Guinea Khatulistiwa: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 12:
Sejak pertengahan 1990-an, Guinea Khatulistiwa telah menjadi salah satu produsen minyak terbesar di [[sub-Sahara Afrika]].Dan merupakan adalah negara per kapita terkaya di Afrika,<ref>[http://www.indexmundi.com/g/r.aspx?c=mr&v=67 GDP – per capita (PPP) – Country Comparison]. Indexmundi.com. Retrieved on 5 May 2013.</ref> dan produk domestik bruto (PDB) disesuaikan dengan paritas daya beli (PPP) per kapita peringkat ke-43 di dunia;<ref>[https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/rankorder/2004rank.html GDP – per capita (PPP)], [[The World Factbook]], [[Central Intelligence Agency]].</ref> Namun, kekayaannya didistribusikan sangat tidak merata, dengan sedikit orang yang mendapat manfaat dari kekayaan minyak. Negara ini menempati urutan ke 135 pada Indeks Pembangunan Manusia 2016,<ref name="HDI" /> dengan kurang dari setengah populasi memiliki akses ke air minum bersih dan 20% anak-anak meninggal sebelum usia lima tahun.
 
Pemerintah Guinea Khatulistiwa adalah otoriter dan mempunyai salah satu catatan hak asasi manusia terburuk di dunia , secara konsisten berada di antara "terburuk dari yang terburuk" dalam survei tahunan Freedom House tentang hak-hak politik dan sipil.<ref>[https://wayback.archive-it.org/all/20110131191445/http://www.freedomhouse.org/uploads/special_report/88.pdf Worst of the Worst 2010. The World's Most Repressive Societies]. freedomhouse.org</ref> [[Reporter Without Borders]] menempatkan Presiden [[Teodoro Obiang Nguema Mbasogo]] sebagai "pemangsa" kebebasan persnya. <ref>[http://en.rsf.org/equatorial-guinea.html Equatorial Guinea – Reporters Without Borders] {{webarchive |url=https://web.archive.org/web/20101015033438/http://en.rsf.org/equatorial-guinea.html |date=15 October 2010 }}. En.rsf.org. Retrieved on 5 May 2013.</ref> Perdagangan manusia adalah masalah yang signifikan; Laporan US Trafficking in Persons 2012 menyatakan bahwa Guinea Khatulistiwa "adalah sumber dan tujuan bagi perempuan dan anak-anak yang menjadi sasaran kerja paksadan perdagangan seks paksa. "Laporan tersebut menilai Guinea Ekuatorial sebagai pemerintah yang" tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum dan tidak melakukan upaya signifikan untuk melakukannya."<ref>"Equatorial Guinea". [https://www.state.gov/j/tip/rls/tiprpt/2012/ ''Trafficking in Persons Report 2012'']. U.S. Department of State (19 June 2012). This source is in the public domain.</ref>
 
== Sejarah ==
Baris 22:
Pada 1778, [[Ratu Maria I]] dari [[Portugal]] dan [[Raja Charles III]] dari [[Spanyol]] menandatangani [[Perjanjian El Pardo]] yang berisi penyerahan [[Bioko]], pulau-pulau yang berdekatan, dan hak komersial ke [[Teluk Biafra]] antara [[sungai Niger]] dan [[sungai Ogoue]] ke [[Spanyol]]. Spanyol berusaha mendapatkan akses ke sumber budak yang dikendalikan oleh pedagang [[Inggris]]. Antara 1778 dan 1810, wilayah Guinea Khatulistiwa dikelola oleh [[Viceroyalty]] dari [[Río de la Plata]], yang berbasis di [[Buenos Aires]].
 
Dari tahun 1827 hingga 1843, [[Britania Raya]] memiliki basis di Bioko untuk mengendalikan perdagangan budak, <ref>"Fernando Po", Encyclopædia Britannica, 1911.</ref> yang dipindahkan ke [[Sierra Leone]] berdasarkan perjanjian dengan Spanyol pada tahun 1843. Pada tahun 1844, tentang pemulihan kedaulatan Spanyol, daerah tersebut dikenal sebagai "Territorios Españoles del Golfo de Guinea." Spanyol telah lalai menduduki wilayah yang luas di Teluk Biafra yang menjadi haknya berdasarkan perjanjian, dan Prancis sibuk memperluas pekerjaan mereka dengan mengorbankan wilayah yang diklaim oleh Spanyol. The perjanjian dari Paris pada tahun 1900 meninggalkan Spanyol dengan benua kantong dari Rio Muni, hanya 26.000 km 2dari 300.000 yang membentang ke timur ke sungai Ubangi yang awalnya diklaim orang Spanyol.<ref name=Clarence-Smith>Clarence-Smith, William Gervase (1986) [http://es.scribd.com/doc/63545279/The-Cambridge-History-of-Africa-Volume-7-From-1905-to-1940-0521225051-1986 "Spanish Equatorial Guinea, 1898–1940"] in ''The Cambridge History of Africa: From 1905 to 1940'' Ed. J. D. Fage, A. D. Roberts, & Roland Anthony Oliver. Cambridge: Cambridge University Press {{webarchive |url=https://web.archive.org/web/20140220142411/http://es.scribd.com/doc/63545279/The-Cambridge-History-of-Africa-Volume-7-From-1905-to-1940-0521225051-1986 |date=20 February 2014 }}</ref>
 
Perkebunan dari Fernando Po sebagian besar dijalankan oleh orang Creole, kemudian dikenal sebagai Fernandinos. Inggris menduduki pulau itu secara singkat pada awal abad ke-19, menempatkan sekitar 2.000 orang [[Sierra Leone]] dan membebaskan budak di sana. Imigrasi terbatas dari Afrika Barat dan Hindia Barat berlanjut setelah Inggris pergi. Untuk ini ditambahkan Kuba, Filipina dan Spanyol dari berbagai warna yang dideportasi karena kejahatan politik atau lainnya, serta beberapa pemukim dibantu.
Baris 33:
Kendala terbesar terhadap pembangunan ekonomi adalah kekurangan tenaga kerja yang kronis. Didorong ke pedalaman pulau dan hancur oleh kecanduan alkohol, penyakit kelamin, cacar, dan penyakit tidur, pribumi Bubi penduduk Bioko menolak untuk bekerja pada perkebunan. Bekerja di kebun kakao kecil mereka sendiri memberi mereka otonomi yang cukup besar.
 
Menjelang akhir abad ke-19, Bubi dilindungi dari tuntutan para penanam oleh misionaris Claretian Spanyol, yang sangat berpengaruh di koloni dan akhirnya mengorganisir Bubi ke dalam sedikit teokrasi misi yang mengingatkan pada pengurangan Yesuit yang terkenal di [[Paraguay]]. Penetrasi Katolik dilanjutkan oleh dua pemberontakan kecil pada tahun 1898 dan 1910 yang memprotes wajib militer atas kerja paksa untuk perkebunan. Bubi dilucuti pada tahun 1917, dan dibiarkan bergantung pada para misionaris.<ref name="Clarence-Smith" />
 
Antara 1926 dan 1959 Bioko dan Rio Muni dipersatukan sebagai koloni Guinea Spanyol . Ekonomi didasarkan pada perkebunan kakao dan kopi besar dan konsesi penebangan dan tenaga kerja sebagian besar adalah pekerja kontrak imigran dari Liberia, Nigeria, dan Cameroun.<ref>{{cite journal|author=Martino, Enrique|title=Clandestine Recruitment Networks in the Bight of Biafra: Fernando Pó's Answer to the Labour Question, 1926–1945|journal=International Review of Social History|volume=57|pages=39–72|url=http://www.opensourceguinea.org/2013/03/enrique-martino-clandestine-recruitment.html|doi=10.1017/s0020859012000417|year=2012}}</ref> Antara 1914 dan 1930, sekitar 10.000 warga Liberia pergi ke Fernando Po di bawah perjanjian perburuhan yang dihentikan sama sekali pada 1930.
Baris 39:
Karena tidak ada lagi pekerja Liberia, penanam Fernando Po beralih ke Rio Muni. Kampanye dipasang untuk menaklukkan orang- orang Fang pada 1920-an, pada saat Liberia mulai mengurangi perekrutan. Ada garnisun penjaga kolonial di seluruh kantong pada tahun 1926, dan seluruh koloni dianggap 'tenang' pada tahun 1929.<ref>{{Cite journal|doi=10.1080/14636204.2013.790703|title=La última selva de España: Antropófagos, misioneros y guardias civiles. Crónica de la conquista de los Fang de la Guinea Española, 1914–1930|journal=Journal of Spanish Cultural Studies|volume=13|issue=3|page=315|year=2012|last1=Castillo-Rodríguez|first1=S.}}</ref>
 
Rio Muni memiliki populasi kecil, secara resmi sedikit lebih dari 100.000 pada tahun 1930-an, dan melarikan diri melintasi perbatasan ke Cameroun atau Gabon sangat mudah. Juga, perusahaan kayu membutuhkan peningkatan jumlah pekerja, dan penyebaran penanaman kopi menawarkan cara alternatif untuk membayar pajak. Dengan demikian Fernando Pó terus menderita karena kekurangan tenaga kerja. Prancis hanya secara singkat mengizinkan perekrutan di Cameroun, dan sumber utama tenaga kerja adalah Igbo yang diselundupkan dengan sampan dari Calabar di Nigeria. Resolusi untuk kekurangan pekerja ini memungkinkan Fernando Pó menjadi salah satu daerah pertanian paling produktif di Afrika setelah [[Perang Dunia Kedua]].<ref name="Clarence-Smith" />
 
Secara politis, sejarah kolonial pasca-perang memiliki tiga fase yang cukup berbeda: hingga 1959, ketika statusnya dinaikkan dari 'kolonial' ke 'provinsi', mengikuti pendekatan Kekaisaran Portugis ; antara tahun 1960 dan 1968, ketika Madrid berupaya melakukan dekolonisasi parsial yang bertujuan menjaga wilayah itu sebagai bagian dari sistem Spanyol; dan sejak 1968, setelah wilayah itu menjadi republik merdeka . Fase pertama terdiri dari sedikit lebih dari kelanjutan dari kebijakan sebelumnya; ini sangat mirip dengan kebijakan Portugal dan Perancis, terutama dalam membagi penduduk menjadi mayoritas yang diperintah sebagai 'pribumi' atau non-warga negara, dan minoritas yang sangat kecil (bersama-sama dengan orang kulit putih) mengaku berstatus sipil sebagai emansipado ,asimilasi dengan budaya metropolitan menjadi satu-satunya cara kemajuan yang diizinkan.<ref>Crowder, Michael, ed. (1984) ''The Cambridge History of Africa: Volume 8, from C. 1940 to C. 1975''. Cambridge: Cambridge University Press, {{ISBN|0521224098}}.</ref>
 
Fase 'provinsi' melihat awal dari nasionalisme, tetapi terutama di kalangan kelompok-kelompok kecil yang berlindung dari Caudillo ' tangan ayah s di Kamerun dan Gabon. Mereka membentuk dua badan: Movimiento Nacional de Liberación de la Guinea (MONALIGE), dan Idea Popular de Guinea Ecuatorial (IPGE). Tekanan yang bisa mereka timbulkan lemah, tetapi tren umum di Afrika Barat tidak.