Diaspora Jawa di Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
Vinka-chan (bicara | kontrib)
memerbaiki kalimat tidak efektif
Baris 1:
{{referensi}}
 
'''Suku Jawa di Aceh''' adalah [[suku Jawa]] yang tinggal di provinsi [[Aceh]], orang Jawa juga menyebut orang jawa di aceh dengan Jawa Sabrang Lor (jawa sebrang utara) diambil dari julukan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor karena meninggal saat bertempur bersama pasukan [[Kesultanan Aceh]] melawan portugis[[Portugal|Portugis]] di [[Melaka|Malaka]], sebutan yang serupa juga dilabelkan kepada suku jawaJawa di Sumatra Utara dengan Jawa Deli. Sebagian dari mereka telah bercampur dengan suku asli yang ada di Aceh baik dari garis nenek, kakek, bapak, atau dari garis keturunan ibu. dan sebagianSebagian lagi masih memiliki keturunan asli. Dari segi bahasa, [[bahasa Jawa]] masih dianggap salah satu dialek dari [[bahasa Jawa]] ''ngoko'' yang telah bercampur dengan bahasa-bahasa setempat sehingga tidak sama persis dengan bahasa [[Jawa]] ngoko di Jawa, walaupun keduanya masih bisa saling memahami. Tidak seperti masyarakat Jawa pada umumnya suku Jawa di Aceh sudah tidak mengenal tingkatan bahasa (undhak-unduk basa), namuntetapi registerterdapat tersebut adaperbedaan pada intonasi suaranya.
 
== Masa kesultanan ==
Kerjasama dan perpindahan penduduk secara tradisional sebelum kerajaan [[Sriwijaya]] dan [[Majapahit]] tidak banyak sumber yang didapatkan. Namun, Padapada tahun [[1511]], [[Portugis]] berkuasa di [[Malaka]]. Kerajaan [[Demak]] yang dipimpin [[Raden Patah]] mengirimkan pasukannya untuk mengusir [[Portugis]]. Pasukan Demak itu dipimpin oleh [[Pati Unus]]. Ia dibantu oleh armada dari [[Aceh]]. Usaha mengusir [[Portugis]] di [[Malaka]] ini gagal karena kalah persenjataan dan kekuatan pasukan, kekalahan ini menguras banyak persediaan , kapal banyak yang mengalami kerusakan serta banyaknya pasukan yang terluka, sebagai kamp pasukan terdekat, [[Aceh]] menjadi tempat persinggahan untuk memulihkan kekuatan dan banyak dari pasukan [[Demak]] tidak kembali ke [[Jawa]] dan mendirikan perkampungan seperti [[Gampong Jawa, Kuta Raja, Banda Aceh|Gampong Jawa]] di [[Banda Aceh]] dan lainnya terutama di pesisir utara dan tengah Aceh seperti [[Aceh Besar]], [[Bireuen]], [[Bener Meriah]], [[Aceh Tengah]], [[Lhokseumawe]], [[Aceh Utara]], [[Langsa]], [[Aceh Timur]], dan [[Aceh Tamiang]]. Hal ini dibuktikan banyak kampung Jawa sudah berdiri sebelum adanya program [[transmigrasi]] tahun 1964.
 
=== Masa penjajahan ===
Berawal dari penakhlukanpenaklukan Sultan [[Iskandar Muda]] terhadap Kota [[Medan]] pada sekitar tahun 1612 M, bahwa juga diceritakan Sultanbahwa Iskandar MudaIa mendirikan kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Percut, Sigara-gara, Kota Rengas dan Kota Jawa yang ikut membuka kran perpindahan penduduk dari tanah Deli ke Aceh. Aceh sebagai daerah terakhir yang bisa ditaklukan penjajah yang diduduki secara de jure sejak Sultan Muhammad Dawud akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda tahun 1903. Akhirnya, dan akhirnya Kesultanan Aceh runtuh tahun 1904, dan menjadi tempat pelarian yang aman oleh banyak pekerja paksa dari Deli yang sudah diduduki Belanda terlebih dulu.
 
Pasca runtuhnya [[Kesultanan Aceh]] tahun 1904, [[Belanda]] mulai mendirikan perkebunan seperti perkebunan [[kopi]], [[tebu]] dan [[teh]] di Aceh yang banyak mendatangkan pekerja dari Jawa dan kebanyakan dari keturunannya masih menetap sampai sekarang dan dilanjutkan kemudian oleh penjajahan [[Jepang]] yang juga mendatangkan pekerja dari Jawa.
 
=== Setelah kemerdekaan ===
Program transmigrasi di Aceh yang pada 1964 dimulai dengan menempatkan 100 KK warga transmigran di Blang Peutek, [[Padang Tiji, Pidie|Padang Tiji]], [[Kabupaten Pidie]]. Namun, warga transmigran di kawasan kaki [[Gunung Seulawah Agam]] itu tidak bertahan lama. IniHal disebabkan,tersebut karena setahun kemudian, 1965, terjadi tragedi nasional dengandikarenakan meletusnya peristiwa G-30-S/PKI di Indonesia setahun setelahnya. Program transmigrasi di Pidie itu pun bubar. Lalu, sejumlah warga transmigran di situ meninggalkan UPT Blang Peutek, dan mereka pun eksodus dan mencari penghidupan baru di Saree, [[Aceh Besar]]. Sebagian di antaranya bahkan bekerja di PT Socfindo di Aceh Barat. Dan, sebagian lagi berpindah ke [[Sigli]].
 
Transmigrasi di Aceh, setelah Blang Peutek, tidak lantas berhenti. Pada 1973 pembukaan kawasan baru pun dirintis di [[Aceh Utara]]. Lalu, pada tahun 1975/1976 program transmigrasi kembali hadir di Aceh dengan ditempatkan 300 KK warga transmigran di [[Cot Girek, Aceh Utara|Cot Girek]] yang hampir bersamaan bilangan tahunnya dengan penempatanan petani [[tebu]] di [[Silih Nara, Aceh Tengah|Silih Nara]] dan karyawan Pabrik Gula Mini (PGM) Silih Nara yang didatangkan pekerja dari Pulau Jawa.
 
KetransmigrasianTransmigrasi di Aceh telah memacumemicu lahirnya sentraberbagai sentra produksi dan sentra ekonomi baru. Ini adalah dampak positif akibatdari keterpaduan pembangunan multisektor di sebuah daerah. Lahirnya kawasan ekonomi Patek (Aceh Jaya), [[Kota Jantho, Aceh Besar|Janthoe]] (Aceh Besar), Jagong Jeget (Aceh Tengah), Trumon (Aceh Selatan), [[Peunaron, Aceh Timur|Peunaron]] (Aceh Timur), Subulussalam, dan lainnya.
 
== Penyebaran ==