Organisasi Perdagangan Dunia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 185:
[[Berkas:Women at farmers rally against WTO, Bhopal, M.P., India, Nov 2005.jpg|jmpl|ka|200px|Para petani wanita di [[Bhopal]], [[India]], yang berdemo menentang WTO pada November 2005.]]
[[Berkas:WTO protesters on 7th Avenue, 1999 (37326739756).jpg|jmpl|ka|200px|Demonstrasi yang menolak WTO di [[Seattle]], [[Amerika Serikat]], pada tahun 1999.]]
Berkat GATT dan WTO, tarif dan hambatan-hambatan perdagangan lainnya telah dikurangi secara signifikan. Namun, janji bahwa perdagangan bebas akan melejitkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan pendapatan rakyat telah dipertanyakan.{{sfn|Joseph|2011|pp=164}} Sebagai contoh, [[El Salvador]] pada awal dasawarsa 1990-an menghapuskan semua hambatan kuantitatif terhadap impor dan juga memotong tarifnya. Namun, pertumbuhan ekonomi negara ini masih tetap lemah. Sementara itu, Vietnam baru mulai mereformasi ekonominya pada akhir dasawarsa 1980-an dan negara ini tidak terburu-buru untuk bergabung dengan WTO, tetapi malah memutuskan untuk mengikuti model [[reformasi ekonomi Tiongkok]] dengan melakukan liberalisasi secara perlahan. Walaupun ada faktor-faktor lain yang memengaruhi performa ekonomi kedua negara ini, Vietnam malah berhasil melejitkan pertumbuhan ekonominya dan menekan angka kemiskinan tanpa langsung menghapuskan hambatan perdagangan secara substansial.{{sfn|Rodrik|2007|pp=14}}{{sfn|Joseph|2011|pp=164-165}} Ekonom [[Ha-Joon Chang]] sendiri berpendapat bahwa terdapat sebuah "paradoks" dalam keyakinan [[neoliberalisme|neoliberal]] mengenai perdagangan bebas, karena pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang lebih tinggi dari tahun 1960 hingga 1980 daripada dari tahun 1980 hingga 2000 meskipun kebijakan dagangnya jauh lebih liberal daripada sebelumnya. Selain itu, terdapat pula hasil penelitian yang menunjukkan bahwa negara-negara baru aktif mengurangi hambatan perdagangan setelah menjadi negara kaya. Dari hasil penelitian ini, para pengkritik WTO berpendapat bahwa liberalisasi perdagangan tidak menjamin pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.{{sfn|Joseph|2011|pp=165}}
 
Para pengkritik WTO juga mengemukakan pandangan bahwa keuntungan yang diperoleh dari perdagangan bebas tidak terbagi secara merata. Kritik ini biasanya ditopang dengan data yang menunjukkan bahwa jurang antara yang kaya dan miskin terus melebar, terutama di [[Republik Rakyat Tiongkok]] dan [[India]] yang semakin bertambah ketimpangan ekonominya meskipun pertumbuhan ekonominya sangat tinggi.{{sfn|Joseph|2011|pp=166-167}} Selain itu, pendekatan WTO yang ingin mengurangi hambatan perdagangan dapat merugikan negara-negara berkembang. Dengan dihapuskannya tarif, negara kehilangan salah satu sumber pendapatannya.{{sfn|Joseph|2011|pp=170}} Liberalisasi perdagangan yang terlalu dini juga ditakutkan akan memerangkap negara berkembang di sektor primer yang tidak membutuhkan tenaga kerja yang terampil.{{sfn|Joseph|2011|pp=171}} Saat negara berkembang ingin memajukan ekonominya dengan cara industrialisasi, industri yang baru lahir tidak bisa serta merta langsung meroket begitu saja, sehingga sulit bersaing dengan negara lain yang industrinya lebih maju. Konon ekonom terkemuka [[Adam Smith]] pernah memberikan nasihat kepada pemerintah Amerika Serikat yang baru merdeka saat itu agar mereka fokus pada sektor pertanian daripada mencoba menyaingi Eropa yang industrinya lebih maju, tetapi Amerika Serikat tidak menggubrisnya dan malah memasang tarif yang tinggi untuk melindungi produsen Amerika. Setelah itu barulah Amerika Serikat menjadi salah satu negara dengan industri terkuat di dunia.{{sfn|Joseph|2011|pp=173}} Hal yang sama juga berlaku untuk [[Macan Asia Timur]], dan bahkan muncul dugaan bahwa jika [[Korea Selatan]] menghapuskan tarifnya sebelum ekonomi mereka tumbuh pesat, kemungkinan besar saat ini negara tersebut hanya akan menjadi negara miskin penghasil beras.{{sfn|Joseph|2011|pp=174}}