Arsitektur Minangkabau: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rahmatdenas (bicara | kontrib) |
Rahmatdenas (bicara | kontrib) |
||
Baris 28:
{{Multiple image|direction=vertical|align=right|image2=COLLECTIE TROPENMUSEUM Moskee TMnr 10016675.jpg|image1=COLLECTIE TROPENMUSEUM Een Minangkabau huis TMnr 60026299.jpg|width2=240|width1=240|footer=Atap pada rumah gadang (atas) dan masjid (bawah) secara tradisional terbuat dari ijuk. Mengingat daerah Minang beriklim tropis dengan curah hujan yang tinggi, bentuk atap dibuat curam sehingga atap terbebas dari endapan air hujan dan bangunan terhindar dari tempias..}}
Daerah Minangkabau merupakan daerah tropis. Untuk itu, bangunan-bangunan di Minangkabau dibuat menyikapi kondisi iklim. Hal ini terlihat dari bentuk bangunannya yang memperhatikan curah hujan dan penghawaan. Bentuk atap yang runcing bertujuan agar air hujan yang turun tidak tertahan di atap, tetapi langsung jatuh ke tanah. Dengan demikian, atap dapat terbebas dari endapan air hujan. Terdapat kolong yang berfungsi membuat sirkulasi udara di bagian bawah lantai ke ruangan di atasnya.{{sfn|Beritagar.id|8 Desember 2017}} Saat musim hujan, kolong membuat ruangan di atasnya selalu kering dan tidak lembab walaupun mendapatkan curah hujan yang tinggi tiap tahunnya.{{sfn|Elfida Agus|2006|pp=5}} Selain iklim, bangunan dibuat menyesuaikan kondisi topografi.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=35}} Bangunan tidak boleh didirikan pada tanah yang basah, rendah atau labil, maupun di atas lahan pertanian.{{sfn|Ernaning Setiyowati|2010|pp=8}} Tanah untuk bangunan diusahakan datar dan mempunyai daya dukung yang tinggi karena tiang-tiang bangunan tidak ditanam ke dalam tanah.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=30}} Tiang-tiang hanya diletakkan di atas batu pipih dan saling terhubung tidak menggunakan paku, melainkan dengan sistem pasak.{{sfn|Esti Asih Nurdiah|2011|pp=40}}{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=110}}{{sfn|Republika.co.id|1 September 2014}}
Secara tradisional, bangunan di Minangkabau berbahan kayu dan menggunakan ijuk sebagai penutup atap. Kayu
Dalam pengamatan Marsden, daerah-daerah dekat [[Pesisir Barat Sumatra|pantai barat Sumatra]] sampai pengujung abad ke-18 merupakan area rawa-rawa yang sulit ditinggali. Kedatangan angin puting beliung dari laut dan gempa bumi menjadi tantangan di tempat seperti ini untuk mendirikan pemukiman. Pada awalnya, dusun atau perkampungan orang Minang terletak di dekat sungai dan danau karena fungsinya sebagai jalur pengangkutan hasil bumi. Dusun-dusun biasanya dibangun di daerah ketinggian.{{sfn|William Marsden|1810}} Namun, seiring masuknya intervensi Belanda, terutama pasca-[[Perang Padri]], daerah-daerah yang dulunya rawa-rawa, seperti [[Kota Padang|Padang]], menjadi pusat aktivitas sehingga menyebabkan banyak orang Minang turun ke pesisir. Memasuki abad ke-20, terjadi peralihan penggunaan bahan bangunan, seperti penggunaan batu bata dan kapur.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=25}}
|