Gajah Mada: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Maxinoda (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 45:
Pasca Jayanagara mangkat, Arya Tadah yang merupakan [[Mahapatih|Mahapatih Amangkubhumi]] mengajukan pengunduran diri dari jabatannya kepada Ibusuri Gayatri yang menggantikan kedudukan Jayanegara dan menunjuk Patih Gajah Mada dari Daha/Kediri. Gajah Mada sebagai Patih Daha sendiri tak langsung menyetujuinya, tetapi ia ingin membuat jasa terlebih dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan [[Keta]] dan [[Sadeng]] yang saat itu sedang memberontak.
 
Tribuwana Wijayatunggadewi yang menjadi Rani Kahuripan menjadi pelaksana tugas pemerintahan Majapahit. Bahkan setelah Gayatri meninggal pada 1331, Tribhuwana Wijayatunggadewi tetap sebagai Maharani dari kerajaan Majapahit. Setelah [[Keta]] dan [[Sadeng]] dapat ditaklukan oleh Gajah Mada, barulah pada tahun [[1334]], Gajah Mada diangkat menjadi [[Mahapatih|Mahapatih Amangkubhumi]] <!--Amangkubhumi]]--> secara resmi menggantikan [[Arya Tadah]] (Mpu Krewes) yang sudah sepuh, sakit-sakitan, dan meminta pensiun sejak tahun [[1329]].
 
== Sumpah Palapa ==
Baris 55:
Menurut sejarawan Slamet Muljana dalam ''Tafsir Sejarah Nagarakretagama'', sumpah Gajah Mada itu menimbulkan kegemparan. Para petinggi kerajaan seperti Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Tarewes, dan Lembu Peteng merespons dengan negatif. Tindakan mereka mebuat Gajah Mada sangat marah karena ditertawakan. Hal ini diperkuat juga oleh Muhammad Yamin dalam ''Gajah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara''. Gajah Mada pun meninggalkan paseban dan terus pergi menghadap Batara Kahuripan, Tribhuana Tunggadewi. Dia sangat berkecil hati karena dapat rintangan dari Kembar, walaupun Arya Tadah membantu sekuat tenaga.
 
Arya Tadah memang pernah berjanji akan memberi bantuan dalam segala kesulitan kepada Gajah Mada. Namun, menurut Slamet Muljana, Arya Tadah sebenarnya juga ikut menertawakan program politik Gajah Mada itu karena pada hakikatnya, Arya Tadah alias Empu Krewes tidak rela melihat Gajah Mada menjadi patih ''amangkubumi'' sebagai penggantinya. Pengepungan Sadeng dan Keta di Jawa Timur terjadi pada tahun 1331. Ketika itu yang menjadi mahapatih adalah Arya Tadah. Dia menjanjikan kepada Gajah Mada, sepulang dari penaklukkan Sadeng dia akan diangkat menjadi patih, bukan mahapatih. Alangkah kecewanya Gajah Mada, karena Kembar mendahuluinya mengepung Sadeng. Untuk menghindari sengketa antara Gajah Mada dan Kembar, Rani Tribhuana Tunggadewi datang sendiri ke Sadeng membawa tentara Majapahit. Kemenangan atas Sadeng tercatat atas nama Sang Rani sendiri. Semua peserta penaklukan Sadeng dinaikkan pangkatnya. Gajah Mada mendapat gelar ''angabehi'', dan Kembar dinaikkan sebagai ''bekel araraman''. Saat itu, Gajah Mada sendiri telah menjadi patih [[Kota Kediri|Daha]].
 
Gajah Mada melaksanakan politik penyatuan Nusantara selama 21 tahun, yakni antara tahun 1336 sampai 1357. Isi program politik ialah menundukkan negara-negara di luar wilayah Majapahit, terutama negara-negara di seberang lautan, yakni Gurun (Lombok), Seram, Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatera Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang (Sriwijaya), dan Tumasik (Singapura). Bahkan, dalam kitab ''Nagarakretagama ''pupuh 13 dan 14 nama-nama negara yang disebutkan jauh lebih banyak daripada yang dinyatakan dalam sumpah Nusantara.