Matthew Henry: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: VisualEditor mengosongkan halaman [ * ]
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 13:
Pada masa yang sulit itu lahirlah Matthew Henry. Ayahnya, Philip Henry, adalah seorang pendeta dari golongan Puritan, sedang­kan ibunya, Katherine Matthewes, seorang keturunan bangsawan. Karena Katherine berasal dari keluarga kaya, sepanjang hidupnya Philip Hen­ry tak perlu memikirkan uang atau bersusah payah men­cari naf­kah bagi keluarganya, sehingga ia dapat dengan sepenuh hati meng­abdi­kan diri untuk pelayanannya sebagai hamba Tuhan. Matthew ada­­lah anak kedua. Kakaknya, John, meninggal pada usia 6 tahun ka­rena penyakit campak. Ketika masih balita, Matthew sendiri juga terserang penyakit itu dan nyaris direnggut maut.
 
Dari kecilnya Matthew sudah tampak memiliki bermacam-macam bakat, sangat cerdas, dan pintar. Tetapi yang lebih penting lagi, sejak kecil ia sudah mengasihi Tuhan Yesus dengan segenap hati dan mengakui-Nya sebagai Juruselamatnya. Usianya baru tiga ta­hun ketika ia sudah mampu membaca satu pasal dari Alkitab lalu mem­berikan keterangan dan pesan tentang apa yang dibacanya.
 
Dengan demikian Matthew sudah menyiapkan diri untuk tugas­nya di kemudian hari, yaitu tugas pelayanan sebagai pendeta.
 
Sejak masa kecilnya Matthew sudah diajarkan bahasa Ibrani, Ya­hudi, dan Latin oleh ayahnya, sehingga walaupun masih sangat muda, ia sudah pandai membaca Alkitab dalam bahasa aslinya.
Baris 29:
Beberapa waktu kemudian mereka mendapat seorang anak pe­rem­­puan yang bertahan hidup. Demikianlah suka dan duka silih ber­ganti dalam kehidupan Matthew Henry. Secara keseluruhan, Matthew Henry mendapat 10 anak, termasuk seorang putri dari per­ni­kahan per­tama.
 
Selama 25 tahun Matthew Henry melayani jemaatnya di Chester. Ia sering mendapat panggilan dari jemaat-jemaat di London untuk me­la­yani di sana, tetapi berulang kali ia menolak panggilan tersebut ka­­rena merasa terlalu terikat kepada jemaat di Chester. Namun akhir­­­nya, ia yakin bahwa Allah sendiri telah memanggilnya untuk men­­jadi hamba Tuhan di London, dan karena itu ia menyerah kepada kehendak Allah.
 
Pada akhir hidupnya, Matthew Henry terkena penyakit diabetes, sehingga sering merasa letih dan lemah. Sejak masa muda, ia bekerja dari pagi buta sampai larut malam, tetapi menjelang akhir hayatnya ia tidak mampu lagi. Ia sering mengeluh karena kesehatannya yang se­­ma­kin menurun.
 
Pada bulan Juni 1714 ia berkhotbah satu kali lagi di Chester, tem­pat pelayanannya yang dulu. Ia berkhotbah tentang Ibrani 4:9, “Jadi ma­sih tersedia suatu hari perhentian, hari ketujuh, bagi umat Allah.” Ia seolah-olah menyadari bahwa hari Minggu itu merupakan hari Ming­gu terakhir baginya di dunia ini. Secara khusus ia mene­kan­kan hal perhentian di sorga supaya anak-anak Allah dapat me­nik­mati ke­ber­sama­an dengan Tuhan.
 
Sekembalinya ke London, ia merasa kurang sehat. Malam itu ia sulit tidur dan menyadari bahwa ajalnya sudah dekat. Ia dipenuhi rasa damai dan menulis pesan terakhirnya: “Kehidupan orang yang meng­abdikan diri bagi pelayanan Tuhan merupakan hidup yang pa­ling menyenangkan dan penuh penghiburan.” Ia mengembuskan nafas terakhir pada tanggal 22 Juni 1714, dan dimakamkan tiga hari kemu­­dian di Chester. Nas dalam kebaktian pemakamannya diambil dari Matius 25:21, “Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali per­buat­anmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung ja­wab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam keba­ha­gia­an tuanmu.”?