Sunan Nata Alam: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
LaninBot (bicara | kontrib)
k ibukota → ibu kota
LaninBot (bicara | kontrib)
k Perubahan kosmetik tanda baca
Baris 92:
 
== Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah ==
Berita kedatangan Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah yang akan menyerang Martapura sempat menggemparkan keluarga istana, tetapi Pangeran Tamjidillah tetap tenang atas situasi yang gawat tersebut. Dengan dasar pertimbangan supaya jangan terjadi pertumpahan darah antar keluarga sendiri, apalagi Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah adalah kemenakan dan menantunya sendiri, Pangeran Tamjidillah menyerahkan tahta kesultanan Banjarmasin, sehingga Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah berkuasa atas kesultanan Banjarmasin. Secara lahiriah Pangeran Tamjidillah ikhlas, menyerahkan tahta kepada keponakannya Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah, tetapi secara sembunyi Pangeran Tamjidillah tidak senang hati atas berpindahnya tahta dari tangannya, apalagi sebetulnya sebagian besar kaum bangsawan mendukungnya sebagai Sultan. Hal inilah yang menyebabkan Pangeran Tamjidillah membuat siasat licik, untuk mengembalikan tahta ke tangannya. Ketika Pangeran Tamjidillah menyerahkan tahta kepada Pangeran Mohammad Aliuddin keponakannya, di hadapan para bangsawan dia mengatakan : “Biarlah tahta direbut oleh Ratu Anom (gelar Pangeran Mohammad Aliuddin) sebentar lagi juga akan mati” Ucapan ini lahir dari niat liciknya untuk melenyapkan Pangeran Mohammad Aliuddin sebagai Sultan. Bagaimana caranya? Kenyataannya Ratu Anom atau Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah menderita sakit yang terus menerus dan menyebabkan kesehatannya makin lama makin mundur dan pada tahun 1761 dia meninggal dengan meninggalkan putera mahkota yang masih kecil. Diduga kematian Sultan ini akibat diracun. Meskipun pemerintahannya hanya berlangsung 3 tahun, dia mempunyai sikap politik yang keras terhadap VOC, sehingga lebih banyak berusaha menguntungkan perdagangan Kerajaan, daripada harus tunduk pada kemauan Belanda. Pemimpin-pemimpin VOC yang pernah berhubungan dengan Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah, harus sangat berhati-hati, sehingga Sultan tidak merasa tersinggung, karena watak orang Banjar sangat keras kalau dia tersinggung. Hal ini dilaporkan oleh VOC kepada Residen de Lile yang berbunyi sebagai berikut : “Residen jangan mengira bahwa di Banjar ini sama halnya dengan di Banten atau Jawa. Orang Banten atau Orang Jawa walaupun dia dipukul kompeni dengan cambuk di kepalanya, sekali-kali tak berani mengatakan bahwa pukulan itu sakit, tapi orang Banjar mendengar kata-kata yang keras saja sudah marah dan bila sampai terjadi begitu maka seluruh Banjar akan merupakan buah-buahan yang banyak pada satu tangkai”. Siasat Pengeran Tamjidillah berhasil, karena Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah meninggal, Putera Mahkota masih kecil, karena itulah Mangkubumi kembali berada di tangannya sebagai wali Sultan yang belum dewasa, dan dia menunjuk anaknya Pangeran Nata Alam atau Natadilaga sebagai wali sultan yang kemudian terkenal sebagai Susuhunan Nata Alam, raja dari kesultanan Banjarmasin yang terbesar dalam abad ke- 18. Cerita lama yang pernah dialami oleh Pangeran Aliuddin Aminullah setelah ayahnya Sultan Kuning meninggal, kembali terulang setelah Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah meninggal. Wali Sultan Nata Alam berusaha agar tahta tetap dipegangnya dan ahli waris berada pada garis keturunannya. Nata Alam mulai mengatur siasat untuk melaksanakan ambisinya. Pertama-tama dia berusaha memperoleh dukungan kaum bangsawan, dan ternyata dukungan dengan mudah diperolehnya. Selanjutnya dia mengangkat puteranya sebagai penggantinya kelak dengan gelar Sultan Sulaiman Saidullah yang saat itu baru berusia 6 tahun (1767). Limabelas tahun kemudian yaitu pada tahun 1782 kembali diangkatnya cucu yang baru lahir dengan gelar Sultan Adam al-Watsiq Billah. Tindakan ini merupakan realisasi dari siasatnya untuk mengekalkan tahta atas garis keturunannya dan mendapat dukungan dari kaum bangsawan yang memang dengan mudah diperolehnya.
 
== Keterlibatan Kotawaringin ==
Baris 98:
 
== Gelar-gelar lain ==
Siasat selanjutnya ialah Nata Alam mengangkat dirinya sebagai Sultan Kerajaan Banjar (1787 – 1801) dengan gelar-gelar :
# Panembahan Kaharuddin Halil-lillah <ref name="pegustian"/>
# Sultan Akamuddin Saidullah (mulai Oktober 1762)<ref name="pegustian"/>
Baris 116:
== Pangeran Amir ==
Sultan [[Muhammad Aliuddin Aminullah]] meninggalkan putera-putera yang berhak menggantikan kedudukan sebagai [[Sultan]] ketika dia wafat, yaitu Pangeran Abdullah, Pangeran Rahmat dan Pangeran Amir.<ref>{{id}} Abdul Qadir Djaelani, Perang sabil versus perang salib: umat Islam melawan penjajah Kristen Portugis dan Belanda, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah, 1999
</ref> Anak-anak yang berhak atas tahta ini satu persatu meninggal, Pangeran Abdullah meninggal karena diracun dan dicekik oleh Sultan Tahmidullah II<ref>{{id}} {{cite book|pages=41|url=http://books.google.co.id/books?id=NjBc79jjRx4C&lpg=PA41&dq=Sultan-moeda%20bandjarmasin&pg=PA41#v=onepage&q&f=false|title=Bulan jingga dalam kepala: novel|first=M. Fadjroel|last=Rachman|publisher=Gramedia Pustaka Utama|year=2007|isbn=9792228764}}ISBN 9789792228762</ref>, kemudian disusul Pangeran Rahmad dibunuh atas perintah Sultan Tahmidullah II. Sekarang menunggu giliran Pangeran Amir menyadari atas kejadian terhadap saudara-saudaranya, karena itu sebelum terlambat dia meminta diizinkan meninggalkan Kesultanan Banjarmasin dengan alasan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Sunan Nata Alam mengizinkan, karena berarti bahwa satu-satunya pewaris tahta sudah tidak berada di tempat lagi. Ternyata Pangeran Amir tidak berangkat menuju [[Mekkah]] untuk menunaikan [[ibadah]] [[haji]] tetapi dia singgah ke [[Kesultanan Pasir|Pasir]] ke tempat pamannya Arung Tarawe. Arung Tarawe menyanggupi memberi bantuan pada Pangeran Amir, untuk menyerang [[Martapura]], untuk merebut tahta dari Pangeran Nata Alam. Perjanjian ini yang menyebabkan peperangan dan sebagai peristiwa yang terburuk bagi Kesultanan Banjarmasin, sebab dalam peperangan perebutan tahta ini bangsa Belanda dan orang-orang [[Bugis]] ikut campur tangan. Dengan demikian peperangan ini melibatkan pertentangan antar suku, yaitu [[suku Banjar]] dan [[suku Bugis]], juga melibatkan orang Belanda sebagai bangsa yang haus daerah, untuk dijadikan tanah [[jajahan]]. Pada tahun [[1785]] Pangeran Amir dengan bantuan Arung Tarawe menyerang Martapura. Pasukannya dengan 3000 orang Bugis dengan kekuatan [[60]] buah perahu berangkat dari [[Pasir]] melalui [[Tanjung Silat]] mendarat di Tabanio, pelabuhan lada terbesar dari Kesultanan Banjarmasin. Di [[Tabanio]] pasukan [[Bugis]] melakukan pembunuhan terhadap rakyat yang tidak berdosa yang tidak mengerti persoalan dan tidak mengerti perebutan tahta, pemusnahan kebun lada, sumber potensial dari perdagangan Kesultanan Banjarmasin dan sumber penghasilan rakyat, menawan rakyat dan selanjutnya dijadikan [[budak]] oleh orang Bugis, hal ini menyebabkan terjadinya pertentangan suku, suku Bugis dan suku Banjar. Hal ini pula menyebabkan hilangnya simpati rakyat Banjar terhadap Pangeran Amir, sehingga rakyat Banjar tidak ada yang membantu perjuangan Pangeran Amir, suatu siasat yang merugikan Pangeran Amir sendiri. Memang penyerangan Pangeran Amir ini, sebagai realisasi balas dendam akan kematian ayah dan saudara-saudaranya. Penyerangan Pangeran Amir ini menyebabkan Susuhunan Nata Alam membuat kontrak baru dengan [[VOC]] pada tahun [[1787]] untuk menjaga stabilitas kekuasaannya agar tetap berada di tangannya dan garis keturunannya. Hal-hal penting dari [[perjanjian]] itu ada 4 point :<ref name="Bandjermasin"/>
# Sultan menyerahkan daerah kekuasaannya atas [[Kesultanan Pasir|Pasir]], [[Poelau Laoet|Laut Pulo]], [[Tanah Laut|Tabanio]], [[Kabupaten Katingan|Mendawai]], [[Kabupaten Kotawaringin Timur|Sampit]], [[Kabupaten Seruyan|Pembuang]], [[Kerajaan Kotawaringin|Kotawaringin]] pada VOC.
# Kerajaan Banjar adalah [[vazal]] VOC dan Sultan cukup puas dengan ''uang tahunan''
Baris 123:
Susuhunan Nata Alam menyadari bahwa atas serangan Pangeran Amir dengan pasukan Bugis tersebut, dan hanya [[VOC]] yang dapat menyelamatkannya, karena itulah tidak ada pilihan lain bagi Pangeran Nata, bahwa dia harus meminta bantuan VOC untuk mengusir pasukan Bugis tersebut. Pangeran Nata Alam mengatur siasat bahwa bagaimanapun juga Belanda harus dijadikan tameng untuk melindungi kedaulatannya, tetap terikat dengan Kesultanan Banjarmasin tetapi bukan sebagai penguasa.
 
Perjanjian yang diadakan oleh Sultan Nata Alam terdiri dari :<ref name="Bandjermasin"/>
# Acte van Afstand 13 Agustus 1787
# Tractaat 13 Agustus 1787
Baris 129:
# Sep. Articul het Tractaat van 13 Agustus 1787, 22 April 1789.
 
Perjanjian ini tertulis dalam dua bahasa yaitu [[bahasa Belanda]] dan [[bahasa Melayu]] [[huruf Arab]]. Dalam isi perjanjian itu tergambar situasi [[politik]] yang penting, yaitu saat serbuan orang-orang Bugis yang dipimpin oleh Pangeran Amir. Nama Pangeran Amir memang tidak ditemukan dalam serbuan yang menggoncangkan kerajaan tersebut tetapi serbuan [[orang Bugis]] tersebut adalah bantuan Pangeran Tarawe, paman dari Pangeran Amir. Kehadiran pasukan kompeni Belanda membantu Pangeran Nata, merupakan pasukan juru selamat terhadap kehancuran pemerintahan Pangeran Nata. Karena itulah dalam butir-butir isi perjanjian kedudukan Kompeni Belanda menunjukkan posisi dominan. Lebih tragis lagi adalah posisi Kesultanan Banjar hanya sebagai sebuah kerajaan pinjaman dari milik kompeni Belanda. Dalam Acte van Afstand tersebut, kedudukan Kesultanan Banjar sebagai kerajaan pinjaman, sebetulnya merupakan hasil dari permusyawaratan seluruh pembesar kerajaan disebutkan bahwa : <br>
''....akan menjadi paedah serta selamat bagi negeri beserta rakyat maka setelah aku bermusyawaratan timbang menimbang perkara-perkara itu bersama-sama dengan anandaku yang sudah terpilih akan ganti kedudukanku Sultan [[Sulaiman dari Banjar|Soleman]] dan cucundaku Sultan [[Adam dari Banjar|Adam]] dan Perdana Mantriku [[Ratu Anom Ismail]] beserta sekalian raja-raja dan orang-orang besar dari istana tahta kerajaan negeri Banjar maka kami sekalian kira-kira terbaiklah dan sudah dihitung pada hati kami menyerahkan diriku beserta sekalian rakyat tahta kerajaan negeri Banjar betul kepada perlindungan dan pernaungan kompeni maka dari karena sebab itu juga dengan surat yang terbuka ini aku mengaku dan mengatakan baik bagi diriku sendiri baik bagi zuriat-zuriatku yang akan mengganti kedudukanku dan bagi waris-warisku turun temurun aku menanggalkan sekalian pangkat-pangkat kerajaanku dengan sekalian tanah-tanah dan negeri-negeri beserta pulau-pulau dan teluk rantau dan sungai-sungai.''<ref name="Bandjermasin"/>
 
Para pembesar kerajaan yang ikut menyaksikan semua perjanjian yang dibuat dan ikut menandatangani selain Sunan Nata Alam, [[Sulaiman dari Banjar|Pangeran Ratu Sultan Soleman]] dan [[Adam dari Banjar|Sultan Adam]] adalah : Pangeran Mangkudilaga (anak [[Suria Alam dari Banjar|Tahmid-illah 1]]), Pangeran Aria, Pangeran Isa (anak Tahmid-illah 1), Pangeran Zainal, Pangeran Marta, Gusti Tasan serta Perdana Mantri Kerajaan [[Ratu Anom Ismail]] (anak Sunan Nata Alam).<ref name="Bandjermasin"/>
 
Sedangkan para pembesar golongan Kiai, ikut pula menandatangani : Kiai Surengrana, Kiai Tumenggung, Kiai Martadangsa, Kiai Maesa Jaladeri, Kiai Rangga, Kiai Jayengpati, Kiai Durapati, Kiai Surajaya, Kiai Jayadirana dan Kapitan Kartanegara.<ref name="Bandjermasin"/>
{{wikify|date=2010}}
 
Baris 141:
''wakil Kompeni Kristopel Hopman menyerahkan kepada aku Sultan Soleman Sa’idullah dari pihak mana kompeni Wilanduwi seperti barang yang diberi pinjam yang baka tiada boleh mati agar aku dan aku ampunya zuriat yang mutachirin seperti anakndaku Pangeran Ratu Sultan Soleman dan cucundaku Sultan Adam duduk memerintahkan dan menyelenggarakan kerajaan beserta rakyat…''<ref name="Bandjermasin"/>
 
Kemenangan diplomasi lainnya adalah bahwa Kesultanan Banjar sebagai kerajaan pinjaman yang kedudukannya setengah jajahan (daerah protektorat), tetapi persetujuan itu menghasilkan keputusan bahwa Kesultanan Banjar menempati kedudukan sebagai kerajaan yang kedudukannya setarap dengan [[Kompeni Belanda]], sebagai kerajaan merdeka. Kedudukan sebagaimana sebuah kerajaan merdeka itu dalam hal penghormatan terhadap wakil Kerajaan Banjar yang akan menghadap [[Gubernur Jenderal]] di [[Batavia]] dengan penghormatan sambutan tembakan meriam, sebagaimana sambutan terhadap negara lainnya. Begitu pula sambutan yang sama diberikan apabila wakil kompeni Belanda yang akan menghadap [[Sultan]] di [[Bumi Kencana]] Kerajaan Banjar. Persetujuan tentang persamaan kedudukan itu terhadap pada pasal 31 :<br>
''Pasal tiga puluh asa. Adapun sebagaimana akan dihormati dengan menembak kepada Paduka Seri Sultan ampunya surat-surat yang dibawa datang di Banjar kepada pitor besar atau di Batavia kepada Paduka Gurnadur Jenderal dan Raden van India maka begitu juga surat-surat yang datang dari Batavia oleh Paduka Gurnadur Jenderal dan Raden van India atau yang dibawa dari pitor besar yang dinegeri Banjar kepada Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan itu hendaklah diberi hormat begitu juga sebagaimana harus dan patut yakni surat-surat yang dari oleh Gurnadur Jenderal dan Raden van India serta dari oleh Yang Maha Mulia paduka Seri Sultan akan dihormati dengan tembak lima belas kali dan surat dari pitor besar dengan tembak tujuh kali adanya…''<ref name="Bandjermasin"/>
 
Baris 166:
Sejak perjanjian tahun [[1787]] sampai dengan [[1797]] merupakan sandiwara politik Kesultanan Banjar yang terbesar dengan Sultan Nata Alam sebagai pemeran utamanya. Segala rencana perdagangan VOC disabot, bajak laut diorganisir untuk merampok kapal-kapal Belanda, perdagangan bebas dengan bangsa berjalan dengan lebih ramai sehingga VOC tidak berhasil memperoleh monopoli sebagaimana yang disebutkan dalam kontrak [[1787]]. Siasat yang paling berhasil yang dilakukan Sultan Nata Alam ialah menghancurkan kebun [[lada]] sehingga populasi produksi lada berada dalam batas minimal.
 
Menjelang tahun [[1793]] perdagangan lada sangat merosot ditambah dengan [[bajak laut]] yang menutup muara [[sungai Barito]] sehingga melumpuhkan perdagangan VOC. Mengenai kegagalan perdagangan Belanda di Banjarmasin disebutkan sebagai berikut : <br>
''“Betul-betul licin orang-orang Banjar itu terhadap suatu “Grootmacht” seperti VOC yang telah berpengalaman dua abad lebih mengenai soal-soal Banjar, begitu lamanya mereka dengan diam-diam menyembunyikan sebab-sebab sebenarnya daripada kegagalan pengluasan kekuasaan VOC. Baru lama kemudian setelah perlawanan diam-diam ini tak perlu dirahasikan lagi, VOC mengerti bahwa dia telah bertahun-tahun ditipu”.''
 
Baris 174:
Kompeni Belanda akhirnya tahun [[1797]] mengirim komisaris [[Francois van Boekholtz]] ke Banjarmasin dan membuat kontrak tahun [[1797]] yang sangat memalukan VOC. Akhirnya VOC meninggalkan Banjarmasin. [[Komisaris]] [[Francois van Boekholtz]] mengadakan pembicaraan dengan [[Sultan]], [[Sultan Adam]] dan [[Wazir]] [[Tuan Raden Dipati Anum Ismail]] bertempat di [[istana Bumi Kencana]], [[Martapura]] mengenai masalah yang menyangkut kontrak yang dibuat tahun [[1787]].
 
Kedatangan Boekholtz ini menemui Sultan dan pembesar istana kerajaan karena sebelumnya terdapat beberapa issu yang negatif terhadap perjanjian tahun [[1787]] khususnya pihak Kesultanan Banjar terdapat sikap mengabaikan semua isi perjanjian dan sikap untuk membatalkan semua perjanjian itu. Selama [[sepuluh]] tahun perjanjian itu ternyata Kompeni Belanda tidak memperoleh keuntungan sama sekali. Kegagalan perjanjian itu menurut penilaian Komisaris [[Francois van Boekholtz]] terdapat pada dua masalah pokok ialah :
# Kegagalan terhadap monopoli perdagangan lada yang sebelumnya diharapkan mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi Kompeni Belanda, dan yang kedua.
# Sikap Sultan yang tidak tulus membalas budi Kompeni Belanda yang telah membantu Kesultanan Banjar untuk menghancurkan serbuan Pangeran Amir dengan pasukan Bugis-Paser.
 
Pembicaraan dengan pembesar kerajaan itu menghasilkan kesimpulan bahwa Sultan dan seluruh pembesar kerajaan mengusulkan agar Sultanlah yang memegang seluruh wilayah [[kerajaan]] dan memerintah bukan atas dasar [[pinjaman]] dari [[Kompeni]]. Dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan perjanjian tahun [[1787]] mendatangkan kerugian bagi Kompeni Belanda, lagi pula banyak kesukarannya bagi Orang Kulit Putih mengawasi pelaksanaan [[monopoli]] perdagangan [[lada]] dan lainnya, kesulitan karena berbeda adat istiadat apalagi terhadap Orang [[Dayak]] yang suka memotong kepala, disamping perjalanan yang ditempuh sangat jauh, akhirnya Kompeni Belanda mengadakan perjanjian tahun [[1789]] yang sangat merugikan dan menunjukkan kekalahan diplomasinya. Perjanjian itu terdiri atas [[13]] pasal dan ditanda tangani di Bumi Kencana istana Sultan dan di Batavia. Para pembesar istana yang ikut membubuhkan tanda tangan mereka terdiri dari : [[Sulaiman dari Banjar|Sultan Soleman]], [[Adam dari Banjar|Sultan Adam]], [[Panembahan Batu]], [[Ratu Anom Ismail]], Pangeran Ishak dan Pangeran Hasin. Dari pihak Kompeni Belanda adalah : Van Boekholtz sebagai Komisaris, A.W. Jorissen, Wm. Bloem, A.B. Dietz, S.H. Rose Seer dan [[Pieter Gerardus van Overstraten]].<ref name="Bandjermasin"/>
 
Pasal yang ketiga dari perjanjian itu menyebutkan bahwa Kompeni Belanda menetapkan [[Sulaiman dari Banjar|Sultan Suleman Sa’idallah]] yang berkuasa memerintah di atas sekalipun tanah Kompeni dan Sultan pulalah yang memelihara Kerajaan itu sebagai kepunyaan sendiri. Segala keuntungan dari hasil kerajaan termasuk segala jenis [[sarang burung]] dan semua komoditi perdagangan yang sebelumnya menjadi hak Kompeni Belanda, sekarang diserahkan kepada Sultan.<br>