Wangsa Sanjaya: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 1:
[[Berkas:Prambanan.jpg|thumb|right|300px|[[Candi Prambanan]], salah satu peninggalan
'''Wangsa Sanjaya''' adalah suatu dinasti yang berkuasa di [[Kerajaan Medang]] ''periode Jawa Tengah'' (atau lazim disebut [[Kerajaan Mataram Kuno]]).
==Asal-Usul==
Istilah Wangsa Sanjaya diperkenalkan oleh sejarawan bernama Dr. Bosch dalam karangannya yang berjudul ''Sriwijaya, de Sailendrawamsa en de Sanjayawamsa'' (1952). Ia menyebutkan bahwa, di [[Kerajaan Medang]] terdapat dua dinasti yang berkuasa, yaitu dinasti Sanjaya dan Sailendra.
Istilah Wangsa Sanjaya merujuk kepada nama pendiri Kerajaan Medang, yaitu [[Sanjaya]] yang memerintah sekitar tahun [[732]]. Dinasti ini menganut agama [[Hindu]] aliran [[Siwa]], dan berkiblat ke Kunjaradari di daerah [[India]].
== Daftar raja-raja ==▼
* [[Sanna]]▼
Raja selanjutnya ialah [[Rakai Panangkaran]] yang dikalahkan oleh dinasti lain bernama [[Wangsa Sailendra]]. Pada tahun [[778]] raja Sailendra yang beragama [[Buddha]] aliran [[Mahayana]] memerintah Rakai Panangkaran untuk mendirikan [[Candi Kalasan]].
* [[Rakai Panangkaran]] (760-780)▼
Sejak saat itu Kerajaan Medang dikuasai oleh Wangsa Sailendra. Sampai akhirnya seorang putri mahkota Sailendra yang bernama [[Pramodawardhani]] menikah dengan [[Rakai Pikatan]], seorang keturunan Sanjaya, pada tahun [[840]]–an. Rakai Pikatan kemudian mewarisi takhta mertuanya. Dengan demikian, Wangsa Sanjaya kembali berkuasa di Medang.
* [[Rakai Panunggalan]] (780-800)▼
* [[Rakai Warak]] (800-819)▼
==Teori yang Menolak==
* [[Rakai Garung]] (819-838)▼
Sejarawan Poerbatjaraka menolak keberadaan Wangsa Sanjaya. Menurutnya, Wangsa Sanjaya tidak pernah ada, karena [[Sanjaya]] sendiri adalah anggota [[Wangsa Sailendra]]. Dinasti ini mula-mula beragama [[Hindu]], karena istilah ''Sailendra'' bermakna “penguasa gunung” yaitu sebutan untuk [[Siwa]].
* [[Rakai Pikatan]] (838-856)▼
* [[Rakai Kayuwangi]] (856-886)▼
Selain itu, istilah ''Sanjayawangsa'' tidak pernah dijumpai dalam prasasti mana pun, sedangkan istilah ''Sailendrawangsa'' ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Ligor, prasasti Kalasan, dan prasasti Abhayagiriwihara.
* [[Rakai Watuhumalang]] (886-898)▼
Poerbatjaraka berpendapat bahwa, Sanjaya telah memerintahkan agar putranya, yaitu [[Rakai Panangkaran]] pindah agama, dari [[Hindu]] menjadi [[Buddha]]. Teori ini berdasarkan atas kisah dalam ''[[Carita Parahyangan]]'' bahwa Rahyang Sanjaya menyuruh Rahyang Panaraban untuk berpindah agama. Dengan demikian, yang dimaksud dengan istilah “raja Sailendra” dalam [[prasasti Kalasan]] tidak lain adalah Rakai Panagkaran sendiri.
''Carita Parahyangan'' memang ditulis ratusan tahun sesudah kematian Sanjaya. Meskipun demikian, kisah di atas seolah terbukti dengan ditemukannya sebuah prasasti yang mengisahkan tentang seorang pangeran bernama Sankhara yang pindah agama karena ayahnya meniggal dunia akibat menjalani ritual terlalu berat. Sayangnya, prasasti ini tidak jelas angka tahunnya, serta tidak menyebutkan nama ayah Sankhara tersebut.
Jadi, teori Poerbatjaraka menyebutkan bahwa hanya ada satu dinasti saja yang berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sailendra yang beragama Hindu Siwa. Sejak pemerintahan Rakai Panangkaran, dinasti Sailendra terpecah menjadi dua. Agama Buddha dijadikan agama resmi negara, sedangkan cabang Sailendra lainnya ada yang tetap menganut agama Hindu, misalnya seseorang yang kelak menurunkan [[Rakai Pikatan]].
==Kalender Sanjaya==
Meskipun istilah ''Sanjayawangsa'' tidak pernah dijumpai dalam prasasti mana pun, namun istilah ''Sanjayawarsa'' atau “Kalender Sanjaya” ditemukan dalam prasasti Taji Gunung dan prasasti Timbangan Wungkal.
Kedua prasasti tersebut dikeluarkan oleh [[Mpu Daksa]] dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli [[Sanjaya]], sang pendiri kerajaan. Tahun 1 Sanjayawarsa sama dengan tahun 717 Masehi. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun 717 ini merupakan tahun kelahiran Sanjaya, ataukah tahun berdirinya kerajaan.
Daftar para raja Medang sebelum [[Dyah Balitung]] yang tertulis dalam [[prasasti Mantyasih]] menurut teori Bosch adalah daftar para raja Wangsa Sanjaya, sekaligus juga silsilah keluarga mulai dari Sanjaya sampai Balitung.
Para raja tersebut ialah:
Sejarawan [[Slamet Muljana]] berpendapat lain. Menurutnya, daftar tersebut bukan silsilah Wangsa Sanjaya, melainkan daftar para raja yang pernah berkuasa di [[Kerajaan Medang]]. Pendapatnya itu berdasarkan atas julukan Rakai Panangkaran dalam [[prasasti Kalasan]], yaitu ''Sailendrawangsatilaka'' atau “permata Wangsa Sailendra”. Jadi menurutnya tidak mungkin apabila Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya.
Analisis Slamet Muljana terhadap beberapa prasasti, misalnya prasasti Kelurak, prasasti Nalanda, ataupun prasasti Kayumwungan menyimpulkan bahwa Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra, sementara sisanya adalah anggota Wangsa Sanjaya, kecuali Rakai Kayuwangi yang berdarah campuran.
==Raja Sesudah Balitung==
Raja sesudah [[Dyah Balitung]] adalah [[Mpu Daksa]] yang memperkenalkan pemakaian “Kalender Sanjaya” untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli sang pendiri kerajaan. Selain itu, kemungkinan besar Daksa juga merupakan cucu [[Rakai Pikatan]] sebagaimana yang tertulis dalam prasasti Telahap.
Daksa digantikan oleh menantunya, bernama [[Dyah Tulodhong]], yaitu putra dari seseorang yang dimakamkan di Turu Mangambil. Tidak diketahui dengan pasti apakah Tulodhong ini merupakan keturunan [[Sanjaya]] atau bukan.
Menurut sejarawan Boechari, pemerintahan Tulodhong berakhir akibat pemberontakan [[Dyah Wawa]], putra Rakryan Landhayan. Dalam hal ini juga tidak dapat dipastikan apakah Wawa keturunan Sanjaya atau bukan.
Raja selanjutnya bernama [[Mpu Sindok]] yang diperkirakan sebagai cucu Mpu Daksa. Jika benar demikian, maka Mpu Sindok dapat disebut sebagai keturunan Sanjaya pula, meskipun ia dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama [[Wangsa Isana]].
* [[Wangsa Isyana]]
==Kepustakaan==
* Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. ''Sejarah Nasional Indonesia Jilid II''. Jakarta: Balai Pustaka
* [[Slamet Muljana]]. 2006. ''Sriwijaya'' (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
▲== Lihat pula ==
▲* [[Wangsa Syailendra]]
[[Kategori:Sejarah Nusantara]]
|