Kesultanan Pontianak: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 120.188.39.9 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh AABot
Tag: Pengembalian
Baris 38:
}}
 
'''Kesultanan KadriyahKadriah Pontianak''' adalah sebuah [[kesultanan]] [[Melayu]] yang didirikan pada tahun [[1771]] oleh [[Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie|Sultan Syarif Abdurrahman Ibni Alhabib Husein bin Ahmad Alkadrie]], keturunan [[Rasulullah]] dari [[Ali ar-Ridha|Imam Ali ar-Ridha]]<ref>[http://www.4dw.net/royalark/Indonesia/pontian2.htm Genealogy Dinasti al-Kadri di Royal Ark]</ref> di daerah muara simpang tiga [[Sungai Kapuas]] kecil dan sungai landak yang termasuk kawasan yang diserahkan [[Sultan Banten]] kepada VOC Belanda. Ia melakukan dua pernikahan politik di [[Kalimantan]], pertama dengan putri dari [[Kerajaan Mempawah]] Utin Chandramidi, dan kedua dengan putri dari [[Kesultanan Banjar]] (Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari [[Sultan Tamjidillah I]],) sehingga ia dianugerahi gelar Pangeran Nur Alam).<ref name="Tijdschrift 3">{{nl}} (1855){{cite book|pages=569|url=http://books.google.co.id/books?id=FPFAAAAAcAAJ&dq=Said%20Abd'oel%20Rahhman%20Alkadrie&pg=PA568#v=onepage&q=Said%20Abd'oel%20Rahhman%20Alkadrie&f=false|title=Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde|volume=3}}</ref><ref name="Kesatria khatulistiwa"> {{id}} {{cite book|pages=205|title=Kesatria khatulistiwa|url=http://books.google.co.id/books?id=5DcYSA4_SjAC&lpg=PA206&ots=LFIKquvaA6&dq=abdur%20rahman%20dari%20banjar&pg=PA205#v=onepage&q=abdur%20rahman%20dari%20banjar&f=false}}</ref> Setelah wafatnya Ayahnya Habib Husein di Mempawah, 1771 H, mereka memutuskan mencari wilayah baru dan mendapatkan tempat di [[Pontianak]], kemudian mendirikan Istana KadriyahKadriah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari [[Belanda|sultan Siak, dan Banten]] pada tahun [[17791778|1778.]].
 
== Sejarah ==
 
=== Pendirian ===
Kesultanan ini didirikan oleh [[Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie|Syarif Abdurrahman Alkadrie]], seorang putra ulama keturunan [[Arab]] [[Hadramaut]] dari [[Kerajaan Mempawah]], pada hari Rabu, [[23 Oktober]] [[1771]] (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun [[1778]] (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi [[Sultan Pontianak]]. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya [[Masjid Jami Pontianak]] (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di [[Kelurahan|Kelurahan Dalam Bugis]], [[Kecamatan|Kecamatan Pontianak Timur]], [[Kota Pontianak]]. Kalimantan Barat.
 
=== Masa Kolonial ===
Pada tahun [[1778]], kolonialis [[Belanda]] dari [[Batavia]] memasuki [[Pontianak]] dengan dipimpin oleh Willem Ardinpalm. [[Belanda|Sultan memberikan izin kepada Belanda]] saat itu menempati daerah di seberang istana kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau ''Verkendepaal''. Palm kemudian digantikan oleh Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai ''Resident van Borneo’s Wester Afdeling I'' ([[1779]]-[[1784]]) dengan kedudukan di [[Pontianak]]. Semula, [[Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie]] menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari [[Eropa]] itu. Namun setelah utusan itu datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima [[Belanda]] sebagai rekan persemakmuran dengan tangan terbuka.
 
Pada tanggal [[5 Juli]] [[1779]], [[Belanda]] membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa [[Belanda]] yang kemudian menjadi kedudukan pemerintahan ''Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo'' (Kepala Daerah Keresidenan Borneo Barat) dan ''Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak'' (Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya menjadi ''Controleur het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak'' atau ''Hoofd Plaatselijk Bestuur van Pontianak''.
Baris 54:
Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada [[25 Februari]] [[1819]], Syarif Usman Alkadrie ([[1819]]-[[1855]]) naik tahta sebagai [[Sultan Pontianak]]. Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’ pada [[1821]] dan perluasan Istana Kadriyah pada tahun [[1855]]. Pada [[April]] [[1855]], Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan dan kemudian wafat pada [[1860]].
 
Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie ([[1855]]-[[1872]]), kemudian dinobatkan sebagai [[Sultan Pontianak]] pada [[12 April]] [[1855]]. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada [[1872]], putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie ([[1872]]-[[1895]]) naik tahta sebagaisetelah beberapa bulan setelah ayahanyaayahandanya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama [[Islam]].
 
Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada [[15 Maret]] [[1895]]. Dia digantikan oleh putranya, Syarif Muhammad Alkadrie ([[1895]]-[[1944]]) yang dinobatkan sebagai [[Sultan Pontianak]] pada [[6 Agustus]] [[1895]]. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak dengan [[Belanda]] semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di [[Pontianak]]. Dalam bidang [[sosial]] dan [[kebudayaan]], dia adalah sultan [[Melayu]] di [[Kalimantan Barat]] yang pertama kali berpakaian kebesaran [[Eropa]] di samping pakaian [[Melayu]], ''Teluk Belanga'', sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal [[swasta]] [[Eropa]] dan [[Cina]], serta mendukung bangsa [[Melayu]] dan [[Cina]] mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di [[Pontianak]]. Sementara dalam aspek [[politik]], Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya [[organisasi]]-[[organisasi]] [[politik]], baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.
Baris 75:
Pada [[28 Oktober]] [[1946]], Pemerintah Sipil Hindia Belanda sebagai Dewan Borneo Barat membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan mendapat kedudukan sebagai [[Daerah Istimewa]] pada [[12 Mei]] [[1947]]. Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi monarki-monarki ([[swapraja]]) di [[Kalimantan Barat]], termasuk Kesultanan Pontianak. Saat itu [[Sultan Hamid II]] ditujuk sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Sebelum [[5 April]] [[1950]], Daerah Istimewa Kalimantan Barat bergabung dengan [[Negara Republik Indonesia (RIS)]]. Daerahnya kemudian menjadi bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan. Setelah pembubaran [[Republik Indonesia Serikat]] pada [[17 Agustus]] [[1950]], wilayah Kesultanan Pontianak menjadi bagian [[Provinsi Kalimantan Barat]].
 
Setelah [[Sultan Hamid II]] wafat pada [[30 Maret]] [[1978]], terjadi kekosongan jabatan sultan di keluarga Kesultanan Paontianak. Kekosongan jabatan itu bahkan berlangsung selama 25 tahun. Namun pada [[15 Januari]] [[2004]], pihak bangsawan Istana Kadriyah mengangkat Syarif Abubakar Alkadrie sebagai [[Sultan Pontianak]] ke.VIII. Jauh sebelumnya, tepatnya pada [[29 Januari]] [[2001]] seorang bangsawan senior, Syarifah Khadijah Alkadrie binti Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie, ibni Sultan Hamid.I, bin Sultan Osman,bin Sultan Abdurrahman Alkadrie, pendiri kesultanan Kadriah, mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriah Kesultanan Pontianak. Kerabat Muda ini bertujuan menjaga segala tradisi dan nilai budaya [[Melayu]] [[Pontianak]], termasuk menghidupkan dan melestarikannya.
 
== Daftar Sultan Pontianak ==