Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Membatalkan suntingan berniat baik oleh Iyan Nursyahram (bicara): Tanpa sumber. (Twinkle ⛔)
Tag: Pembatalan
Baris 20:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Gouverneur Bijleveld heft het glas met Sultan Hamengkoe Boewono VIII tijdens een bezoek aan de kraton in Jogjakarta TMnr 60023722.jpg|jmpl|240px|ka|Sultan Hamengkubuwono VIII menerima kunjungan kehormatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Bijleveld di Keraton Yogyakarta, sekitar tahun 1937.]]
 
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh [[Pangeran Mangkubumi|Sultan Hamengku Buwono I]] beberapa bulan pasca [[Perjanjian Giyanti]] pada tahun [[1755]]. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan<ref>''Pesanggrahan'' bermakna 'istana kecil' atau 'vila'</ref> yang bernama ''Garjitawati''. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di [[Imogiri]]. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, ''Umbul Pacethokan'', yang ada di tengah hutan BeringinBeringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di ''Pesanggrahan Ambar Ketawang'' yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten [[Sleman]]<ref>Sultan Hamengku Buwono I pindah dari Pesanggrahan Ambar Ketawang ke Keraton Yogyakarta pada 7 Oktober 1756. Tanggal ini kemudian dijadikan tanggal berdirinya Kota Yogyakarta.</ref>.
 
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil LorLer (Balairung Utara), Kamandhungan LorLer (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan)<ref>Murdani Hadiatmadja. Tulisan ini selain menggunakan bahan referensi yang diterbitkan juga menggunakan cerita-cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat.</ref><ref>Penamaan kompleks/bagian dari Keraton Yogyakarta, begitu pula dengan bangunan maupun lain-lain yang terkait, sengaja menggunakan bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan nama-nama tersebut merupakan suatu kesatuan makna. Untuk terjemahan dalam bahasa Indonesia, apabila ada/memungkinkan, akan diberikan di dalam tanda kurung (…). Terjemahan hanya dilakukan sekali saat bagian, gedung, atau yang lain disebutkan untuk pertama kalinya. Untuk seterusnya tidak diberikan keterangan mengingat keterbatasan tempat.</ref>. Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. danDan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu [[Situs Warisan Dunia UNESCO]].
 
== Tata ruang dan arsitek ==
Baris 32:
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain.
 
Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan keraton juga memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di Dalem Mangkubumen). Di sekeliling Keraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan keraton antara lain Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, DalemnDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar Beringharjo.
 
=== Arsitektur umum ===
Baris 78:
=== Kompleks Pagelaran ===
[[Berkas:Kraton Yogyakarta Pagelaran.jpg|jmpl|240px|Pagelaran Keraton Yogyakarta di depan kompleks keraton menghadap utara ke arah Alun-alun Lor]]
Bangunan utama adalah ''Bangsal Pagelaran'' yang dahulu dikenal dengan nama ''Tratag Rambat''<ref>Dahulu Tratag Pagelaran merupakan kanopi dari anyaman bambu. Sultan HB VIII membuatnya menjadi sebuah bangsal yang besar pada 1934.</ref>. Pada zamannya Pagelaran merupakan tempat para penggawa kesultanan menghadap Sultan pada upacara resmi. Sekarang sering digunakan untuk even-even pariwisata, religi, dan lain-lain disamping untuk upacara adat keraton. Sepasang ''Bangsal Pemandengan''<ref>Digunakan sebagaiterletak tempatdi duduksisi bagijauh Sultansebelah sertatimur Panglimadan Perang,barat ketikaPagelaran. menyaksikanDahulu jalannyatempat latihanini perangdigunakan paraoleh prajuritnya</ref>Sultan terletakuntuk dimenyaksikan sisilatihan jauhperang sebelahdi timurAlun-alun dan barat PagelaranLor.
 
Sepasang ''Bangsal Pasewakan/Pengapit'' terletak tepat di sisi luar sayap timur dan barat Pagelaran. Dahulu digunakan para panglima Kesultanan menerima perintah dari Sultan atau menunggu giliran melapor kepada dia kemudian juga digunakan sebagai tempat jaga Bupati Anom Jaba<ref>Nama/jenis kelompok pegawai Kesultanan Yogyakarta</ref>. Sekarang digunakan untuk kepentingan pariwisata (semacam diorama yang menggambarkan prosesi adat, prajurit keraton dan lainnya). ''Bangsal Pengrawit'' yang terletak di dalam sayap timur bagian selatan Tratag Pagelaran dahulu digunakan oleh Sultan untuk melantik Pepatih Dalem. Saat ini di sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan relief perjuangan [[Hamengkubuwono I|Sultan HB I]] dan [[Hamengkubuwono IX|Sultan HB IX]]. Kompleks Pagelaran ini pernah digunakan oleh [[Universitas Gadjah Mada]] sebelum memiliki kampus di ''Bulak Sumur''.<ref>Sebagian besar bagian ini merujuk pada Murdani Hadiatmadja dan Bangunan Keraton Kasultanan Yogyakarta (Pranala luar)</ref>.
 
=== Siti Hinggil LorLer ===
 
Di selatan kompleks Pagelaran terdapat Kompleks Siti Hinggil. Kompleks Siti Hinggil secara tradisi digunakan untuk menyelenggarakan upacara-upacara resmi kerajaan. Di tempat ini pada [[19 Desember]] [[1949]] digunakan peresmian [[Universitas Gadjah Mada]]. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya dengan dua jenjang untuk naik berada di sisi utara dan selatan. Di antara Pagelaran dan Siti Hinggil ditanami deretan pohon '''Gayam''' (''Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus''; famili ''Papilionaceae'').
Baris 88:
Di kanan dan kiri ujung bawah jenjang utara Siti Hinggil terdapat dua ''Bangsal Pacikeran'' yang digunakan oleh ''abdi-Dalem Mertolulut'' dan ''Singonegoro''<ref>abdi-Dalem Mertolulut dan abdi-Dalem Singonegoro adalah kelompok pegawai kerajaan yang bertugas sebagai algojo/eksekutor putusan hakim pengadilan kerajaan.</ref> sampai sekitar tahun [[1926]]. Pacikeran barasal dari kata ''ciker'' yang berarti tangan yang putus. Bangunan ''Tarub Agung'' terletak tepat di ujung atas jenjang utara. Bangunan ini berbentuk kanopi persegi dengan empat tiang, tempat para pembesar transit menunggu rombongannya masuk ke bagian dalam istana. Di timur laut dan barat laut Tarub Agung terdapat ''Bangsal Kori''. Di tempat ini dahulu bertugas ''abdi-Dalem Kori'' dan ''abdi-Dalem Jaksa'' yang fungsinya untuk menyampaikan permohonan maupun pengaduan rakyat kepada Sultan.
 
''Bangsal Manguntur Tangkil'' terletak di tengah-tengah Siti Hinggil di bawah atau di dalam sebuah hall besar terbuka yang disebut ''Tratag Sitihinggil''<ref>Dahulu Tratag Siti Hinggil merupakan kanopi dari anyaman bambu. Sultan HB VIII membuatnya menjadi sebuah bangsal yang megah pada 1926.</ref>. Bangunan ini adalah tempat Sultan duduk di atas singgasananya pada saat acara-acara resmi kerajaan seperti pelantikan Sultan dan Pisowanan Agung. Di bangsal ini pula pada [[17 Desember]] [[1949]] [[Ir. Soekarno]] dilantik menjadi [[Presiden]] [[Republik Indonesia Serikat]]. ''Bangsal Witono''<ref>Digunakan untuk menempatkan pusaka-pusaka utama Kraton.</ref> berdiri di selatan Manguntur Tangkil. Lantai utama bangsal yang lebih besar dari Manguntur Tangkil ini dibuat lebih tinggi. Bangunan ini digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan atau pusaka kerajaan pada saat acara resmi kerajaan<ref>Kedua bangsal ini direnovasi oleh Sultan HB VIII pada 1925.</ref>.
 
''Bale Bang'' yang terletak di sebelah timur Tratag Siti Hinggil pada zaman dahulu digunakan untuk menyimpan perangkat Gamelan Sekati, ''KK<ref>KK singkatan dari Kangjeng Kyai, suatu derajat gelar bagi pusaka kerajaan. Untuk lebih jelasnya silakan lihat bagian pusaka kerajaan dibagian lain halaman ini.</ref> Guntur Madu'' dan ''KK Naga Wilaga''. ''Bale Angun-angun'' yang terletak di sebelah barat Tratag Siti Hinggil pada zamannya merupakan tempat menyimpan tombak, ''KK Suro Angun-angun''.
Baris 94:
=== Kamandhungan Lor ===
 
Di selatan Siti Hinggil terdapat lorong yang membujur ke arah timur-barat. Dinding selatan lorong merupakan dinding Cepuri dan terdapat sebuah gerbang besar, ''Regol Brojonolo''<ref>Terletak di selatan halaman Siti Hinggil</ref>, sebagai penghubung Siti Hinggil Lor dengan ''Kamandhungan Lor''. Di sebelah timur dan barat sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini hanya dibuka pada saat acara resmi kerajaan dan pada hari-hari lain selalu dalam keadaan tertutup. Untuk masuk ke kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks dalam Keraton sehari-hari melalui pintu ''Gapura Keben'' di sisi timur dan barat kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu ke jalan ''Kemitbumen'' dan ''Rotowijayan''.
 
Kompleks Kamandhungan Ler sering disebut ''Keben'' karena di halamannya ditanami pohon '''Keben''' (''Barringtonia asiatica''; famili ''Lecythidaceae''). ''Bangsal Ponconiti'' yang berada di tengah-tengah halaman merupakan bangunan utama di kompleks ini. Dahulu (kira-kira sampai [[1812]]) bangsal ini digunakan untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati dengan Sultan sendiri yang yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan digunakan untuk mengadili semua perkara yang berhubungan dengan keluarga kerajaan. Kini bangsal ini digunakan dalam acara adat seperti garebeg dan sekaten. Di selatan bangsal Ponconiti terdapat kanopi besar untuk menurunkan para tamu dari kendaraan mereka yang dinamakan ''Bale Antiwahana''. Selain kedua bangunan tersebut terdapat beberapa bangunan lainnya di tempat ini.<ref>Murdani Hadiatmadja, Chamamah et. al., Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media), dan on location.</ref>