Jabariyah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 5:
 
Keyakinan Jabariyah bertolak belakang dengan keyakinan [[Qadariyah]] namun keduanya dikatakan menyimpang dari akidah [[Ahlussunnah]] yang berada dipertengahan, karena menurut akidah Ahlussunnah mengenai takdir bahwa setiap manusia memiliki pilihan dan kebebasan dalam menentukan kehendak, manusia diperintahkan untuk berusaha yakni diperintah berbuat baik dan dilarang berbuat kejahatan, dijanjikan pahala atau diancam siksa atas konsekuensi dari perbuatannya, sementara apapun yang akan dilakukannya sudah ditetapkan (telah tertulis) [[Lauh al-Mahfuzh|dalam takdirnya]], yang mana setiap makhluk tidak pernah mengetahui bagaimana takdirnya (baik atau buruk) kecuali setelah terjadinya (berlakunya) takdir itu.
 
== Sejarah Kemunculan ==
Ada seorang bernama Jaham bin Safwan, berasal dari Khurasan. Mulanya ia menjadi jurutulis dari seorang pemimpin bernama Harits bin Sureih yang memberontak terhadap kerajaan Bani Umayyah di Khurasan. Kemudian nama Jaham bin Safwan menjadi terkenal karena ia adalah seorang yang sangat sungguh dan rajin bertabligh, menyeru manusia kepada jalan Allah dan berbakti kepada-Nya. Tetapi ada satu fatwanya yang keliru, yang bertentangan dengan ulama-ulama Islam yang lain, yaitu fatwa yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai daya dan upaya, tidak ada ikhtiar dan tidak ada kasab. Sekalian perbuatan manusia itu hanya terpaksa di luar kemauannya, sebagai keadaan bulu ayam yang diterbangkan angin di udara atau sebagai sepotong kayu di tengah lautan yang dihempaskan ombak ke sana ke mari.
 
Madzhabnya ini dinamai madzhab Jabariyah, yakni madzhab orang-orang yang berpaham tidak ada ikhtiar bagi manusia. I'tiqadnya pada mulanya hampir sama dengan i'tiqad kaum ahlussunnah wal jamaah, yakni berpendapat bahwa sekalian yang terjadi dalam alam ini pada hakikatnya dijadikan Tuhan, tetapi kaum Jabariyah ini sangat radikal, sehingga menganggap bahwa meninggalkan shalat atau berbuat kejahatan semuanya tidak apa-apa, karena hal itu dijadikan oleh Tuhan.<ref>Siradjuddin Abbas, ''I'tiqad Ahlussunnah wal Jamaah,'' Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 1995, 276.</ref>
 
== Lihat pula ==