Arsyad Thalib Lubis: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Murobot (bicara | kontrib)
k kosmetik
Apundung (bicara | kontrib)
+conten
Baris 101:
}}</ref>
 
== BibliographyLatar belakang ==
 
Ia adalah putra [[Mandailing]] kelahiran tanah Melayu, lahir di
[[Stabat]], Sumatera Utara, tahun 1908 dan meninggal 6 Juli 1972 di Medan. la
dilahirkan sebagai putra kelima dari pasangan Lebai Thalib bin Ibrahim Lubis
dan Markoyum Nasution. Ayahnya berasal dari kampung Pastap, Kotanopan,
Tapanuli Selatan yang migrasi dan menetap di Stabat. Berprofesi sebagai
petani yang agamis sehingga mendapat panggilan "Lebai". Abangnya Syekh
H. [[Baharuddin Thalib Lubis]] (1905-1965) juga seorang ulama dan pernah belajar di Kedah, Malaysia (1927-1930) dan di Mekah (1930-1935).<ref>Harun Nasution et. al., Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h.668</ref>
 
== Pendidikan ==
 
Muhammad Arsyad Thalib Lubis menjalani pendidikannya di berbagai daerah di Sumatra Utara. la menjalani sekolah umum di Sekolah Rakyat Stabat. Sedang Pendidikan agama la peroleh di Madrasah Islam di Stabat
(1917-1920), Madrasah Islam di Binjai (1921-922), Madrasah Ulumil
Arabiyah di Tanjung Balai, Asahan (1923-1924), dan Madrasah Hasaniyah
Medan (1925-1930). Kemudian ia mempelajari Ilmu Tafsir Hadis, Usul Fikih,
dan Fikih kepada Syeikh Hasan Maksum (1884-1937) seorang ulama terkemuka di Medan. la adalah seorang murid yang cerdas dan rajin sehingga ketika belajar di Madrasah Binjai, ia mendapat pekerjaan dari gurunya, H.
Mahmud Ismail Lubis, untuk menyalin karangan yang akan dimuat di surat
kabar. Pekerjaan ini sekaligus menjadi latihan baginya dalam hal tulis-menulis
yang menjadi salah satu profesinya di masa dewasa.<ref name=ibid>ibid</ref>
 
== Karya ==
 
Sejak tahun 1928 pada usia 20 tahun, Arsyad Thalib Lubis sudah aktif menulis di majalah. Pada tahun 1928-1931 ia menjadi penulis majalah Fajar Islam. Kemudian ia menjadi pemimpin redaksi majalah Medan Islam (1934-1942), pemimpin redaksi majalah Dewan Islam (1945), dan anggota redaksi
al-Islam (1955-1957).
 
Pada usia 28 tahun, menulis buku pertamanya, ''Rahasia Bibel'', terbit pada tahun 1936. Buku ini menjadi pegangan para mubaligh dan dai Al Washliyah dalam penyiaran Islam di Porsea, Tapanuli Utara. Selain itu, ia juga menulis buku di berbagai bidang ilmu agama. Pada bidang akidah, ia antara lain menulis buku; ''Imam Mahdi'', Pokok-Pokok Kepercayaan dalam Islam, Pelajaran Iman, Pelajaran Tauhid, dan Akidah Imaniyah. Pada bidang Fikih, Usul Fikih, dan Akidah, ia menulis Ilmu Fikih, Fatwa Mengenai sebelas Masalah Agama, Ilmu Pembagian Pusaka, Jaminan
Kemerdekaan Beragama dalam Hukum Islam, al-Usul fi 'ilma al-Usul (pokok-
pokok dalam Ilmu Usul Fikih), dan al-Qawa'id al-Fiqhiah (Kaidah-Kaidah
Fikih, dua jilid). Pada bidang ibadah ia menulis Pemimpin Haji Mabrur, Pelajaran Ibadah, dan Himpunan Doa Nabi-Nabi. Pada bidang perbandingan agama, ia menulis Ruh Islam, Islam di Polandia, Istilahat al-Muhaddis (Istilah-istilah Ahli Hadis), Pembahasan di Sekitar Nuzulul Qur'an, Kisah
Isr'a Mi'raj, dan Pedoman Mati.
Buku-buku tersebut pada umumnya telah tersebar luas di masyarakat. Sebahagian dari buku karyanya dijadikan buku wajib di perguruan-perguruan Al Washliyah. Beberapa di antaranya pernah dicetak di Malaysia, seperti: ''Pedoman Mati'' dan ''Perbandingan Agama Kristen dan Islam''. Buku terakhir ini menguraikan perbandingan ajaran Kristen dan Islam secara lengkap,
terperinci, dan sistematis berdasarkan kitab suci masing-masing.
 
Hampir sepanjang hayatnya ia gunakan untuk mengajar di antaranya di Madrasah Al Irsyadiyah Medan sejak tahun 1926-1930, di Madrasah Al Washliyah Meulaboh, Aceh 1931-1932, Madrasah Al Washliyah Medan 1933-1945, Madrasah Al Qismul Ali Al Washliyah Tebing Tinggi 1946-1947 dan Madrasah Al Qismul Ali Al Washliyah Medan 1953-957. Kemudian ia menjadi lektor pada Sekolah Persiapan Perguruan Tinggi Islam Indonesia di Medan 1953-1954, guru besar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih pada [[Universitas Islam Sumatera Utara]] (1954), dan dosen tetap pada [[Universitas Al Washliyah]] sampai akhir hayatnya.<ref>Ahmad Nasution et. al., Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka di Sumatera Utara
(Medan: MUI-SU, 1975), h. 289.</ref>
 
 
Sejak 1946 hingga 1957 ia memegang berbagai jabatan struktural di Departemen Agama, di antaranya Kepala Mahkamah Syariah Keresidenan [[Sumatera Timur]], Kepala Jawatan Agama Keresidenan Sumatera Timur
(Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi Sumatera Utara), Kepala Bahagian Kepenghuluan Kantor Urusan Agama Propinsi Sumatera Utara, dan Pejabat Kepala Kantor Urusan Agama Propinsi Sumatera Utara.<ref name=ibid/>Dalam kegiatan organisasi, ia aktif sebagai anggota Pengurus Besar organisasi [[Al Washliyah]] (1930-1956). Meskipun kemudian ia tidak duduk dalam kepengurusan, ia tetap aktif memberikan sumbangan pikiran dan tenaga dalam
kegiatan Al Washliyah yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan
sosial. Sejak Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) di lebur ke dalam Masyumi
tahun 1945, ia berulang-ulang menjadi pimpinan wilayah dan anggota Majelis
Syuro Wilayah. Kemudian, ia menjadi anggota Masyumi Pusat 1953- 1954 dan [[Daftar anggota Konstituante|Anggota Konstituante]] dari fraksi [[Masyumi]] sejak tahun 1956 sampai dibubarkan pada tahun 1960.<ref name=ibid/>
 
Dalam kegiatan dakwah, ia aktif dalam zending (muballig) Islam
Indonesia, masuk kampung keluar kampung dengan berjalan kaki untuk menyiarkan Islam di pedalaman tanah Batak dan Karo. Puluhan ribu orang dari daerah ini masuk Islam di tangannya. Bahkan, menjelang akhir hayatnya, ia masih sempat pergi ke Kutalim Baru, [[Kabupaten Deli Serdang]], untuk
melangsungkan pengislaman tidak kurang dari dua ratus orang. Di samping itu, puluhan ribu pula buku-buku karangannya tentang salat, iman, dan ibadah dalam bahasa daerah Batak, Karo, Nias, dan Simalungun dibagikan secara gratis kepada orang-orang yang baru memeluk agama Islam.
 
Selain berbagai kegiatannya di atas, ia juga aktif melakukan berbagai pendekatan dan diskusi dengan tokoh-tokoh Kristen di Medan seperti Pendeta Rivai Burhanuddin (Pendeta Kristen Adven), Van Den Hurk, kepala Gereja Katolik Sumatera Utara, dan Dr. Sri Hardono (Tokoh Kristen Katolik). Berkat penguasaannya yang mendalam tentang ajaran Kristen dalam perdebatan-perdebatan ia dengan mudah menguasai lawan debatnya. Hasil perdebatannya selalu diterbitkan dalam bentuk buku.
 
Ketika paham Ahmadiah Qadian menimbulkan gejolak di Sumatera Timur, ia menfatwakan kekafiran Ahmadiah Qadian dan larangan menguburkan penganutnya di pekuburan muslim. la juga memfatwakan bahwa Komunis harus diharamkan hidup di Indonesia pada Muktamar Ulama Seluruh Indonesia di Medan tahun 1953,
dan fatwanya itu dipertegas lagi pada Muktamar Ulama se-Sumatera di Bukit Tinggi dan Muktamar Ulama di Palembang.<ref>Ibid., h. 292-293</ref> Ia juga selalu diminta untuk memberikan kuliah umum pada HUT UNIVA, seperti pada awal tahun 1960-an, pada saat itu terjadi polemik tentang kemungkinan manusia sampai ke angkasa luar (bulan) sedang hangat dibicarakan berbagai kalangan masyarakat. Maka Arsyad Thalib Lubis memberikan kuliah umum pada acara HUT ke II UNIVA yang jatuh pada tanggal 18 Mei 1960 dengan judul: ”Agama Islam dan Penghuni Angkasa Luar”. Dalam kuliah ini ia menyimpulkan bahwa dalil-dalil yang disebutkan al-Qur'an memungkinkan manusia untuk sampai ke angkasa luar.<ref>35Arifinsyah, Wacana Pluralisme Agama Kontemporer (Bandung: Citapustaka, 2002), h.95</ref> Selain itu pada HUT yang ke X, ia menyampaikan kuliah umumnya dengan judul:“Keesaan Tuhan Menurut Ajaran Kristen dan Islam”.
 
Pada masa perjuangan kemerdekaan, ia turut memberikan andil sesuai dengan bidangnya, berpidato untuk membangkitkan semangat jihad melawan penjajahan, di samping menulis buku “Tuntutan Perang Sabil”. Ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, ia memfatwakan bahwa
pahlawan Islam yang gugur di medan pertempuran melawan kolonial mati
syahid hukumnya dan ia menganjurkan agar kaum Muslim memberikan dana jihad sebesar-besarnya tanpa tawar-menawar.<ref>36Ahmad Nasution, et. al., Sejarah Ulama-Ulama, h. 290.</ref>
 
Pada waktu clash ke II yaitu,
1947-1949 ketika Sumatera Timur jatuh ke tangan Belanda dan meresmikan berdirinya Negara Sumatera Timur (NST), ia sangat menentang dan untuk mempertahankan negara kesatuan RI, Arsyad Thalib Lubis mengungsi ke pedalaman dan berkeras tidak mau bekerjasama dengan penjajah. Pada waktu
itu, ia adalah anggota Dewan Pertahanan Daerah Sumatera Timur-Selatan dan
wakil ketua Markas Besar Kelaskaran Al Washliyah.<ref name=ibid/> Ketika serangan bom Belanda menghujani kota Tebing Tinggi dan mulai memasuki perbatasan kota, ia bersama beberapa guru dan anggota Al Washliyah berusaha bertahan di Markas Besar Kelaskaran Al Washliyah di kota itu. Setelah pertempuran semakin sengit dan keadaan tidak mungkin di pertahankan, ia meninggalkan kota untuk menyatukan kekuatan di daerah Tanjung Balai, Asahan. Beberapa hari kemudian ia bergerak menuju Rantau
Prapat. Di daerah ini ia meneruskan perjuangan bersama dengan pemimpin-pemimpin lainnya. Karena kegigihan perjuangannya, pada tanggal 29 Maret 1949 ia ditangkap oleh pihak Negara Sumatera Timur (NST) yang bertindak sebagai perpanjangan tangan Belanda. la ditahan sebagai tawanan politik di penjara Sukamulia, Medan, sampai tanggal 23 Desember 1949. Ketika ia di dalam penjara, istrinya meninggal dunia dan setelah mengurus surat izin yang cukup rumit barulah ia mendapat izin keluar penjara dan dalam keadaan tangan diborgol dia melihat istrinya yang terakhir kali saat proses pemakaman.<ref>Arifinsyah, Wacana Pluralisme, h. 96.</ref>
 
 
Ketika Negara Sumatera Timur berhasil dibubarkan dan Panitia Persiapan Negara Kesatuan untuk Sumatera Timur didirikan tahun 1950-1951, ia diangkat menjadi anggota panitia penempatan pegawai. Pada tahun 1956, pemerintah mengutusnya bersama H. Nasaruddin Latif ke [[Uni Soviet]]
untuk meninjau [[Tashkent]], Mereka kembali ke Indonesia melalui Peking (Beijing), Rangoon (Yangon), dan Bangkok. Sebagai hasil dari lawatannya ini, ia menulis sebuah buku tentang keadaan umat Islam di sana agar menjadi cermin bagi umat Islam di Indonesia. Menurutnya, umat Islam di bawah
kekuasaan Komunis merupakan kelompok kecil yang senantiasa diawasi dan tidak bebas dalam menjalankan ibadah. Namun naskah buku ini hilang sebelum sempat dicetak.
 
Muhammad Arsyad Thalib Lubis adalah seorang ulama yang berani dan teguh dalam pendirian. Ketika terjadi pergolakan di berbagai daerah di Indonesia, ia menulis sebuah artikel berjudul "Menyelesaikan Perang Saudara dalam Islam" yang dimuat dalam majalah Departemen Agama. Tulisan ini
menimbulkan berbagai kritikan dan kesibukan di kalangan Kejaksaan Agung dan Badan Intelijen Pusat, karena kandungannya dipandang tidak selaras dengan keinginan penguasa yang hendak menumpas habis setiap
pemberontakan. Akibatnya, ia dicopot dari jabatannya di Departemen Agama Wilayah Sumatera Utara dan dimutasikan ke pusat.<ref name=ibid/>
Pada saat ulama ramai mendukung pemberian gelar "Wali al-amri adh-dharuri bisy-syaukah” (Penguasa yang secara darurat dianggap mempunyai kekuasaan menetapkan hukum) kepada Presiden [[Soekarno]]. Ia
menurunkan tulisan-tulisan tentang syarat-syarat ulil amri yang menurut dia
sedikit pun tidak ditemukan pada diri Presiden Soekarno. Hal ini menambah
kejengkelan penguasa Orde Lama kepadanya sehingga kepulangannya ke daerah tertunda-tunda. Akhirnya, ia dikembalikan ke daerah dengan jabatan guru besar yang diperbantukan pada UNIVA sampai masa pensiun.<ref name=ibid/>
 
== Meninggal dunia ==
 
Ketika ia berusia 63 tahun pada hari Kamis 6 Juni 1972 (23 Jumadil Awal 1392 H) ia berpulang ke rahmatullah, setelah menderita
penyakit beberapa hari. Pada hari itu juga tersiar berita tentang berpulangnya
seorang ulama besar. Ia dimakamkan di perkuburan Muslim Jalan Mabar. Pemakamannya dihadiri beribu-ribu umat Islam laki-laki dan perempuan serta pembesar berganti-ganti menyembahyangkannya di rumah dan di mesjid jalan Malaka serta berebut untuk mengangkat kerenda jenazahnya sampai ke perkuburan, yang menurut cerita belum pernah kejadian seperti ini, begitu banyaknya orang yang datang bertakjiah.<ref>M. Nizar Syarif, mantan mahasiswa sekaligus asisten H.M. Arsyad Thalib Lubis, wawancara di Medan, tanggal 31 Okt. 2010.</ref>
 
Keesokan harinya, Jumat 7 juni 1972 di beberapa mesjid di Jakarta melakukan salat ghaib atas meninggalnya, yaitu di Mesjid al-Jihad Jalan Jend. A. Yani, di Mesjid Istiqlal Taman Wijaya Kusuma, di Mesjid al- Azhar Kemayoran, di Mesjid al-Munawarah dan di beberapa mesjid lainnya.
 
 
== Referensi ==
 
{{reflist}}
 
== Bibliografi==
 
* ''Kedudukan Kepala Negara Republik Indonesia: di lihat dari Hukum Islam'', penerbit Pustaka Univa,1967
Baris 120 ⟶ 210:
}}
 
== Referensi ==
 
{{Reflist}}
{{Ulama-Nusantara-bio-stub}}