Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 103.251.183.2 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Flix11
Tag: Pengembalian
narasi pro-Soeharto
Baris 121:
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.
Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan[[Gerakan 30 September|G-30-S/PKI]]. SebagaiDalam akibatrangka logispembersihan keanggotaan MPRS dari peristiwaunsur pengkhianatan[[Partai G-30-S/Komunis Indonesia|PKI]], mutlakyang diperlukandituduh adanyasebagai koreksidalang, totaldan atasditegaskan seluruhdalam kebijaksanaanUndang-undang yangNomor telah4 diambilTahun sebelumnya1966 dalambahwa kehidupansebelum kenegaraan.terbentuknya MPRSMajelis Permusyawaratan Rakyat yang pembentukannyadipilih didasarkanoleh padarakyat, Dekretmaka PresidenMPRS 5menjalankan Juli 1959tugas dan selanjutnyawewenangnya diatursesuai dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi pemberontakan G-30-S/PKI,UUD Penetapan1945 Presidensampai tersebutMPR dipandanghasil tidakPemilihan memadaiUmum lagiterbentuk.
 
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk.
Rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato pertanggungjawaban Presiden Soerkarno yang diberi judul ”Nawaksara” ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.
Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama “Pelengkap Nawaksara”, tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah alpa dalam memenuhi kewajiban Konstitusional.
Sementara itu DPR-GR dalam Resolusi dan Memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai “Nawaksara” beserta pelengkapnya berpendapat bahwa “Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila”.
Dalam kaitan itu, MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.
Sejak saat itu, maka semangat Orde Baru telah menggantikan Orde Lama yang tidak sesuai dengan Demokrasi Pancasila.
=== Masa Reformasi (1999-sekarang) ===
Bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah mendorong para pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-Undang Dasar telah mendorong penataan ulang posisi lembaga-lembaga negara terutama mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal.