Teknologi biomedis: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
k Bot: Penggantian teks otomatis (- di tahun + pada tahun)
Baris 54:
 
== Permasalahan Teknologi Biomedis di Indonesia ==
Sebagai negara yang berpenduduk lebih dari 250juta, terbesar ke-5 dunia (dan pertama di Asia Tenggara) dengan demografi penduduk yang tersebar pada daerah kepulauan, Indonesia memiliki julah rumah sakit yang terbanyak dia Asia Tenggara (sebanyak 2,435 pada tahun 2014 (''Statistical Yearbook of Indonesia 2011, BPS – Statistics Indonesia'', 2011). Kebutuhan alat kesehatan Indonesia juga yang paling besar di kawasan ini. Data tentang besarnya pembelanjaan alat kesehatan sangat beragam – mulai dari 30T dipada tahun 2013 (Markets, 2015), hingga yang bahkan 100T/tahun (Pandjaitan, 2012). Jika mengacu pada data WHO 2011 bahwa sebagian besar alat yang ada berasal dari hibah dengan nilai nominal yang tidak terdokumentasi secara sentral, tidak mengherankan bahwa total pembelanjaan alat kesehatan dalam negeri mencapai hampir 100T lebih di setiap tahunnya. Dari data tahun 2012, ketergantungan kita pada import lima negara produsen; Jerman, Belanda, Jepang, Amerika dan Austria yang mencapai 94.4% (Markets, 2015). Pembelanjaan dalam negeri tidak hanya terbatas pada alat kesehatan dengan teknologi canggih, namun juga pada ''consumable product'' seperti jarum suntik, kantong darah serta peralatan dengan teknologi rumah tangga seperti inkubator.
 
Meski pembelanjaan alat kesehatan tergolong eskalatif, namun hingga kini dukungan pemerintahan (regulasi makro) terhadap kemajuan industri biomedis dalam negeri masih jauh dari memadai. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, misalnya, Singapura telah memulai pembangunan industri TB sejak akhir era 70-an dengan mendatangkan Beecham Industries. Tidak hanya itu, pada tahun 2000, pemerintah Singapura mengumumkan titik berat pembangunan Biomedisnya dengan dengan mengundang investor dari berbagai belahan dunia; Novartis, Roche and Amgen ("Siting a Biomanufacturing Facility in Singapore," 2013). Hal yang sama dilakukan pemerintah Amerika Serikat dengan melibatkan Withaker Foundation untuk mengkampanyekan sekaligus mendukung pembangunan teknik biomedisnya pada awal tahun 70-an ("History of Biomedical Engineering," 2013).
Baris 60:
Tidak hanya produktifitas dan dukungan kebijakan pemerintah yang rendah, bidang TB pun sangat rentan terhadap korupsi. Namun demikian, korupsi di bidang ini tidak mudah diketahui publik. Kecuali korupsi alat kesehatan (alkes) di Tangsel yang terungkap lebih dikarenakan politik dinasti daripada objek korupsinya, sangat sedikit catatan korupsi alkes yang dapat diketahui publik. Mari kita amati kembali catatan korupsi bidang ini pada masa lampau.
 
Pasca desentralisasi, tercatat ‘hanya’ ada lima kasus korupsi yang terungkap ke publik. Di tahun 2006, kasus korupsi alkes wabah flue burung yang melibatkan terdakwa Soetedjo Yuwono, Sekretaris Menko Kesra yang saat itu dijabat oleh Aburiza Bakrie. Tahun berikutnya, korupsi alkes melibatkan terpidana Ratna Dewi Umar – juga pada kasus Kejadian Luar Biasa (KLB)  flu burung dengan kerugian negara 50.477 milliar rupiah. Kasus ini pula menyeret dua mantan menteri Kesehatan; Siti Fadillah Supari dan Endang Rahayu Setyaningsih. Masih dipada tahun 2007, korupsi alkes lainnya melibatkan mantan Kepala Pusat Penanggulan Krisis Kemenkes, Rustam Syarifuddin Pakaya dengan kerugian negara 2,47 milyar, kasus alat bantu Belajar Rumah Sakit (2009). Di tahun 2010, dugaan korupsi alat kesehatan tak bertuan ‘merambah’ ke Bangli, Bali.  Dan, yang teranyar adalah korupsi alat kesehatan di RS International Universitas Udayana, Bali (2015).
 
Dari berbagai kasus korupsi di atas, ditemukan beberapa permasalahan yang lebih teknis seperti: