Mesir Kuno: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k ibukota → ibu kota |
|||
Baris 48:
Pendeta Mesir pada abad ke-3 SM, [[Manetho]] mengelompokan garis keturunan firaun yang panjang dari Menes ke masanya menjadi 30 dinasti. Sistem ini masih digunakan hingga hari ini.<ref>Clayton (1994) hal. 6</ref> Ia memilih untuk memulai sejarah resminya melalui raja yang bernama "Meni" (atau [[Menes]] dalam bahasa Yunani), yang dipercaya telah menyatukan kerajaan [[Mesir Hulu]] dan [[Mesir Hilir|Hilir]] (sekitar 3200 SM).<ref>Shaw (2002) hal. 78–80</ref> Transisi menuju negara kesatuan sejatinya berlangsung lebih bertahap, berbeda dengan apa yang ditulis oleh penulis-penulis Mesir Kuno, dan tidak ada catatan kontemporer mengenai Menes. Beberapa ahli kini meyakini bahwa figur "Menes" mungkin merupakan [[Narmer]], yang digambarkan mengenakan tanda kebesaran kerajaan pada [[pelat Narmer]] yang merupakan simbol unifikasi.<ref>Clayton (1994) hal. 12–13</ref>
Pada Periode Dinasti Awal, sekitar 3150 SM, firaun pertama memperkuat kekuasaan mereka terhadap Mesir hilir dengan mendirikan
=== Kerajaan Lama ===
Baris 67:
{{Main|Kerajaan Pertengahan Mesir}}
[[Berkas:Egypte louvre 231 visage.jpg|jmpl|lurus|Amenemhat III, penguasa terakhir Kerajaan Pertengahan.]]
Firaun Kerajaan Pertengahan berhasil mengembalikan kesejahteraan dan kestabilan negara, sehingga mendorong kebangkitan seni, sastra, dan proyek pembangunan monumen.<ref>Shaw (2002) hal. 148</ref> Mentuhotep II dan sebelas dinasti penerusnya berkuasa dari Thebes, tetapi wazir [[Amenemhat I]], sebelum memperoleh kekuasaan pada awal [[dinasti ke-12]] (sekitar tahun 1985 SM), memindahkan
Maka populasi, seni, dan agama negara mengalami perkembangan. Berbeda dengan pandangan elitis Kerajaan Lama terhadap dewa-dewa, Kerajaan Pertengahan mengalami peningkatan ungkapan kesalehan pribadi. Selain itu, muncul sesuatu yang dapat dikatakan sebagai demokratisasi setelah akhirat; setiap orang memiliki arwah dan dapat diterima oleh dewa-dewa di akhirat.<ref>Shaw (2002) hal. 179–82</ref> Sastra Kerajaan Pertengahan menampilkan tema dan karakter
Baris 88:
[[Berkas:SFEC EGYPT ABUSIMBEL 2006-003.JPG|jmpl|lurus|kiri|Patung [[Ramses II]] di pintu masuk kuil [[Abu Simbel]].]]
Sekitar tahun 1350 SM, stabilitas Kerajaan Baru terancam ketika [[Amenhotep IV]] naik tahta dan melakukan reformasi yang radikal dan kacau. Ia mengubah namanya menjadi [[Akhenaten]]. Akhenaten memuja dewa matahari [[Aten]] sebagai dewa tertinggi. Ia lalu menekan pemujaan dewa-dewa lain.<ref>Aldred (1988) hal. 259</ref> Akhenaten juga memindahkan
[[Ramses II]] naik tahta pada tahun 1279 SM. Ia membangun lebih banyak kuil, mendirikan patung-patung dan obelisk, serta dikaruniai anak yang lebih banyak daripada firaun-firaun lain dalam sejarah.<ref>Clayton (1994) hal. 146</ref> Sebagai seorang pemimpin militer yang berani, Ramses II memimpin tentaranya melawan [[bangsa Het]] dalam [[pertempuran Kadesh]]. Setelah bertempur hingga mencapai kebuntuan (''stalemate''), ia menyetujui traktat perdamaian pertama yang tercatat sekitar 1258 SM.<ref>Tyldesley (2001) hal. 76–7</ref>
Baris 113:
{{main|Dinasti Ptolemeus}}
Pada tahun 332 SM, [[Alexander yang Agung]] menaklukan Mesir dengan sedikit perlawanan dari bangsa Persia. Pemerintahan yang didirikan oleh penerus Alexander dibuat berdasarkan sistem Mesir, dengan
[[Budaya Yunani]] tidak menggantikan budaya asli Mesir. Penguasa dinasti Ptolemeus mendukung tradisi lokal untuk menjaga kesetiaan rakyat. Mereka membangun kuil-kuil baru dalam gaya Mesir, mendukung kultus tradisional, dan menggambarkan diri mereka sebagai firaun. Beberapa tradisi akhirnya bergabung. Dewa-dewa Yunani dan Mesir [[sinkretisme|disinkretkan]] sebagai dewa gabungan (contoh: [[Serapis]]). Bentuk skulptur [[Yunani Kuno]] juga memengaruhi motif-motif tradisional Mesir. Meskipun telah terus berusaha memenuhi tuntutan warga, dinasti Ptolemeus tetap menghadapi berbagai tantangan, seperti pemberontakan, persaingan antar keluarga, dan massa di Iskandariyah yang terbentuk setelah kematian [[Ptolemeus IV Philopator|Ptolemeus IV]].<ref>Shaw (2002) hal. 418</ref> Lebih lagi, [[Romawi Kuno|bangsa Romawi]] memerlukan gandum dari Mesir, dan mereka tertarik akan situasi politik di negeri Mesir. Pemberontakan yang terus berlanjut, politikus yang ambisius, serta musuh yang kuat di Suriah membuat kondisi menjadi tidak stabil, sehingga bangsa Romawi mengirim tentaranya untuk mengamankan Mesir sebagai bagian dari kekaisarannya.<ref>James (2005) hal. 62</ref>
|