Saidullah dari Banjar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
LaninBot (bicara | kontrib)
k Perubahan kosmetik tanda baca
Baris 65:
 
== Menjadi Kepala Negara ==
Dengan mangkatnya ayahnya Sultan Inayatullah/Ratu Agung, maka Pangeran Kasuma Alam naik tahta sebagai Sultan Banjar (kepala negara) dengan dilantik oleh pamannya Pangeran Dipati Anta-Kasuma yang menjadi [[Raja Kotawaringin]] (bahasa Banjar : [[Ratu Kota Waringin]]), yang sengaja datang dari Kotawaringin (Kalimantan Tengah) setelah mendengar mangkatnya kakakandanya. Pangeran Kasuma Alam ditabalkan sebagai Sultan Banjar dengan gelar dalam khutbah Sultan Saidullah atau gelar yang dimasyhurkan adalah Ratu Anom.<ref name="hikayat banjar"/>
 
Mangkubumi (kepala pemerintahan) diputuskan dijabat oleh pamannya, '''Pangeran di-Darat''' dengan gelar '''Panembahan di-Darat'''. Panembahan di-Darat ini memiliki wewenang kekuasaan politik negara dan pemerintahan yang besar, sehingga Sultan Saidullah menjadi raja boneka belaka. Ketika Panembahan di-Darat meninggal setelah menjabat mangkubumi selama 5 tahun, penggantinya adalah Ratu Kota Waringin (Pangeran Dipati Anta-Kasuma) yang juga menjabat selama 5 tahun kemudian mengundurkan diri karena uzur. Kemudian Pangeran Dipati Anta-Kasuma mengusulkan mangkubumi baru, adik tirinya yaitu Raden Halit/Pangeran Dipati Tapasena yang dilantik dengan gelar Pangeran Dipati Mangkubumi.<ref name="hikayat banjar"/>
Baris 82:
Pelayaran perdagangan Banjar ke Batavia diberi VOC surat pas, sedangkan ke Cochin Cina tidak diberikan meskipun Sultan Banjar memintanya. Keadaan ini menunjukkan sikap VOC telah memaksakan monopoli perdagangannnya, hingga tidak mengizinkan bagi pedagang Jawa, Cina, Melayu, Makassar untuk menjalankan perdagangannya dengan kesultanan Banjarmasin.
 
Ketika Contract Craemer menolak permintaan Sultan Banjar untuk mengirimkan lada ke Makassar, pecahlah perang anti VOC, pada tahun [[1638]]. Sebanyak 108 orang [[Belanda]], 21 orang [[Jepang]] dibunuh, dan loji VOC dibakar serta penghancuran terhadap kapal-kapal VOC. Peristiwa ini sangat merugikan VOC. Kerugian VOC ditaksir sebesar 160.000,41 real. Dalam hal ini hanya 6 orang Belanda di [[Martapura]] yang selamat, karena mau di-Islamkan secara paksa. Pembantaian terhadap orang-orang Belanda dan Jepang tersebut, selain dilatarbelakangi faktor ekonomi juga karena faktor perbedaan agama dan adat-istiadat orang-orang Belanda yang tidak beradaptasi dengan adat-istiadat di Banjarmasin. Dan juga perilaku VOC yang selalu ingin monopoli (bahasa Banjar : ''kuluh'') dalam perdagangan lada.
 
Taktik yang dilakukan kesultanan Banjarmasin untuk melepaskan diri dari politik VOC, dan menghindar dari pedagang-pedagang Inggris serta Portugis, menyebabkan hubungan Banjarmasin dengan Mataram menjadi normal kembali. Karena taktik tersebut, sehaluan dengan sikap Mataram yang anti terhadap para pedagang asing, khususnya VOC.
Baris 89:
Kejadian tahun [[1638]] sangat merendahkan martabat bangsa Belanda dan Belanda berusaha menghancurkan Kerajaan Banjar sebagai balas dendam terhadap pembantaian orang-orang Belanda tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan Belanda adalah menyebarkan surat kepada Raja-raja Nusantara yang selama ini bersahabat baik dengan Belanda.
 
Surat yang ditujukan kepada Raja-raja Nusantara itu berbunyi, antara lain isinya : Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia (Raad van Indie) dengan ini memberitahukan kepada Raja-Raja Nusantara, terutama di daerah-daerah VOC menjalankan perdagangan, bahwa :
# Antara VOC dan Kerajaan Banjar pada tahun 1635 telah diadakan suatu kontrak dagang.
# Kontrak itu menyatakan diberikannya monopoli lada kepada VOC dengan penetapan harga 5 real sepikul dan bea cukai 7% untuk Sultan. Di Martapura dibuat sebuah loji yang dengan orang-orang VOC beserta barang dagangannya dibawah perlindungan Sultan. VOC mengerahkan sebuah kapal perang untuk menjaga muara sungai Banjar terhadap serangan Mataram.
Baris 99:
 
Belanda sangat marah atas tindakan Kerajaan Banjar ini, dan membuat maklumat yang ditujukan kepada Raja-Raja Nusantara yang disebut insinuasi mengenai pembunuhan orang-orang Belanda oleh Raja Martapura.
Kata-kata yang kasar dan kemarahan mendalam disebutkan dalam surat itu :
{{cquote|''...seperti pembunuh dan manusia binatang tetapi juga sebagai si kikir yang tak berperikemanusiaan dan perampok barang-barang milik orang asing. Darah mereka terbunuh menangis di muka Tuhan....sehingga mereka tidak mungkin berdamai, kecuali Martapura hanya tinggal tumpukan-tumpukan puing dan Sultan yang terkutuk itu dan turunannya diusir atau dibunuh oleh rakyatnya sendiri.''
|4