Tolotang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 4:
 
Sekitar 5000 warga di wilayah Amparita, Kabupaten Sidrap menganut kepercayaan yang sudah turun temurun. Karena pemerintah [[Indonesia]] hanya mengakui enam agama, selebihnya dikategorikan sebagai Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan penganut Tolotang tidak mau disebut sebagai aliran kepercayaan, mereka menggabungkan diri dengan [[Agama Hindu]]. Itulah sampai sekarang kepercayaan ini juga dikenal dengan nama Hindu Tolotang.<ref>[http://www.rappang.com/2009/12/la-panaungi-pendiri-toani-tolotang.html La panaungi, Pendiri Toani Tolotang] rappang.com</ref>
 
== Sejarah ==
Beberapa sumber menyebutkan bahwa pendiri Tolotang adalah La Panaungi. Penganut Tolotang ini mengenal adanya Tuhan dan mereka lebih mengenalnya dengan nama Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) yang bergelar PatotoE (Yang Menentukan Takdir). Jadi Tolotang tergolong bukan merupakan Animisme atau Dinamisme seperti yang sering digembar-gemborkan oleh orang-orang Bugis sendiri yang sudah percaya pada Agama lain, yang bukan lagi anggota dari komunitas Tolotang tersebut. Agama Tolotang adalah Agama yang sudah mengenal Tuhan sejak sebelum kedatangan Agama-agama Samawi di wilayah tersebut.
 
Ajaran Tolotang bertumpu pada lima keyakinan, yaitu:
* Percaya adanya Dewata SeuwaE, yaitu keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa.
* Percaya adanya hari kiamat yang menandai berakhirnya kehidupan di dunia.
* Percaya adanya hari kemudian, yakni dunia kedua setelah terjadinya kiamat
* Percaya adanya penerima wahyu dari Tuhan5. Percaya kepada Lontara sebagai kitab suci Penyembahan To Lotang kepada Dewata SeuwaE berupa penyembahan kepada batu-batuan, sumur dan kuburan nenek moyang.
 
Bisa diluruskan bahwa Menyembah kepada batu-batuan, sumur, dan kuburan nenek moyang, adalah satu bentuk arah sebagai sarana konsentrasi. Jadi hal ini hendaknya tidak membuat orang-orang luar menghakimi mereka bahwa Tolotang adalah Animisme maupun Dinamisme.
 
Dalam masyarakat Tolotang sendiri terdapat dua kelompok, yaitu Masyarakat Benteng (Orang Tolotang yang sudah pindah ke Agama Islam), dan Masyarakat To Wani To Lotang (Komunitas yang Masih Menganut Agama Tolotang). Kedua kelompok ini memiliki tradisi yang berbeda dalam beberapa prosesi ke-Agama-an, misalnya dalam prosesi kematian dan pesta pernikahan. Bagi Komunitas Benteng, tata cara prosesi pernikahan dan kematian sama seperti tata cara yang dilakukan dalam Agama Islam. Bagi Komunitas To Wani To Lotang, prosesi kematian, melalui prosesi memandikan jenazah yang kemudian membungkus dan melapisinya dengan menggunakan daun Sirih. Sedangkan untuk prosesi pernikahan Kelompok To Wani To Lotang. Mereka melaksanakannya di hadapan Uwatta, atau Pemimpin Ritual yang masih merupakan keturunan langsung dari pendiri To Wani To Lotang.
 
Bagi Masyarakat To Wani To Lotang, ritual Sipulung yang dilaksanakan sekali dalam setahun mengambil tempat di Perrynyameng yang merupakan lokasi kuburan I Pabbere. Kelengkapan ritual masyarakat To Wani To Lotang, mereka diwajibkan membawa sesajian berupa nasi dan lauk pauk, yang diyakini sebagai bekal di hari kemudian. Sehingga semakin banyak sesajian yang dibawa, akan semakin banyak pula bekal yang akan dinikmati di hari kemudian. Sementara bagi Kelompok Benteng, ritual Sipulung dilaksanakan di sumur PakkawaruE, dimana pada siang hari masyarakat berkumpul di kediaman Uwatta dan barulah pada malam harinya, mereka melaksanakan prosesi Sipulung. Prosesi Sipulung berupa pembacaan Lontara (Kitab Sucinya orang To Lotang ) oleh Uwatta, dimana masyarakat yang hadir pada saat itu memberikan daun Sirih dan Pinang kepada Uwatta.
 
Upacara Adat To Lotang dilakukan oleh masyarakat To Lotang yang dilaksanakan di Bulu (Gunung) Lowa, berada di poros Kota Pangakajene dengan Kota Soppeng, dan terletak di Amparita Kecamatan Tellu Limpoe. Daerah ini merupakan lokasi upacara adat Perrynyameng. Ritual tersebut dilakukan sekali setahun (Bulan Januari), dengan waktu pelaksanaan harus dimusyawarahkan oleh tokoh-tokoh (Uwa) Tolotang.
 
Ritual adat dilaksanakan karena adanya pesan dari I Pabbere. Apabila ia telah tiada, maka anak cucunya harus datang menziarahinya sekali setahun. Penyiraman minyak bau (berbau harum) oleh Uwa, atraksi Massempe (permainan adu kekuatan kaki), yang kini hanya dilakukan oleh anak-anak.
 
Semua pengikut sealiran dari berbagai desa maupun kota, berkumpul dengan Berpakaian Serba Putih-putih, Sarung dan Tutup Kepala, Untuk Para Laki-laki, Sedangkan Untuk Perempuan Mengenakan Pakaian Seperti Kebaya.
 
Pada saat ritual, mereka duduk bersila di atas tikar tradisional dengan penuh hikmat dan keheningan, serta konsentrasi pemusatan jiwa dan raga kepada Sang Pencipta (Dewata SeuwaE). Selanjutnya dilanjutkan dengan penyembahan oleh Uwatta, ditandai dengan penyiraman minyak bau (minyak berbau wangi-wangian) pada Batu Leluhur yang sangat disakralkan, kemudian dilanjutkan kegiatan Massempe.
 
== Referensi ==