Tjong Yong Hian: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
LaninBot (bicara | kontrib)
k Perubahan kosmetik tanda baca
Baris 15:
Tjong Yong Hian sangat dihormati oleh komunitas Tionghoa dan sangat dihargai pemerintahan Belanda.
 
Pada tahun 1904, Tjong Yong Hian mendapat penghargaan tertinggi dari Belanda, atas dedikasi pengorbanan tenaga, pikiran dan waktu, demi keberhasilan suatu tujuan mulia : pengabdian melaksanakan cita-cita yang luhur untuk kemanusiaan.
 
Kontribusinya dalam pembangunan Masjid Raya Al-Mashun, Rumah Sakit di Belawan, Vihara Tian Hou, dan Masjid Lama di Gang Bengkok. Dengan hadirnya Tjong Yong Hian ini, kita dapat melihat bagaimana kerukunan antar umat beragama pada zaman dahulu. Saling membantu dalam membangun rumah ibadah bagi setiap umat walaupun berbeda agama, ras, dan suku.*
Baris 27:
Kontribusi yang diberikan oleh Tjong Yong Hian terhadap Medan, Penang dan China ternyata mendapat perhatian dan penghargaan dengan gelar dari Pemerintah Qing untuk kontribusi sosialnya di China. Ia juga mendapat kehormatan diterima dua kali di Beijing oleh Ratu Ci Xi dan Kaisar Guang Xu. Pada tahun 1904, atas kontribusinya terhadap pembangunan Medan Tjong Yong Hian diberikan penghargaan dengan menamai sebuah jalan yang ramai Jalan Tjong Yong Hian, kemudian berubah menjadi Jalan Bogor. Serangkaian dengan Hari Pahlawan tahun 2013, Jalan Bogor ditabalkan kembali menjadi Jalan Tjong Yong Hian oleh Pelaksana Tugas (Plt) Wali kota Medan Dzulmi Eldin.
 
Tjong Yong Hian memiliki banyak rumah di Medan dan juga beberapa rumah di kampung halamannya China. Alamatnya di China adalah : Guangdong City, Meizhou province, Meizhou state, South Songnan village. Ia dan isterinya (Nee Xu) mempunyai tiga anak laki-laki Pu Ching, Cen Ching dan Min Ching dan empat anak perempuan. Rumah keluarga Tjong di Medan terletak di Jalan Kesawan (sekarang Jalan A. Yani). Sementara di China, Tjong dan leluhurnya memiliki rumah di Meixian, China. Tjong Yong Hian meninggal dunia di usia 61 tahun (11 September 1911), ribuan pelayat dari segala suku dan kebangsaan. Tempat peristirahatan terakhir Tjong Yong Hian adalah di Taman Mao Rong sebuah taman miliknya di kawasan Jalan Kejaksaan Medan. Saat berada di Taman Tjong Yong Hian ini, luasnya tidak seperti aslinya lagi. Makam berwarna merah menyala Tjong Yong Hian dan isterinya menghadap ke kolam teratai. Taman ini tetap terjaga keberadaannya karena dirawat oleh cicit Tjong Yong Hian, Budihardjo Chandra (Chang Hung Kuin), generasi keempat, dan keluarganya.
 
Wafat 1911
Baris 41:
Generasi kedua, Chang Pu Ching/Tjong Hau Lung, Chan Cen Ching/Tjong Hian Lung dan Chang Min Ching/Tjong Seng Lung, masih berada dalam lingkungan kondisi Indonesia dalam masa penjajahan Belanda. Kementerian perdagangan Kerajaan Qing, China mengangkat Chang Pu Ching sebagai inspektur untuk mengawasi proyek pembangunan jalan kereta api antara kota Chao Chow dan kota Chow Shan Tou, hal ini karena pemilik Perusahaan pembangunan kereta api sebelumnya adalah Tjong Yong Hian dan adiknya Tjong A Fie, sedangkan pada tahun 1904 anak-anak Tjong A Fie masih dalam masa pendidikan sekolah.
 
Tentang kemewahan kehidupan generasi penerus Tjong Yong Hian, tertulis dalam buku keponakan Tjong Yong Hian bahwa : “Kami menikmati mobil Fiat kuning pertama di Medan tahun 1920, suamiku membuka bank barunya Kong Siong Bank mengikuti jejak papa saya Tjong A Fie dengan Bank Delinya. Sesuai status barunya sebagai konsul China, sepupu saya Chang Pu Ching merombak rumah Tjong Yong Hian menjadi Konsulat China, disitu Chang Pu Ching tinggal dengan keluarganya menikmati kehormatan dari komunitasnya dan kekebalan hukum. Saudara Chang Pu Ching, Kung We, Kung Lip dan Kung Tat selalu menjelajahi jalanan kota dengan model mobil terbaru seperti Hudson dan Cadillac, dan istri-istri mereka berusaha pamer satu sama lain dengan busana mewah dan perhiasan mahal. Mereka seolah melupakan Perang Dunia Pertama yang baru terjadi, dan menyimpang dari kehidupan sebelumnya, mereka menjadi orang kaya baru. Mereka tidak bijaksana terhadap warisan orang tuanya yang bersusah payah dalam mendapatkan uang dan tidak menghormati warisannya. Mamanya istri Tjong Yong Hian dari desa, tante Hsi, seorang yang rajin dan hidup hemat sudah melihat kehidupan anaknya yang menjadi bahan kritikan masyarakat. Dan ketika buku ini terbit, semua kehidupan mewah itu sudah sirna” (Queeny Chang, 1981, hal 159)
 
Generasi ketiga pada masa itu menghadapi keadaan politik yang sedang rawan, dimana Indonesia pada saat itu sedang menanggung hutang luar negeri yang besar akibat dari kekosongan kas Negara karena baru merdeka, lalu pasca kemerdekaan. Kondisi politik yang kacau dan tidak stabil, membuat para keturunan generasi ketiga ini berhamburan menyelamatkan diri keluar negeri, ada yang ke China, Malaysia, Eropa dll. Hal ini membuat Perusahaan Keluarganya juga terlantar tanpa control dari pimpinannya.
Baris 67:
http://www.kompasiana.com/jamesppardede/mengenang-tjong-yong-hian-dari-taman-kebun-bunga-sampai-jembatan-kebajikan
 
Setiono, Benny G, 2008, Tionghoa Dalam Pusaran Politik , Jakarta, Gudang Penerbit.
 
<nowiki>Jakarta : [Pusat Penelitian Politik], Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) : LIPI Press, 2007.</nowiki>
 
http://www.benerada.com/hiburan/perjuangan-seorang-tjong-yong-hian-di-medan/