Aceh|Sultan Aceh]] masih bertahta.]]
 
Bagi suku bangsa Aceh, segala sesuatu yang akan mereka lakukan, selalu berlandaskan kitab adat. KoitabKitab adat tersebut, dikenal dengan Meukeuta Alam. Salah satu isi di dalam terdapat tentang pendirian rumah. Di dalam kitab adat menyebutkan: ”Tiap tiap rakyat mendirikan rumah atau masjid atau balai-balai atau meunasah pada tiap-tiap tihang di atas puting dibawah para hendaklah dipakai kain merah dan putih sedikit”. Kain merah putih yang dibuat khusus di saat memulai pekerjaan itu dililitkan di atas tiang utama yang di sebut tamèh raja dan tamèh putroë”. karenanya terlihat bahwa Suku Aceh bukanlah suatu suku yang melupakan apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.
 
[[File:Rumoh Cut Nyak Dhiën.jpg|thumb|300px|right|Rumoh Aceh milik bangsawan Aceh [[Cut Nyak Dhien]] di Gampong Lampisang, [[Kabupaten Aceh Besar]].]]