Masyarakat Hukum Adat Rongi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tag: Pembatalan |
||
Baris 3:
'''Masyarakat Hukum Adat Rongi''' atau disingkat menjadi MHA Rongi adalah sekelompok masyarakat yang hidup berdasarkan [[hukum adat]] dan memiliki ikatan kuat pada asal-usul leluhur di [[Kabupaten Buton Selatan]], [[Provinsi Sulawesi Tenggara]]. Sebagai kelompok masyarakat yang digolongkan Masyarakat Hukum Adat (MHA), hak-hak mereka juga dilindungi oleh [[konstitusi]], terutama terkait pemanfaatan dan penggunaan [[lahan]].
MHA Rongi bermukim di Desa [[Sandang Pangan]] yang kini telah dimekarkan menjadi Desa [[Hendea]] pada tahun 2010. Sebelumnya, wilayah administratif Desa Sandang Pangan terdiri dari dua golongan ''papara'', yaitu golongan ''papara'' dari ''kadie'' Rongi dan ''kadie'' Hendea. Setelah dimekarkan menjadi Desa Hendea, ''kadie'' Hendea secara otomatis menghuni Desa Hendea dan ''kadie'' Rongi menempati Desa Sandang Pangan. ''Kadie'' Rongi merupakan saudara tertua dari rumpun Lapandewa yang terdiri dari Rongi, Sempa-Sempa, Kaongkeongkea, Tambunalako, dan Kaindea. Semua turunan dari rumpun Lapandewa itu juga dikenal sebagai bagian dari etnis ''
</ref> Kelompok etnis tersebut, sebagaimana namanya, menggunakan bahasa ''
Dalam hal demografi, jumlah MHA Rongi yang mendiami Desa Sandang Pangan sebanyak 1.905 jiwa yang terdiri dari 797 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 1.108 jiwa berjenis kelamin perempuan. Menurut survei penduduk tahun 2014, jumlah tersebut dibagi ke dalam 184 kepala keluarga dan 397 kepala rumah tangga.<ref name=":1">Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton, “Kecamatan Sampolawa dalam Angka 2014”, Katalog BPS 1102001. 7401.070, CV. Kainawa Molagina, Baubau, 2014. </ref> Secara umum, mereka mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dengan bekerja di bidang [[pertanian]] dan [[perkebunan]]. Beberapa
Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rongi memegang aturan-aturan adat tertentu dalam menguasai atau memanfaatkan tanah dan [[Sumber daya alam|Sumber Daya Alam]] yang ada di [[desa]] mereka. Dalam hal mengatur tanah untuk permukiman, mereka membaginya menjadi dua bagian, yaitu tanah dalam benteng Rongi dan tanah di luar benteng Rongi. Permukiman yang berada di dalam benteng harus dijaga sebagaimana bentuk aslinya, siapa pun tidak diperbolehkan membuat bangunan permanen atau remanen dengan menggunakan [[semen]] atau [[beton]]. Sementara di luar benteng, anggota MHA Rongi diperkenankan membangun rumah dengan tetap memperhatikan etika-etika sosial seperti tidak menghalangi akses jalan orang lain dan menghalangi pencahayaan [[matahari]] untuk masuk ke rumah orang yang ada di sebelahnya. Mereka juga memperhatikan betul pemanfaatan tanah untuk bidang pertanian. MHA Rongi tidak menghendaki anggotanya mengelola lahan [[pertanian]] secara sendiri-sendiri, mereka harus melakukannya secara kolektif. Keberadaan ''Parabela'' amat menentukan komoditas [[pertanian]] apa yang hendak ditanam oleh MHA Rongi. Sebagai misal, ''Parabela'' menentukan bahwa musim ini mereka harus menanam [[jagung]]. Seluruh anggota MHA Rongi dengan demikian harus menanami lahan [[pertanian]] mereka dengan tanaman [[jagung]], tidak boleh ada yang menanaminya dengan komoditas yang berbeda. Lain halnya dengan tanah untuk perkebunan, MHA Rongi diperkenankan untuk menanami kebunnya dengan tanaman apa pun yang mereka kehendaki tanpa harus meminta izin kepada ''Parabela.'' Sementara itu, keberadaan hutan adat (hutan ''
Di samping aturan-aturan tersebut, MHA Rongi juga memiliki aturan adat tersendiri dalam hal pemanfaatan lahan oleh pihak di luar komunitas mereka. Mereka umumnya terbuka terkait pemberian kuasa pemanfaatan [[lahan]], baik kepada [[pemerintah]], swasta ([[perusahaan]]), dan masyarakat biasa. Namun demikian, ''Parabela'' yang merupakan pemimpin adat akan selalu memusyawarahkannya terlebih dahulu dengan seluruh perangkat adat terkait pemberian kuasa tersebut. Terkait hal-hal spesifik dalam penggunaan [[lahan]] yang ada, MHA Rongi juga mempertimbangkan untung-rugi bagi komunitas mereka, serta pemanfaatan [[lahan]] yang dirasa tidak bertentangan dengan kearifan lokal mereka.<ref name=":2" />melihat dari isi makalah ini tidak sesuai dengan kenyataan awal keberadaan lapandewa kaindea itu siapa
Baris 16:
Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rongi merupakan keturunan dari rumpun besar Lapandewa. Rumpun itu dikenal sebagai penduduk pertama yang membangun struktur sosial Kerajaan Wolio, cikal
[[Berkas:Meriam_Naga_MHA_Rongi_file.jpg|jmpl|400x400px|Meriam Naga yang diberikan oleh Dungkucangin kepada pemimpin rumpun Lapandewa sebagai tanda bergabungnya mereka ke Kerajaan Wolio]]
bakal berdirinya [[Kesultanan Buton]]. Dalam upaya penaklukan wilayah, Kerajaan Wolio selalu mengedepankan [[diplomasi]] daripada kekerasan fisik. Menurut penuturan perangkat adat Rongi, pada tahun 1275, Kerajaan Wolio mengirimkan seorang utusan bernama ''Dungkucangia'' yang meminta rumpun Lapandewa untuk bergabung dengan Kerajaan Wolio. Rumpun Lapandewa menyepakati tawaran tersebut dengan syarat mereka tetap dapat menjalankan [[hukum adat]] sebagaimana biasanya serta diberikan wewenang penuh untuk memilih pemimpin dari dalam kelompok mereka sendiri. Disetujuinya kesepakatan tersebut ditandai dengan penyerahan meriam naga oleh ''Dungkucangin'' kepada pemimpin rumpun Lapandewa saat itu, yaitu ''La'' ''
''La
Awalnya, masyarakat Rongi hidup membaur bersama anggota rumpun Lapandewa lainnya di sebuah [[perkampungan]] tua bernama ''Kabilangkao''. Perkampungan itu terletak di ''kadie'' Sempa-Sempa yang sekarang bernama Desa Sempa-Sempa. Akibat terlalu padatnya penduduk yang menghuni [[perkampungan]] itu, anggota rumpun Lapandewa kemudian membuka perkampungan baru yang kemudian terbagi menjadi lima ''kadie'' sesuai dengan kelompok mereka masing-masing. Setelah terjadi berbagai dinamika sosial, saat ini
=== Kependudukan ===
Jumlah warga MHA Rongi yang mendiami Desa Sandang Pangan menurut survei penduduk tahun 2014 sebanyak 1.905 jiwa yang terdiri dari 797 jiwa berjenis kelamin [[laki-laki]] dan 926 jiwa berjenis kelamin [[perempuan]]. Jumlah itu juga mencakup 184 kepala keluarga dan 397 kepala rumah tangga.<ref name=":1" /> Kelompok MHA Rongi adalah penghuni tunggal Desa Sandang Pangan yang sebelum tahun 2010 dihuni pula oleh ''Kadie'' Hendea. Setelah adanya program pemekaran wilayah, ''Kadie'' Hendea berpindah ke Desa Hendea dan Desa Sandang Pangan secara khusus ditempati oleh MHA Rongi.
Uniknya, MHA Rongi mempergunakan Bahasa Ciacia sebagai alat komunikasi sehari-harinya. Bahasa tersebut dituliskan dalam huruf
=== Sumber Mata Pencaharian ===
Sebagian besar MHA Rongi bekerja di bidang [[pertanian]] dan [[perkebunan]]. Sebagaimana nama “Rongi” yang mereka sandang, memberikan arti bahwa Rongi bermakna sebagai “orang yang memikul bakul” yang juga diartikan sebagai masyarakat [[petani]]. Komoditas pertanian yang umum ditanam oleh mereka adalah padi dan jagung. MHA Rongi menganggap komoditas [[pertanian]] yang mereka hasilkan dilarang keras untuk diperjualbelikan, terlebih lagi kepada orang-orang di luar komunitas mereka. Bahan makanan pokok tersebut mereka simpan di langit-langit rumah sebagai cadangan makanan sehari-hari. Namun demikian, seiring berkembangnya zaman, MHA Rongi tidak bisa lagi mengandalkan hidup dari sistem ekonomi subsisten semacam itu. Mereka tentu membutuhkan [[uang]] untuk biaya [[pendidikan]], [[kesehatan]], dan biaya-biaya lain yang menjadi kebutuhan dasar mereka. Untuk memperolehnya, mereka juga melakukan aktivitas berkebun. Komoditas dari hasil [[perkebunan]] dapat mereka jual kepada siapa pun, baik di dalam komunitas maupun di luar kelompok MHA Rongi. Pekerjaan berkebun dan bertani itu kini juga banyak melibatkan kaum perempuan Rongi, meskipun sebenarnya dalam aturan hukum adat Rongi, perempuan hanya boleh mengurusi masalah domestik (rumah tangga). Perubahan itu muncul karena beberapa lelaki Rongi kini juga bekerja di luar bidang [[pertanian]] dan [[perkebunan]], yaitu bekerja paruh waktu sebagai pemecah batu aspal di PT Metrix Elcipta dengan status pekerja tidak tetap. Dalam perkembangannya, anggota MHA Rongi juga banyak yang kini berprofesi sebagai [[pedagang]], pergi merantau ke [[Kota Baubau]], [[Ambon]], [[Makassar]], hingga ke [[Malaysia]]. Selain itu, beberapa anggota MHA Rongi juga ada yang mencari pendapatan sebagai guru, baik guru [[Sekolah dasar]] dan [[Sekolah menengah pertama]] yang ada di Desa Sandang Pangan. Sedangkan, bagi mereka yang melanjutkan pendidikan tinggi ke [[Kota Baubau]] dan [[Kota Kendari]], akan pulang kembali ke Desa Sandang Pangan ketika [[Hari Raya Idul Fitri]] dan pesta panen (''sampua galampa'') tiba. Dengan kata lain, sebagian besar anggota MHA Rongi mencari mata pencaharian sebagai petani dan pengebun, sementara sisanya adalah sebagai guru, pedagang, dan buruh tidak tetap.<ref name=":1" />
=== Kepercayaan ===
Baris 38:
=== Garis Keturunan dan Sistem Kekerabatan ===
Garis keturunan dalam struktur sosial MHA Rongi ditarik dari garis ibu atau [[perempuan]] ([[matrilineal]]). Para perempuan dalam adat Rongi juga dilarang untuk menikah dengan kelompok dari luar komunitas mereka, karena derajat orang di luar MHA Rongi dianggap lebih rendah. Hal itu menyebabkan mobilitas [[perempuan]] Rongi amat rendah, karena hanya menikah dengan [[laki-laki]] dari kampung yang sama. Berbeda dengan [[laki-laki]] Rongi, mereka diperbolehkan untuk menikah dengan [[perempuan]] yang derajatnya dianggap lebih rendah atau lebih tinggi daripada mereka. Namun demikian, MHA Rongi tetap tidak menghendaki [[pernikahan]] sedarah dengan sepupu, dua pupu, maupun tiga pupu. Mereka lebih menyukai pernikahan empat pupu.<ref name=":3" />
=== Kedudukan Perempuan ===
Pada umumnya, [[perempuan]] memiliki kedudukan yang istimewa dalam struktur sosial MHA Rongi. Namun, [[perempuan]] Rongi tidak memiliki kuasa untuk terpilih menjadi perangkat adat (''Parabela''). Hanya kelompok [[laki-laki]] dari komunitas Rongi yang dapat dipilih menjadi ''Parabela'' sekaligus kepala [[keluarga]]. Namun demikian, ketika [[laki-laki]] Rongi akan menjadi ''Parabela'', ia harus
== Wilayah Adat ==
Baris 54:
Terebentuknya batas-batas wilayah adat MHA Rongi tersebut tidak terlepas dari peran pemerintah [[Hindia Belanda]] yang pada tahun 1940-an membantu [[Kesultanan Buton]] untuk melakukan pemetaan mengenai batas-batas antara ''kadie'' di wilayah bekas kekuasaan [[Kesultanan Buton]] itu. Peta mengenai batas wilayah adat Rongi tersebut kini disimpan di Museum Kebudayaan Wolio<ref>{{Cite news|url=http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsulsel/2015/08/10/rumah-tradisional-kamali-sebagai-pusat-kebudayaan-wolio/|title=Rumah Tradisional Kamali Sebagai Pusat Kebudayaan Wolio - Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan|last=anggipurnamasari|date=2015-08-10|newspaper=Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan|language=en-US|access-date=2017-12-08}}</ref> di [[Kota Baubau]]. Sementara itu, dalam penentuan batas-batas wilayah adat, ''Parabela'' dari setiap ''kadie'' pada waktu itu melakukan kesepakatan dan mengucapkan sumpah di depan Raja Buton. Peristiwa tersebut menjadi tanda bagi disepakatinya batas-batas wilayah adat MHA Rongi dan masing-masing ''kadie'' tidak diperkenankan untuk melanggar kesepakatan tersebut.
Dalam perkembangannya, terjadi [[konflik]] antara penduduk yang tinggal di Desa Sandang Pangan (tempat tinggal MHA Rongi) dengan penduduk yang tinggal di Desa Hendea. Konflik tersebut berkaitan dengan perbedaan batas wilayah adat yang disepakati oleh ''
</ref> Menurut versi [[pemerintah]], batas wilayah Desa Sandang Pangan adalah sebagai berikut:<ref>Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton. Diakses melalui https://butonkab.bps.go.id</ref>
|