Tuanku Tambusai: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: VisualEditor menghilangkan referensi [ * ] mengosongkan halaman [ * ]
Menolak perubahan teks terakhir (oleh 182.1.51.252) dan mengembalikan revisi 15261270 oleh LaninBot
Baris 14:
|occupation =
}}
'''Tuanku Tambusai''' lahir({{lahirmati|Tambusai, di[[Rokan Dalu-dalu Kerajaan Tambusai padaHulu]], [[Riau]]|5 November |11|1784/ 21 Dzulhijjah 1198 H, dan wafat di Kampung Rasah |[[Negeri Sembilan]], [[Malaysia|Malaya pada Britania]]|12|11|1882}}) Novemberadalah 1882/salah seorang 1tokoh Muharram[[Paderi]] 1300terkemuka.
 
== Latar belakang ==
Tuanku Tambusai lahir di [[Dalu-dalu]], nagari Tambusai, Rokan Hulu, Riau. Dalu-dalu merupakan salah satu desa [[pedagang Minangkabau]] yang didirikan di tepi sungai Sosah, anak [[sungai Rokan]]. Tuanku Tambusai memiliki nama kecil Muhammad Saleh, yang setelah pulang haji, dipanggilkan orang Tuanku Haji Muhammad Saleh.<ref>Muhammad Radjab, Perang Paderi di Sumatra Barat (1803-1838), Balai Pusataka, 1964</ref>
Pada masa kecil Tuanku Tamnya dikenal dengan nama Muhammad Saleh. Ibunya  bernama Munah, seorang perempuan biasa dari Suku Kandang Kopuh Tambusai; sedangkan ayahnya ''qadhi'' Kerajaan Tambusai bernama Imam Maulana Kali, yang berasal dari Kerajaan Rambah. Kerajaan Tambusai dan Kerajaan Rambah adalah dua dari lima kerajaan yang disebut Kerajaan Lima Luhak Rokan, tiga lainnya: Kerajaan Kepenuhan, Kerajaan Kunto Darussalam, dan Kerajaan Rokan Empat Koto. Sebagian besar wilayah lima kerajaan tersebut kini merupakan Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau.
 
Tuanku Tambusai merupakan anak dari pasangan [[perantau Minang]], Tuanku Imam Maulana Kali dan Munah. Ayahnya berasal dari nagari Rambah dan merupakan seorang guru agama Islam. Oleh Raja Tambusai ayahnya diangkat menjadi imam dan kemudian menikah dengan perempuan setempat. Ibunya berasal dari nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai dengan tradisi Minang yang matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai.<ref>Mahidin Said, Rokan: Tuanku Tambusai Berjuang, Sri Dharma N.V</ref>
Diasuh di lingkungan keluarga seorang alim, Muhammad Saleh tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berbudi. Setelah akil-baligh, ia diantarkan ayahnya untuk mendalami ilmu pengetahuan agama di Kubung 12 Rao, kemudian di Bonjol. Sewaktu masih di Rao, dalam kesempatan pulang ke Dalu-dalu Tambusai, ia giat berdakwah mengajarkan hukum-hukum Islam kepada orang-orang di kampung halamannya itu. Maka, ia kemudian lebih sering dipanggil dengan nama ''Pokih'' (Faqih; ahli Fiqh) Saleh.
 
Sewaktu kecil Muhammad Saleh telah diajarkan ayahnya ilmu bela diri, termasuk ketangkasan menunggang kuda, dan tata cara bernegara.<ref>{{cite book |last=Soedarmanta|first=J. B.|title=Jejak-jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia}}</ref>
Isi dakwah yang dikemukakan Pakih Saleh tidak selalu berterima oleh semua orang. Salah seorang yang tidak berkenan itu ialah wazir Kerajaan Tambusai, bergelar Sutan Mahmud. Maka antara keduanya sering terjadi pertentangan. Sebagai wazir, Sutan Mahmud dengan berbagai upaya berhasil mempengaruhi Raja dan Kerapatan Adat Tambusai, sehingga ruang gerak Pakih Saleh menjadi amat terbatas di lingkungan istana dan adat. Alih-alih menghentikan dakwahnya, pembatasan itu malah mendorong Pakih Saleh untuk mendirikan surau tersendiri yang terpisah dengan Negeri Lama, pusat pemerintahan Kerajaan Tambusai. Surau baru itu dibangun di Kampung Dalu-dalu, di hilir Negeri Lama.
 
Meskipun demikian, Sutan Mahmud tetap menentang Pakih Saleh. Menurutnya, ajaran yang dikembangkan Pakih Saleh, yang berisi tuntunan dan aturan tentang kehidupan yang diridhoi Allah, merupakan wewenang kerajaan. Tambahan pula, menurut sang Wazir, isi dakwah Pakih Saleh tersebut mirip dengan ajaran kaum Paderi di Minangkabau, yang telah menimbulkan ketegangan dengan kaum adat. Manakala intimidasi dirasakan sampai ke puncak, antara lain melalui perbuatan Sutan Mahmud yang mengotori surau Pakih Saleh dengan anjing, maka dengan berat hati Pakih Saleh menyingkir ke tempatnya dulu belajar, yaitu Rao.
 
Pada masa Pakih Saleh meninggalkan Dalu-dalu, di Minangkabau terjadi pergolakan yang cukup hebat. Haji Sumanik, Haji Miskin, dan Haji Piobang kembali ke Minangkabau dari Mekah, dan melahirkan apa yang disebut Gerakan Paderi. Gerakan bermotif keagamaan yang berlangsung sekitar tahun 1803-1820 ini menggelorakan pergolakan dengan kaum adat, yang menyebabkan Belanda ikut campur tangan dan menduduki Minangkabau.
 
Meskipun Pakih Saleh menuntut ilmu agama pada ulama-ulama Paderi, beliau tidak ikut melibatkan diri dalam pergolakan antara kaum Paderi dan kaum adat Minangkabau tersebut. Untuk menghindari pertikaian itu, Pakih Saleh menyingkir ke daerah Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Namun, setelah yang dihadapi kaum Paderi bukan lagi kaum adat dan raja-raja, melainkan juga Belanda, maka mulailah Pakih Saleh menggunakan kekuatan untuk melawan Belanda. Sejak itulah namanya mulai dikenal sebagai ‘Tuanku Tambusai’.
 
== Gerakan Paderi ==
Untuk memperdalam ilmu agama, Tuanku Tambusai pergi belajar ke [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] dan [[Rao, Pasaman|Rao]] di [[Sumatra Barat]]. Disana ia banyak belajar dengan ulama-ulama Islam yang berpaham Paderi, hingga dia mendapatkan gelar fakih. Ajaran Paderi begitu memikat dirinya, sehingga ajaran ini disebarkan pula di tanah kelahirannya. Disini ajarannya dengan cepat diterima luas oleh masyarakat, sehingga ia banyak mendapatkan pengikut. Semangatnya untuk menyebarkan dan melakukan pemurnian Islam, mengantarkannya untuk berperang mengislamkan masyarakat di tanah [[Suku Batak|Batak]] yang masih banyak menganut pelbegu.<ref>{{cite book |last=Dobbin|first=Christine|title=Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784 – 1847}}</ref>
 
== Perang yang dilakukan Belanda untuk menghancurkan kaum Paderi dan menaklukkan Minangkabau membangkitkan amarah Tuanku Tambusai. Beliau tampil menceburkan diri memimpin perang menghadapi Belanda. Sewaktu pasukan Belanda kewalahan menghadapi Tuanku Tambusai dan menawarkan perdamaian, dengan tegas beliau menolak. Untuk menghadapi Belanda, Tuanku Tambusai menyusun pasukan di Padang Lawas, yang sebagiannya adalah murid-muridnya sendiri. Pengetahuan yang diperoleh Tuanku Tambusai selama menunaikan ibadah haji sangat menolongnya dalam menyusun kekuatan dan melakukan penyerangan terhadap Belanda. Tuanku Tambusai melakukan konsolidasi kekuatan bersama Tuanku Rao. ==
Setelah Belanda dapat merebut Bonjol dan Rao bulan September 1832, Residen dan Komandan Militer Belanda, Letnan Kolonel Elout, membujuk Tuanku Tambusai agar menyerah. Bujukan ini dijawab oleh Tuanku Tambusai dengan saran agar Belanda kembali saja ke daerah pantai dan tidak mencampuri urusan dalam negeri orang lain. Oleh karena Elout tidak ingin menyerahkan daerah yang telah dikuasainya, maka Tuanku Tambusai berkata kepada Elout, “Sediakanlah bedil!”. Semenjak itu perlawanan Tuanku Tambusai terhadap Belanda selalu dalam posisi menyerang atau diserang. Dalam masa-masa inilah pimpinan militer Hindia-Belanda memberi gelar ''De Padriesche Tijger van Rokan'' (Harimau Paderi dari Rokan).
 
Tidak lama setelah pasukan Paderi menyerang pertahanan Belanda di Bonjol, Sepisang, dan pos-pos pertahanan Belanda lainnya (Januari 1833), maka Tuanku Tambusai melakukan penyerangan mendadak ke dalam benteng Belanda bernama “Fort (Benteng) Amerongen” di Rao. Setelah serangan selesai, Tuanku Tambusai menarik pasukannya dari dalam benteng, kemudian mengundurkan diri ke arah Angkola. Belanda terkejut menerima serangan mendadak Tuanku Tambusai ini, yang menewaskan 11 orang tentara Belanda dan melukai 24 orang lainnya. Dalam serangan itu, di pihak Tuanku Tambusai 25 orang terluka, termasuk Tuanku Tambusai sendiri.
 
Pada bulan Maret 1833, Tuanku Tambusai menyusun kekuatan untuk menyerang Rao. Pasukan Paderi berhasil menghancurkan pasukan Belanda di luar Kampung Lundar. Kemudian terjadi serang-menyerang antara pasukan Belanda dengan pasukan Paderi. Belanda melakukan penyerangan dari tiga jurusan. Pertempuran ini demikian hebat sehingga selalu terjadi rebut-merebut kubu pertahanan, yang selalu berganti tangan antara pasukan Paderi dan pasukan Belanda. Pada malam harinya Belanda meneruskan serangan besar-besaran dengan tembakan mortir yang mengakibatkan pasukan Paderi meninggalkan kubu-kubu pertahanannya dan mengundurkan diri ke arah Lubuk Sikaping.
 
Memperkirakan bahwa peperangan dengan Belanda akan berlangsung lama, dan tawaran perdamaian dari mereka hanya jebakan, maka Tuanku Tambusai menetapkan tekad terus berjuang. Lalu Tuanku Tambusai mengerahkan murid-muridnya untuk membangun benteng pertahanan di kampung asalnya, Dalu-dalu. Bila Belanda dapat mengalahkan kaum Paderi di daerah Minangkabau dan Tapanuli Selatan, maka perjuangan dapat dilanjutkan di kampungnya sendiri.
 
Sewaktu pasukan Belanda banyak diperlukan untuk menghadapi medan yang lain, Tuanku Tambusai mendapat kesempatan yang baik untuk bergerak. Sekitar tahun 1833, beliau dengan pasukannya menuju Dalu-dalu. Sebelum sampai ke Dalu-dalu, Tuanku Tambusai berhenti di suatu tempat bernama Batang Kayuh. Dari sini Tuanku Tambusai mengirim mata-mata ke Dalu-dalu untuk mencermati situasi di sana. Sambil menunggu laporan dari Dalu-dalu, Tuanku Tambusai membuat benteng di pinggir Sungai Talikumain, diberi nama Kubu '''Talikumain'''.
 
Kedatangan Tuanku Tambusai ke Dalu-dalu ini adalah untuk membuat benteng pertahanan melawan Belanda, bukan untuk menyerang kaum bangsawan di Kerajaan Tambusai yang dulu pernah memusuhinya. Namun rupanya Negeri Lama dan Dalu-dalu telah dikosongkan oleh pihak kerajaan. Melihat sikap tidak bersahabat yang diperlihatkan oleh kerajaan, di antara prajurit muda Tuanku Tambusai ada yang melampiaskan kemarahannya dengan membakar Dalu-dalu. Kemudian Tuanku Tambusai membawa pasukannya ke hilir Batang Sosah, di tempat beliau dahulu mendirikan suraunya. Di daerah inilah Tuanku Tambusai membangun benteng yang kuat dan merupakan benteng yang utama dan terbesar.
 
== Benteng utama tersebut berlapis tujuh, dengan bentuk melingkar. Lapisan yang paling dalam mempunyai garis tengah lebih kurang 500 meter. Komplek benteng ini merupakan satu perkampungan. Setiap lapis dilingkari parit dengan kedalaman lebih kurang 10 meter. Di bagian terluar, dibuat pintu-pintu berlapis tiga menghadap ke barat, terbuat dari papan-papan tebal. Setiap lapis memiliki rahasia tersendiri, untuk penyimpanan senjata, makanan, dan sebagainya. Di sekitar benteng ini ditanam aur duri agar musuh tidak mudah mendekat. Benteng utama ini diberi nama Benteng ''Auo'' (Aur) Duri, atau Benteng Tujuh ''Lapih''(Lapis). ==
Di bagian barat benteng utama itu dibangun pula dua benteng. Pertama, Kubu Baling-baling, berjarak sekitar 1,5 kilometer dari Benteng Aur Duri; terletak di daerah yang agak tinggi. Kedua, Kubu Godong, berjarak sekitar 300 meter dari Benteng Aur Duri; lebih besar dari Kubu Baling-baling.
 
Setelah selesai membangun benteng dan kubu-kubu, Tuanku Tambusai bergerak menuju Padang Lawas melalui Gunung Intan. Sewaktu pasukan Tuanku Tambusai bergerak meninggalkan Gunung Intan, Belanda mencoba menghadang, dan mencegat di dekat Kota Nopan. Hadangan itu dilawan oleh pasukan Tuanku Tambusai, sehingga pasukan Belanda dalam keadaan cerai-berai melarikan diri ke Kota Nopan.
 
Tidak lama setelah itu, Tuanku Tambusai menyiapkan serangan ke Kota Nopan. Dalam serangannya terhadap benteng Belanda di Kota Nopan, pasukan Belanda mengalami banyak kerugian, banyak meriam yang dirampas, gudang makanan dibakar, dan pasukan Belanda banyak yang tewas. Selesai mengadakan serangan terhadap Kota Nopan, Tuanku Tambusai melakukan pula serangan terhadap Angkola.
 
Melihat perlawanan gigih yang diperlihatkan oleh Tuanku Tambusai, Belanda merasa perlu mengadakan perundingan. Pada 31 Juli 1834, Residen Francis berunding dengan wakil-wakil yang dikirim oleh Tuanku Tambusai. Beliau sendiri tidak hadir karena sudah menyadari bahwa tidak ada gunanya berunding dengan Belanda. Dalam perundingan ini wakil-wakil dari Tuanku Tambusai menegaskan agar Belanda menarik diri dari tanah Mandailing. Perundingan ini akhirnya mengalami kegagalan.
 
Serangan berikut dari pasukan Tuanku Tambusai melumpuhkan pertahanan Belanda. Pada awal tahun 1835, Tuanku Tambusai dapat menguasai daerah Bonjol dan Rao dari pendudukan Belanda. Pada Juli 1835 Tuanku Tambusai melakukan serangan terhadap kedudukan Belanda di Padang Matinggi. Di beberapa tempat, rakyatnya dapat dipengaruhi oleh Belanda untuk berpihak kepada mereka; tetapi Tuanku Tambusai kembali dapat membangkitkan semangat mereka untuk menentang Belanda. Bahkan pasukan Belanda yang berasal dari Jawa banyak yang dapat dipengaruhi oleh Tuanku Tambusai. Sampai akhir Desember 1836, Tuanku Tambusai masih berhasil membangkitkan semangat rakyat Rao untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
 
Menghadapi kenyataan kekalahan demi kekalahan, Belanda mengintensifkan politik adu domba dan memotong jalur pasokan logistik. Pada 16 Agustus 1837, Bonjol jatuh ke tangan Belanda; kemudian Tuanku Imam Bonjol mereka tangkap pada 28 Oktober 1837. Setelah itu, Belanda memusatkan kekuatannya menghadapi perlawanan Tuanku Tambusai.
 
Bulan November 1837, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran di bawah pimpinan Mayor van Beethoven untuk merebut pangkalan Tuanku Tambusai di Portibi. Akan tetapi, Tuanku Tambusai telah membuat kubu-kubu pertahanan di luar Portibi. Salah satu kubu yang terkenal adalah di Siminabun. Tuanku Tambusai dengan pasukannya mempertahankan dengan gigih kubu-kubu pertahanan tersebut sehingga menimbulkan korban yang tidak sedikit di pihak Belanda. Setelah dapat merebut benteng di Siminabun, maka Belanda melakukan penyerangan terhadap benteng Portibi, dengan pasukan yang baru didatangkan dari Padang. Belanda berhasil merebut Benteng Portibi dengan pengorbanan yang besar.
 
Pasukan Tuanku Tambusai mengundurkan diri ke Kota Pinang. Mereka mendapat sambutan baik di daerah tersebut. Dari Kota Pinang, Tuanku Tambusai mencoba melakukan serangan terhadap Portibi, namun dapat diredam Belanda. Pasukan Tuanku Tambusai kembali mengundurkan diri ke Kota Pinang. Sewaktu Tuanku Tambusai melakukan persiapan untuk menyerang Portibi, Kolonel Michiels (pimpinan pasukan Belanda) melakukan serangan mendadak ke Kota Pinang. Oleh sebab itu, Tuanku Tambusai meninggalkan Kota Pinang dan bergerak ke Gunung Intan.
 
Gunung Intan merupakan daerah perbatasan dan jaraknya dengan Dalu-dalu hanya 12 kilometer. Antara Gunung Intan (dekat Sungai Korang) dan Dalu-dalu, Tuanku Tambusai telah membangun benteng-benteng sewaktu beliau pulang ke Dalu-dalu beberapa tahun sebelumnya. Benteng-benteng yang sudah dibangun itu adalah di Tanjung Merah (Tandikat), Sungai Aur (Silayang-layang), Tanjung Baru, Paringgonan, Huta-padang, Kuala Tambusai, dan Mondang Kumango. Dengan adanya kubu-kubu ini, bila pasukan terdesak di satu kubu, maka dapat dipindahkan ke kubu berikutnya.
 
Benteng-benteng tersebut sangat sukar direbut. Untuk menyerangnya diperlukan pasukan yang besar. Oleh karena itu, Kolonel Michiels memerintahkan Mayor Hojel untuk menghentikan serangan dan mengajak Tuanku Tambusai berunding dan berdamai. Ajakan Belanda itu dengan tegas ditolak Tuanku Tambusai.
 
== Melawan Belanda ==