Pajak pertambahan nilai: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-  + )
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 5:
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen untuk penyerahan dalam negeri dan 0 persen untuk ekspor.
 
Dasar hukum dari penerapan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. Penyebutan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 dengan nama Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983.
 
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun [[1983]] yang berlaku 1 April 1985 adalah Undang-Undang Nomor. 11 Tahun [[1994]] (berlaku 1 Januari 1995), Undang-Undang Nomor 18 Tahun [[2000]] (berlaku 1 Januari 2001), dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun [[2009]] (berlaku 1 Januari 2010).
Baris 36:
Objek Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam pasal 4 Undang-undang PPN 1984 dan perubahannya (UU 42 Tahun 2009 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2010) adalah :
 
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
 
b. impor Barang Kena Pajak;
 
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
 
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
 
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
 
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
 
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
 
h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
 
Objek Pajak Pertambahan Nilai yang lain diatur dalam pasal 16 C dan Pasal 16 D UU PPN 1984 dan perubahannya yaitu
Baris 59:
Indonesia menganut metode pengurangan secara tidak langsung (''indirect subtraction method)'' menggunakan mekanisme pengkreditan dengan faktur pajak (i''nvoice method'') sehingga keberadaan faktur pajak sangat penting dalam membuktikan adanya transaksi yang terutang pajak pertambahan nilai.
 
Faktur Pajak didefiniskan dalam pasal 1 angka 23 UU Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya sebagai bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
 
Bagi Penjual Faktur pajak yang diterima merupakan bukti Pajak Keluaran sedangkan bagi pembeli faktur pajak tersebut merupakan pajak masukan.
Baris 65:
Faktur Pajak harus dibuat pada:
 
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
 
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
 
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
 
d. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
 
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
 
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
 
b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
 
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
 
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
 
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
 
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
 
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak (tandatangan secara elektronik diperbolehkan).
 
.