Tjong Yong Hian: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Lie Pin Pin (bicara | kontrib)
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 39:
Tjong Yong Hian mendarat di Batavia pada tahun 1867 di saat Indonesia berada dalam masa penjajahan Belanda. Kepintaran Tjong Yong Hian dalam melihat kesempatan usaha sangat terpuji, berangkat dari seorang kuli toko, Tjong Yong Hian membaca kondisi keperluan masyarakat dan kebutuhan pengusaha pada saat itu. Tjong Yong Hian bergaul baik dengan otoritas Hindia Belanda dan juga menjaga hubungan yang baik dengan Raja Sultan Deli pada masa itu. Hubungan yang baik dengan para penguasa tersebut, membuat Perusahaan Tjong Yong Hian mengalami kemajuan yang sangat pesat.
 
            Generasi kedua, Chang Pu Ching/Tjong Hau Lung, Chan Cen Ching/Tjong Hian Lung dan Chang Min Ching/Tjong Seng Lung, masih berada dalam lingkungan kondisi Indonesia dalam masa penjajahan Belanda. Kementerian perdagangan Kerajaan Qing, China mengangkat Chang Pu Ching sebagai inspektur untuk mengawasi proyek pembangunan jalan kereta api antara kota Chao Chow dan kota Chow Shan Tou, hal ini karena pemilik Perusahaan pembangunan kereta api sebelumnya adalah Tjong Yong Hian dan adiknya Tjong A Fie, sedangkan pada tahun 1904 anak-anak Tjong A Fie masih dalam masa pendidikan sekolah.
 
Tentang kemewahan kehidupan generasi penerus Tjong Yong Hian, tertulis dalam buku keponakan Tjong Yong Hian bahwa : “Kami menikmati mobil Fiat kuning pertama di Medan tahun 1920, suamiku membuka bank barunya Kong Siong Bank mengikuti jejak papa saya Tjong A Fie dengan Bank Delinya. Sesuai status barunya sebagai konsul China, sepupu saya Chang Pu Ching merombak rumah Tjong Yong Hian menjadi  Konsulat China, disitu Chang Pu Ching tinggal dengan keluarganya menikmati kehormatan dari komunitasnya dan kekebalan hukum. Saudara Chang Pu Ching, Kung We, Kung Lip dan Kung Tat selalu menjelajahi jalanan kota dengan model mobil terbaru seperti Hudson dan Cadillac, dan istri-istri mereka berusaha pamer satu sama lain dengan busana mewah dan perhiasan mahal. Mereka seolah melupakan Perang Dunia Pertama yang baru terjadi, dan menyimpang dari kehidupan sebelumnya, mereka menjadi orang kaya baru. Mereka tidak bijaksana terhadap warisan orang tuanya yang bersusah payah dalam mendapatkan uang dan tidak menghormati warisannya. Mamanya istri Tjong Yong Hian dari desa, tante Hsi, seorang yang rajin dan hidup hemat sudah melihat kehidupan anaknya yang menjadi bahan kritikan masyarakat. Dan ketika buku ini terbit, semua kehidupan mewah itu sudah sirna” (Queeny Chang, 1981, hal 159)