Aluk Todolo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 94:
Terdapat dua versi mengenai sejarah masuknya Islam ke Tana Toraja. Versi pertama menyebutkan, Islam masuk lewat jalur perdagangan di wilayah Madandan, Kecamatan Saluputti, yang berada di sebelah barat Makale. Islam masuk lewat hubungan perdagangan dengan saudagar Bugis, yang memanfaatkan arah arus [[Sungai Madandan]], sebagai jalur perdagangan dari wilayah Selatan. Jejak tersebut dapat dilihat dengan ditemukannya sisa-sisa bangunan yang beralaskan tanah dengan ukuran 4x6 meter di daerah perbukitan sekitar Desa Madandan. Bangunan dengan kondisi setengah permanen dengan menggunakan bilah bambu sebagai dindingnya itu dipercaya menjadi lokasi pertama Masjid Madandan, masjid yang dipercaya oleh masyarakat sekitar menjadi masjid pertama dan tertua di Tana Toraja tersebut menjadi tempat [[salat]] para saudagar [[Suku Bugis|Bugis]].
 
Sementara versi kedua menyebutkan, diperkirakan Islam diperkirakanini masuk ke wilayah Toraja pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18. Hal ini dibuktikanditunjukkan dengan adanya sebuah makam tua di Sangalla, yang terletak sekitar 10 km dari Makale sebagai bukti. Di atas nisan makam itutersebut terdapat tulisan yang menggunakan huruf Arab. Meskipun tahun pembuatannya tidak dinyatakan secara jelas, makam itu diperkirakan milik saudagar atau pendatang dari Bugis yang meninggal dunia di Tana Toraja pada kurun waktu sekitar 300 tahun lalu. Suku Bugis, salah satu suku di Sulawesi Selatan selain Makassar dan Toraja, diperkirakan menjadi pionir atau pelopor kedatangan Islam di wilayah Tana Toraja. Hubungan mereka dengan masyarakat Tana Toraja terjalin lewat transaksi dagang yang diwujudkan dalam bentuk barter. Masyarakat pada saat itu belum mengenal uang sebagai media atau alat tukar. Hasil pertanian terkemuka masyarakat Tana Toraja seperti kopi ditukar dengan pakaian oleh para pedagang Bugis. Bahkan di saatketika timbul perang antara pasukan Toraja dan pasukan Bone yang saat itu bertujuan ingin menguasai Tana Toraja yangdi mana insiden tersebut kemudian dikenal dengan peristiwa Untulak Buntunna Bone, tidak hanya bahan pokok, tetapi senjata dan budak juga menjadi alat barter. Banyak warga Toraja yang dijadikan budak pada saat itu.
 
Namun simbiosis mutualisme yang timbul pada saat itu belum begitu membawa perubahan yang berarti. Masyarakat Tana Toraja mayoritas masih berpegang teguh pada adat istiadat dan kepercayaan Aluk Todolo yang merupakan ajaran warisan nenek moyang. Apalagi, hadirnya Islam sebagai salah satu kekuatan politik bagi kerajaan Bugis justru dipandang sebagai kekuatan agresor yang berusaha menguasai Tana Toraja. Hingga pada abad ke-19 ada salah seorang bangsawan Toraja yang memilih masuk Islam yang bergelar Puang Sondong atau Puang Pitu.
 
Penyebaran Islam di Tana Toraja kemudian lebih banyak dilakukan lewat perkawinan. Minimnya proses dakwah dan trauma sejarah terhadap Kerajaan Bone, yang kemudian diasosiasikan sebagai wujud Islam agresif, dimanfaatkan betul oleh penjajah [[Belanda]] saat itu. Ketika menginjakkan kaki pada tahun 1902, Belanda juga turut membawa kalangan misionaris dengan tujuan melakukan [[kristenisasi]] di wilayah Tana Toraja. Sekolah-sekolah didirikan dan guru-guru sekolahnya didatangkan dari [[Sangihe Talaud]] dan [[Ambon]]. Pada awalnya, proses penjajahan dan Kristenisasi itu tidak berjalan mulus sebagaimana mestinya. Masyarakat kemudian mengadakan perlawanan, termasuk diantaranya perlawanan bersenjata oleh Pong Tiku atau Ne'Baso, pahlawan nasional yang merupakan orang asli Toraja, untuk menghalau dan mengusir Belanda dari Tana Toraja dalam kurun waktu 1905 hingga 1907. Puncaknya, terjadi pembunuhan terhadap seorang misionaris Belanda bernama A.A. van de Loosdrecht pada 1917. Namun setelah menempuh cara melalui kekuatan senjata, proses Kristenisasi itu akhirnya bisa berjalan lebih cepat. Perlawanan perlahan-lahan mulai surut dan bisa diredam. Sikap adaptif dari kalangan penginjil terhadap nilai-nilai yang ada dalam Aluk Todolo memudahkan agama Kristen diterima masyarakat Toraja.
 
Begitulah gambaran hubungan yang dibina antara masyarakat Toraja yang masih menganut aluk todolo dengan agama lainnya yang masih bertahan hingga sekarang. Tongkonan menjadi lambang toleransi antar kepercayaan yang berbeda tersebut di dalam masyarakat Toraja.<ref>[http://arsip.gatra.com/2008-09-29/majalah/artikel.php?pil=23&id=119301 Gatra: Aluk Todolo Berdampingan dengan Islam dan Kristen]. 29 September 2008. Diakses 24 Maret 2019.</ref>