Undang-Undang Sultan Adam: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
LaninBot (bicara | kontrib)
k Perubahan kosmetik tanda baca
Baris 9:
 
== Maksud dan Tujuan ==
Untuk mengetahui bagaimana latar belakang dan tujuan dikeluarkannya Undang-Undang ini dapat kita baca pada bagian [[Mukadimah]] dari Undang-Undang itu yang secara pendek tertulis sebagai berikut : {{br}}
''Pada hejrat sanat 1251 pada hari Chamis yang kalima belas hari bulan Almuharram djam pukul sembilan pada ketika itulah aku Sultan Adam memboeat Undang-undang pada sekalian ra’jatku supaja djadi sempurna agama rakjatku dan atikat mereka itu supaja djangan djadi banyak perbantahan mereka itoe dan soepaja djadi kamudahan segala hakim menghukumkan mereka itu aku harap djuga bahwa djadi baik sekalian hal mereka itu dengan sebab undang-undang ini maka adalah undang-undang ini maka undang-undangku beberapa perkara''.{{br}}
Undang-undang ini ditetapkan pada [[kamis]] [[15]] [[Muharam]] [[1251]] [[Hijriah]] pukul 09.00 pagi oleh [[Sultan Adam]]. Undang-undang ini dibuat oleh sebuah Tim dengan pimpinan oleh Sultan sendiri dan dibantu oleh anggota antara lain : Pangeran Syarif Hussein, [[Mufti]] H. Jamaluddin dan lain-lain.
Maksud dan tujuan dari Undang-Undang ini dikeluarkan jelas tertulis dalm konsiderannya yaitu :
* untuk menyempurnakan [[agama]] dan kepercayaan rakyat
* untuk mencegah jangan sampai terjadi pertentangan rakyat, dan
Baris 18:
 
== Sistematika Undang-undang Sultan Adam ==
Sultan Adam menggunakan istilah ''undang-undang'' karena sudah lama dikenal masyarakat dalam [[bahasa Banjar]]. Pengertian ''hukum'' di dalamnya mengacu kepada pengertian hukum [[agama]] [[Islam]]. Istilah ''perkara'' untuk menyebut pengertian [[pasal]]. Materi undang-undang ini dikelompokkan : {{br}}
I. Masalah-masalah agama dan peribadatan, mencakup :
* Pasal 1 - Masalah kepercayaan<ref>http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2007/02/24/undang-undang-sultan-adam-perkara-1/</ref>
* Pasal 2 - Mendirikan tempat ibadah dan sembahyang berjemaah<ref>http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2007/03/02/undang-undang-sultan-adam-perkara-2/</ref>
* Pasal 20 - Kewajiban melihat awal bulan Ramadhan puasa
II. Masalah Hukum Tata Pemerintahan, mencakup :
* Pasal 3 - Kewajiban tetuha kampung<ref>http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2007/03/08/undang-undang-sultan-adam-perkara-3/</ref>
* Pasal 21 - Kewajiban tetuha kampung
* Pasal 31 - Kewajiban lurah dan Mantri-Mantri
III. Hukum Perkawinan, mencakup :
* Pasal 5 - Syarat nikah<ref>http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2007/03/16/undang-undang-sultan-adam-perkara-5/</ref>
* Pasal 4 - Syarat nikah<ref>http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2007/03/09/undang-undang-sultan-adam-perkara-4/</ref>
Baris 34:
* Pasal 25 - Mendakwa isteri berzina
* Pasal 30 - Perzinaan
IV. Hukum Acara Peradilan, mencakup :
* Pasal 7 - Tugas mufti<ref>http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2007/03/30/undang-undang-sultan-adam-perkara-7/</ref>
* Pasal 8 - Tugas mufti<ref>http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2007/04/06/undang-undang-sultan-adam-perkara-8/</ref>
Baris 46:
* Pasal 19 - Larangan raja-raja atau mantri-mantri campur tangan urusan perdata, kecuali ada surat dari hakim
* Pasal 24 - Kewajiban hakim memeriksa perkara
V. Hukum Tanah, mencakup :
* Pasal 17 - Gadai tanah
* Pasal 23 - Masalah kedaluwarsa
Baris 53:
* Pasal 28 - Pengolahan tanah
* Pasal 29 - Mentelantar tanah
VI. Peraturan Peralihan, mencakup :
* Pasal 16.
 
Baris 61:
Selain itu juga suatu perintah untuk menjaga melihat bulan pada tiap awal bulan [[Ramadhan]] dan akhir Ramadhan awal bulan Haji dan awal bulan Ramadhan.
=== Hukum Tata Pemerintahan ===
Tetua Kampung selalu mengadakan [[musyawarah]] untuk menghindarkan terjadinya perselisihan dan perbantahan. Disini prinsip musyawarah sangat ditekankan. Selanjutnya menyebutkan beberapa jabatan dalam struktur pemerintahan zaman [[Sultan Adam|Adam dari Banjar]] seperti : [[Lalawangan]], [[Lurah]] (Kepala [[Banua]]), [[Pambakal]] dan [[Mantri]]. Mantri merupakan pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa di antaranya ada yang mempunyai daerah kekuasaan sama dengan Lalawangan. Suatu tata cara pelaksanaan pemerintahan yang diwajibkan pada Lalawangan, Lurah dan Mantri selalu selalu mengadakan musyawarah dan mencari kemupakatan dalam setiap persoalan. Akhirnya pada bagian ini terdapat adanya pembagian wewenang antara pejabat-pejabat pemerintah dan tugas peradilan, bahkan harus menguatkan putusan pengadilan tersebut. Jadi ada semacam koordinasi dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.
 
=== Hukum Perkawinan ===
Para pejabat yang berwenang untuk masalah yang menyangkut perkawinan agama, yaitu :
[[Mufti]] : hakim tertinggi pengawas pengadilan umum, dan [[Penghulu]] : hakim yang lebih rendah yang mendapat piagam atau cap dari Sultan. Disamping hakim ada lagi jabatan yang disebut [[Qadi]], yang bertugas sebagai pelaksana hukum dan pengatur jalannya pengadilan agar hukum berlaku dengan wajar. Perbedaan Qadhi dengan Penghulu adalah, bahwa Qadi, menetapkan hukum bila terjadi sengketa yang kemudian berkembang menjadi pelaksana [[peradilan Islam]]. Pasal-pasal pada bagian ini menyangkut tata cara nikah, larangan nikah bagi yang tidak bermadzhab Syafei, mengenai pembatalan perkawinan, masalah orang yang ''barambangan'', masalah suami yang menuduh isterinya berzina, dan kewajiban melapor kalau ada orang berzina.
 
=== Hukum Acara/Peradilan ===
Pasal-pasal pada bagian ini menjelaskan tentang larangan bagi seorang [[Mufti]] untuk memberi [[fatwa]] kepada seseorang yang sedang berperkara, begitu pula sebaliknya larangan bagi orang tersebut untuk meminta fatwa dari Mufti. Pasal ini menjamin kebebasan [[peradilan]], dimana hakim tertinggipun tidak diperkenankan turut campur tangan dalam penyelesaian suatu perkara.
 
Juga larangan bagi [[pejabat]] [[pemerintah]], seperti : [[Raja]], [[Mantri]], [[Pambakal]] ataupun [[Panakawan]] untuk mencampuri urusan orang yang berperkara. Suatu kewajiban hakim apabila telah selesai melakukan pemeriksaan perkara dan bersoal jawab dengan saksi-saksi, diperintahkan untuk mufakat terlebih dahulu dengan [[Khalifah]] dan Lurah (kepala [[Banua]])) sebelum putusan dijatuhkan. Segala putusan yang dijatuhkan harus diserahkan pada [[Pangeran Mangkoe Boemi Nata|Mangkubumi]] untuk memperoleh cap kerajaan.
* Pasal 11 ''Lamoen soedah djadi papoetoesan itoe, bawa kajah ading-ading dahoeloe mantjatjak tjap di dalam papoetoesan itoe”.
* Pasal 12 ''Siapa-siapa yang kalah bahoekoem maka anggan ia daripada kalahnya itoe, serahkan kajah ading papoetoesannya itoe jang mengoeroeskannya''.
Baris 76:
 
=== Hukum Tanah ===
Pasal-pasal dalam bagian ini adalah : setiap transaksi tanah diharuskan untuk didaftar atau setidak-tidaknya diketahui oleh hakim dan ada suatu tanda pendaftaran tertulis yang dibuat oleh [[hakim]]. Setiap orang menjual [[sawah]] [[kebun]] sudah lebih dari [[20]] [[tahun]], kemudian terjadi gugatan dengan alasan seperti bahwa sawah itu harta [[warisan]] yang belum dibagi, gugatan itu tidak berlaku. Disini digariskan adanya tenggang waktu [[kedaluwarsa]] dalam berbagai transaksi tanah yaitu selama [[20]] tahun, baik pemilik asal maupun pihak ketiga tidak dapat menuntut kembali tanah yang dijualnya. Tidak ada larangan bagi setiap golongan untuk menggarap tanah. Disini tidak dikenal semacam hak [[ulayat]] menurut ciri-ciri umum. Tanah bekas ladang yang ditinggalkan orang kira-kira dua musim atau lebih akan kembali jadi padang tidak ada pemiliknya, kalau di tanah tersebut tidak ada tanda-tanda hak milik berupa tanaman atau ''galangan''. Biasanya tanah yang berasal dari ''tanah wawaran''.
 
=== Ketentuan Peralihan ===
Ketentuan peralihan terdapat dalam pasal [[16]], yang berbunyi : ''Mana-mana segala perkara yang dahulu dari zamanku tiada kubariakan dibabak lagi dan mana-mana segala perkara pada zamanku nyata salahnya boleh aja dibabak dibujurkan oleh Hakim''
 
== Catatan kaki ==