Al-Munir (majalah): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
OrophinBot (bicara | kontrib)
Baris 4:
 
== Sejarah ==
Pada tahun 1906, muncul majalah ''Al-Imam'' di Singapura di bawah asuhan [[Tahir Jalaluddin Al-Azhari]]. Majalah ini dalam sejarahnya mempunyai keterkaitan yang erat dengan ''Al-Urwatul Wusqa'', majalah yang diterbitkan oleh [[Jamal-al-Din Afghani]] dan [[Muhammad Abduh]] di Paris, Prancis.{{sfn|Luthfi Assyaukanie|2009|pp=38}} Majalah ini tersebar luas di Semenanjung Malaya dan Pulau SumateraSumatra. Salah satu daerah yang mendapat pengaruh paling kuat dari penerbitan ''Al-Imam'' adalah Minangkabau.{{sfn|Burhanuddin Daya|1990|pp=117}}
 
Setelah penerbitan ''Al-Imam'' terhenti pada tahun 1909, delegasi Minangkabau [[Abdullah Ahmad]] segera menemui pimpinan majalah ''Al-Imam'' di Singapura. Dalam kunjungannya, Abdullah Ahmad menyampaikan maksud untuk menerbitkan majalah dengan visi dan misi dakwah yang sama.{{sfn|Hamka|1962|pp=99-100}} Pulang dari kunjungan ke Singapura, Abdullah Ahmad dengan dukungan para pedagang lokal mulai merintis penerbitan ''Al-Munir'' di Padang.{{sfn|Yudi Latif|2005|pp=181}}
Baris 13:
''Al-Munir'' menyatakan maksud berdirinya saat terbit edisi perdana pada awal bulan April 1911, tertanggal 1 Rabiulakhir 1329 Hijriyah.{{sfn|Masoed Abidin|2005|pp=295}} Menurut [[Masoed Abidin]] dalam ''Ensiklopedi Minangkabau'', tujuan penerbitan majalah ''Al-Munir'' dapat terlihat dari namanya yang berarti lilin atau suluh.{{sfn|Masoed Abidin|2005|pp=295}} Majalah ini terbit setiap hari Sabtu, pada awal dan pertengahan bulan dalam [[Kalender Hijriyah|kalender Islam]].{{sfn|Gusti Asnan|200|pp=167}} Sebagian besar edisinya berjumlah 16 halaman. Tulisan dalam ''Al-Munir'' menggunakan tulisan Arab-Melayu, sebagaimana pada awal abad ke-20 sebagian masyarakat Minang masih banyak yang hanya pandai menulis dan membaca tulisan Arab-Melayu. Namun, ejaan yang digunakan mengikuti standar ejaan yang dipakai pada sekolah-sekolah pemerintah kolonial.<ref>''Al-Munir''. No. 1/1911.</ref>
 
Untuk mendistribusikan majalah dan memungut uang langganannya, ''Al-Munir'' mempunyai 31 agen di berbagai daerah yang tersebar di SumateraSumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaya.{{sfn|Syamsuri Ali|1997|pp=193}} Faktor penyebab luasnya penyebaran majalah ini adalah karena memanfaatkan jaringan penyebaran majalah ''Al-Imam'' yang sudah berhenti penerbitannya.{{sfn|Syamsuri Ali|1997|pp=193-194}} Sejak penerbitan pertama, ''Al-Munir'' telah didistribusikan kepada pembaca di seluruh daerah SumateraSumatra, Jawa dan Semenajung Malaya.<ref>''Al-Munir''. No. 3/1912.</ref> Namun, dalam perkembangan selanjutnya terjadi penambahan dan perkembangan jumlah pembaca seperti ke [[Sulawesi]] dan [[Kalimantan]].{{sfn|Yusuf Abdullah Puar|1989|pp=83}}{{sfn|Marthias Dusky Pandoe|2001|pp=296}}
 
Dari segi isi, ''Al-Munir'' memiliki beberapa kesamaan dengan ''Al-Imam''. Banyak masalah-masalah yang sudah dimuat dalam ''Al-Imam'' kembali dimuat dalam ''Al-Munir''.{{sfn|Deliar Noer|1982|pp=43}} Isi majalah ''Al-Munir'' secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian; tajuk rencana, surat kiriman, tanya jawab, dan berita dalam/luar negeri. Selain itu, terdapat pula ruangan terjemahan dari majalah-majalah [[Timur Tengah]] seperti ''[[Al-Manar (jurnal)|Al-Manar]]'' dan ''Al-Ahram''. Artikel-artikel yang ditulis dan jawaban-jawaban terhadap surat-surat pembaca banyak berkenaan dengan masalah-masalah fikih dan akidah. Selain mengargumentasikan kesesuaian Islam dengan sains dan rasionalitas modern, ''Al-Munir'' giat menyerukan kepada umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam yang murni dengan menghapuskan taqlid dan menentang praktik [[bidah|bi'dah]], [[khurafat]], dan [[tarekat]] yang ekstatik.{{sfn|Yudi Latif|2005|pp=182}}{{sfn|Luthfi Assyaukanie|2009|pp=38}}
Baris 22:
''Al-Munir'' berhenti terbit pada tahun 1915.{{sfn|Burhanuddin Daya|1990|pp=119}} Pada edisi terakhir tertanggal 15 Rabiulawal 1333 <small><nowiki>[</nowiki>Kalender Masehi: 31 Januari 1915<nowiki>]</nowiki></small> ditampilkan karangan perpisahan dengan judul "Khatama". Dalam karangan itu dinyatakan bahwa "''Al-Munir'' tak dapat dilanjutkan lagi. Namun, kepada pembaca dan masyarakat Islam dianjurkan agar terus menambah ilmunya dengan rajin membaca."{{sfn|Rusydi Hamka|1986|pp=72}} Terhentinya penerbitan majalah ini ditenggarai akibat kekurangan dana. Pada edisi-edisi terkahir berkali-kali dimuat pengumuman kepada agen-agen dan langganan agar mengirimkan uang langganannya. Selain itu, para ulama yang mengelola majalah ini sama sekali tidak mempunyai latar belakang sebagai pedagang. Penerbitan pada waktu itu diadakan hanya untuk tujuan dakwah, tanpa dibarengi kemampuan bisnis dan profesionalitas.{{sfn|Ensiklopedia Islam|2002}}
 
Tiga tahun setelah berakhirnya ''Al-Munir'', atas usulan [[Abdul Karim Amrullah]], [[SumateraSumatra Thawalib]] menerbitkan majalah dengan nama ''Al-Munir Al-Manar'' di [[Padang Panjang]] pada tahun 1918.{{sfn|Gusti Asnan|200|pp=167}} Majalah ini dipimpin oleh cendekiawan Muslim [[Zainuddin Labay El Yunusi]], yang merupakan kakak dari [[Rahmah El Yunusiyyah]]. Namun, majalah ini hanya bertahan selama enam tahun. Penerbitan ''Al-Munir Al-Manar'' terhenti setelah kematian Zainuddin Labay El Yunusi pada tahun 1924.{{sfn|Mochtar Effendy|2001|pp=411}} Meski begitu, ''Al-Munir Al-Manar'' kerap disebut sebagai kelanjutan majalah ''Al-Munir''.{{sfn|Yusuf Abdullah Puar|1989|pp=83}} Sama dengan ''Al-Munir'', majalah ini terbit dua kali sebulan, pada awal dan pertengahan bulan.
 
== Penerimaan ==
Meskipun oplah ''Al-Munir'' tidak lebih dari 2.000 eksemplar, majalah ini beredar luas di sejumlah kawasan di SumateraSumatra, Semenanjung Malaya, dan Jawa. Namun, di Minangkabau sendiri, keberadaan majalah ini menimbulkan rekasi pro dan kontra.
 
Setelah kehadiran ''Al-Munir'', segera muncul majalah-majalah dengan semangat yang sama di kawasan [[Minangkabau]], seperti ''Al-Akbar'' yang berbasis di [[Adabiyah School]]. Jaringan [[SumateraSumatra Thawalib]] di berbagai daerah menerbitkan majalah yang diedarkan terbatas, seperti ''Al-Bayan'' di [[Parabek]], ''Al-Basyir'' di [[Sungayang]], ''Al-Ittiqan'' di [[Maninjau]], dan ''Al-Imam'' di [[Padang Japang]].{{sfn|Junus|1980|pp=82}} Begitu pula kalangan ulama konservatif, yang belakangan dijuluki Kaum Tua, menerbitkan majalah tandingan, seperti ''Suluh Malayu'' di bawah pimpinan [[Syekh Khatib Ali]], dan ''Al-Mizan'' di bawah pimpinan Haji Abdul Majid dan Hasan Basri.{{sfn|Rusydi Hamka|1986|pp=72}}
 
Pada tahun 1916, Abdullah Ahmad bekerja sama dengan [[Sarekat Islam|Ketua Sarekat Islam]] [[Oemar Said Tjokroaminoto|Tjokroaminoto]] untuk mendirikan majalah ''Al-Islam'' di [[Surabaya]].{{sfn|Abuddin Nata|2005|pp=15}} Majalah ini menandai dimulainya penerimaan kaum Muslim Nusantara terhadap penggunaan huruf Latin, selain tetap menggunakan huruf Jawi.{{sfn|Laffan|2003|pp=178}}{{sfn|Yudi Latif|2005|pp=182}}
Baris 70:
[[Kategori:Majalah Islam]]
[[Kategori:Islam di Indonesia]]
[[Kategori:Pers di SumateraSumatra Barat]]