Bagong: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Andri.h (bicara | kontrib)
←Membatalkan revisi 1409957 oleh 202.65.117.18 (Bicara)
Baris 15:
 
[[jv:Bagong]]
BAB I
Wayang: Kesenian Adiluhung
A. Wayang: Simbol Kehidupan Masyarakat Jawa
Tidak ada salahnya bila kita mengadakan investigasi terhadap masa lalu dengan memfokuskan pada proses penyebaran pemikiran khas jawa melalui media wayang, dan terjadinya akulturasi serta asimilasi ketika tersusupi oleh budaya asing yang lebih besar semisal budaya yang dibawa oleh islam. Dan dari sini setidaknya, kita sedikit banyak akan mengetahui seberapa besar islam mendominasi pola berfikir masyarakat jawa yang sesungguhnya merupakan masyarakat berkepercayaan animisme dan dinamisme.
Untuk mengenal secara mendalam tentang masyarakat jawa, kita bisa melakukannya lewat kesenian wayang. Sebab diakui atau tidak, wayang merupakan unsur penting yang tidak boleh hilang dari masyarakat jawa. Ia simbol perilaku kehidupan manusia jawa, ia merupakan miniatur dari dunia jawa dan dunia kejawen yang seringkali dalam mengkaji suatu kebenaran dilakukan melalui rasio dan indra batin1.
Bahkan masyarakat asingpun mengakui akan keberadaan kesenian wayang sebagai unsur penting dalam masyarakat jawa. Anderson seorang sarjana Barat misalnya, mengakui bahwa wayang merupakan ‘compelling religius mythology’, yang menyatukan masyarakat jawa secara menyeluruh, baik secara horizontal maupun vertikal2. Claire Holt yang juga merupakan seorang sarjana barat, mengatakan bahwa wayang melambangkan masyarakat jawa yang merupakan ‘suatu dunia stabil berdasarkan konflik (a stable world based on conflict)3.
Kesenian wayang bukan lagi merupakan kesenian yang asing bagi kita khususnya masyarakat jawa dan umumnya masyarakat Indoensia. Ketika membicarakan wayang, kita berarti membicarakan aspek-aspek di dalamnya yang meliputi aspek seni bahasa, seni rupa, seni drama, seni musik, seni tari, sampai dengan aspek filosofinya. Karena itu mengapa orang mengatakan bahwa wayang merupakan kesenian adiluhung.
Dilihat dari aspek seni bahasa misalnya, dalam memainkan wayang perlu menguasai tingkat-tingkat tutur yang bermacam-macam yang cocok bagi status setiap tokoh. Sebab bila kita tidak menguasai aspek ini, maka sudah dipastikan permainan wayang akan terlihat jelek dantidak mampu memikat penonton. Karena itu seorang dhalang adalah seorang yang mampu menggambarkan semua keindahan yang tercipta dengan kata-kata yang penuh perasaan, yang mampu memikat penonton, dan sarat dengan pesan-pesan moral.4
Dilihat dari apek seni rupa, membuat wayang bukanlah perkara mudah. Ia merupakan produk kecermatan tak terhingga serta mampu memancarkan tingkat kecermatan dan ketelitian sanga pembuat. Karena itu seorang pengrajin wayang harus mampu menghadirkan perasaan terdalamnya. Selain itu juga diperlukan ketelitian, kehati-hatian, dan memakan waktu cukup lama.
Dilihat dari seni drama, seorang dhalang harus mampu membawakan suatu lakon dengan baik dan menarik. Pada adegan-adegan peperangan misalnya, ia harus mampu memegang wayang pada setiap tangannya dan membuatnya mengancam untuk berkelahi, menusuk keris, atau melepaskan anak panah. Ia juga harus mampu memainkan adegan-adegan sesuai dengan aslinya. Misalnya adegan wayang yang tengah gembira, maka sang dhalang juga harus mampu menghadirkan perasaan gembira. Begitu pula ketika dituntut untuk menghadirkan adegan-adegan yang sedih-sedih, seorang dhalang juga harus mampu untuk menghadirkan suasana yang sedih-sedih. Sehingga penonton mampu terbawa dan menghayati setiap lakon yang dimainkan.5
Wayang6 selain dikenal sebagai sebuah boneka yang terbuat dari kulit dan memiliki tangkai, serta dipahat pipih dan diberi warna khas, juga dikenal sebagai salah satu bentuk seni budaya klasik tradisional masyarakat jawa yang mampu menyajikan tontonan menarik sekaligus tuntunan berharga. Dengan kata lain, wayang merupakan kesenian adiluhung yang di dalamnya banyak dijumpai adanya pesan-pesan moral luhur yang disampaikan oleh dalang (sebagai orang yang memainkan wayang) kepada masyarakat umum. Dan hal ini memang dapat dimaklumi, sebab pada awal kemunculannya, wayang memang digunakan sebagai media pembawa pesan, pemberi pesan, dan penyebar ajaran-ajaran agama melalui hiburan.
Wayang merupakan salah satu kesenian yang menyatu dalam kehidupan maasyarakat jawa. Sehingga wajar bila sebagian orang menganggap bahwa wayang merupakan ensiklopedi kehidupan. Dan dalam penyampaiannya, kesenian wayang mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan kesenian-kesenian lainnya7.
Seringkali, ajaran-ajaran yang hendak disampaikan dalam kesenian wayang kulit dikemas dalam bentuk pasemon, simbol atau perlambang, sehingga tentunya untuk mendapatkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya diperlukan penghayatan secara mendalam. Nilai-nilai ataupun ajaran-ajaran yang disampaikannya itu sesuai dengan sosiokultural, kepribadian, dan pemikiran khas masyarakat jawa sebagai sebuah masyarakat yang pertama kali menciptakan kesenian wayang tersebut. Hal ini sudah menjadi kewajaran dalam masyarakat jawa, sebab dalam setiap kali memahami filsafat, mereka memberikan suatu pengertian bahwa berfilsafat adalah berarti cinta kesempurnaan (ngudi kasampurnaan) bukan semata-mata cinta kearifan, love of wisdom, sehingga untuk menyampaikan suatu makna atau ajaran, seringkali cara penyampaiannya dengan menggunakan suatu simbol tertentu yang penuh penjiwaan, cipta, dan rasa yang tinggi 8. Misalnya saja sosok dan kepribadian dari pandawa (Mereka adalah Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa):
1.Yudhistira
Merupakan kakak tertua dari pandawa. Ia merupakan anak tertua dari Prabu Pandhu Dewanata dengan Dewi Kunthi. Dalam silsilahnya, ia satu ibu dengan Bratasena dan Arjuna. Sedangkan Nakula dan Sadewa merupakan saudara satu bapak tetapi lain ibu. Dan lima bersaudara ini dinamakan pandawa.
Nama lain dari Yudhistira adalah Puntadewa, Darmakusuma, Darmaputra, Dwijakangka. Sebenarnya ia merupakan putra dari Dewa Darma, sehingga dia juga dinamakan Darmaputra. Mengenai hal ini, diceritakan bahwa suatu hari, dengan kesaktiannya berupa Aji Adhityaherdaya, Pandhu meminta seorang anak kepada Dewa. Yaitu seorang anak yang jujur, sabar, bijaksana, dan adil. Sang Dewapun memperkenankan permintaan Pandhu. Kemudian turunlah Bhatara Darma dan ia menganugerahi seorang bayi kepada Dewi Kunthi yang kemudian diberi nama Yudhistira.
Yudhistira mempunyai pusaka jamus kalimasada (yang merupakan pemberian bathara Darma), Tumbak Tunggulnaga, dan Tumbak Kyai Karawelang.
Diceritakan, suatu hari Yudhistira dan saudara-saudaranya Pandawa, ditantang bermain dadu oleh Sengkuni. Karena kelicikan dari Sengkuni, Yudhistira kalah. Sehingga Pandawa harus dihukum dengan hukuman dibuang ke hutan selama tiga belas tahun. Dalam masa hukumannya itu, mereka tidak boleh berjumpa apalagi terlihat oleh Kurawa. Sebab bila hal itu terjadi, maka hukuman mereka akan ditambah selama tiga belas tahun lagi. Sehingga dalam masa hukuman, Pandawa selalu menyamar dan berganti nama. Yudhistira sendiripun berganti menjadi Dwijakangka.
Dalam lakon wayang Babad Wanamarta diceritakan, bahwa dalam masa hukumannya itu, pandawa mampu mendirikan sebuah kerajaan kecil bernama Indraprastha. Indraprastha kemudian juga hendak diambil alih secara paksa oleh para Kurawa. Dalam pewayangan diceritakan bahwa kejadian ini merupakan awal dari terjadinya perang Bharatayuda.
Selama hidupnya, Yudhistira hanya berperang sebanyak satu kali yaitu ketika berperang melawan Prabu Salya. Diceritakan dalam pewayangan bahwa menurut Kresna (pengayom Pandawa) tidak ada yang mampu untuk mengalahkan Salya kecuali Yudhistira. Sebab menurut hematnya, Salya hanya bisa dibunuh oleh ksatria yang berdarah putih. Kemudian setelah didesak, akhirnya Yudhistira bersedia untuk maju melawan Salya, dan Salyapun dapat dikalahkan.
Diceritakan pula, bahwa selama hidupnya Yudhistira tidak pernah berbohong. Ketika Durna menjadi Senopati Ngastina, tidak ada yang mampu mengalahkannya. Sebab selain karena Durna merupakan pendita yang sakti mandraguna, ia juga merupakan guru spiritualnya keluarga Pandawa. Sehingga Pandawa segan untuk berperang melawannya. Karena itu Kresna mencari akal. Menurut hematnya, Durna akan hilang kekuatannya bila mendengar anaknya (Aswatama) mati. Karena itu Werkudara disuruh untuk membunuh gajah Hestitama milik Bogodhenta. Kemudian disebarkanlah isu bahwa Aswatama mati. Mendengar isu tersebut Durna tidak percaya. Kemudian ia pergi menemui Yudhistira untuk menanyakan perihal kebenaran isu tersebut. Sebab Durna tahu bahwa selamanya Yudhistira tidak pernah berbohong.
Ketika ditanya seperti itu Yudhistira bingung, ditanya selalu diam saja, sebab takut untuk berbohong. Kemudian Kresnapun mencari cara. Yudhsitira disuruh menjawab pertanyaan Durna dengan pelan-pelan. Ketika sampai pada nama Aswatama, Yudhistira disuruh menggantinya dengan mengucap Hestitama secara pelan agar tidak terdengar jelas oleh Durna. “Inggih Bapa, Hestitama pejah ing paperangan.” Durna yang sudah tua dan pendengarannya sudah berkurang, mengira yang dikatakan Yudhistira itu Aswatama bukan Hestitama.
Spontan badan Durna berkeringat, badan menjadi lemas, meratapi anak satu-satunya yang disayanginya. Melihat keadaan Durna yang seperti itu, dengan sigap Werkudara memukul kepala Durna dengan Gada Rujakpala. Durnapun mati seketika.
Dalam pewayangan, Yudhistira digambarkan sebagai orang yang kalem. Di kepalanya ada sepotong kertas putih yang namanya jimat kalimasada. Jika dibuka konon ada tulisan syahadatnya. Ia merupakan lambang dari manusia yang berhati mulia. Berwatak samudera menguasai segala nafsu. Penyabar, tidak pernah marah, tidak pernah berbohong, serta bijaksana. Mengajarkan kepada manusia untuk selalu membiasakan berdzikir dengan dua kalimah tayyibah. Sebagai seorang ratu di negara Ngamarta, ia selalu bisa menjadi contoh bagi rakyat jelata. Sehingga rakyat merasa aman, makmur, tata titi tentrem kerta raharja, gemah ripah loh jinawi.
2.Werkudara
Werkudara itu merupakan putra dari Prabu Pandhu Dewanata dan Dewi Kunthi yang nomor dua. Werkudara merupakan jelmaan Bathara Bayu. Nama lainnya Bratasena, Bimasena, Haryasena, bayusiwi, Kusumadilaga, Jayalaga. Ia merupakan ksatria dari Jodhipati atau Tunggul Pamenang.
Nama-namanya yang banyak itu sebenarnya memiliki arti-arti tersendiri:
a.Bima: maknanya sangat setia pada budi satu yang luhur. Kalau sudah menajdi tekadnya, siapa saja akan sulit mempengaruhi, bahkan untuk mencapai cita-citanya itu, meskipun sampai mati akan ditempuh juga.
b.Bratasena: Maknanya pamungkas laku. Dia sering membersekan masalah.
c.Haryasena: Maknanya ketika lahir, masih berupa bungkus, dan dipecahkan oleh Gajah Sena.
d.Bayusiwi/Bayuputra: Karena Bima juga menjadi salah satu murid dan putra Bathara Bayu.
e.Kusumadilaga: Maknanya dia selalu menjadi bintang dan bunga dalam gelanggang apa saja, termasuk dalam pertempuran dan persidangan.
f.Jayalaga: maknanya unggul dalam setiap peperangan, kalau sudah berperang, dia malu dikalahkan9.
Istri Werkudara berjumlah tiga. Dewi Nagagini, Dewi Arimbi, dan Dewi Urangayu. Dengan Dewi Nagagini, berputra Raden Antareja. Dengan Dewi Arimbi, berutra Raden Gatutkaca. Dengan Dewi Urangayu, berputra Raden Antasena.
Raden Werkudara mempunyai pusaka bernama Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, dan Gada Lambitamuka. Aji-ajiannya berupa Bandung Bandawasa, Ungkal bener, Blabag Pengantol-antol, dan Bayu Bajra.
Busana yang dipakai Bima masing-masing memberi makna sebagai berikut:
a.Gelung Minangkara Cinandhi Rengga Endhek Ngarep Dhuwur Buri.
Maknanya Bima senantiasa waspada terhadap dirinya sebagai hamba yang harus pasrah dan berbakti kepada Tuhan yang Maha Esa.
b.Pupuk Mas Rineka Jarot Asem.
Maknanya Bima mempunyai watak dan budi pekerti luhur dengan selalu berlandaskan kebenaran dan pengetahuannya, karena sudah diambil putra oleh Sang Hyang bayu.
c.Sumping Pundhak Sinumpet.
Maknanya Bima selalu menguraikan ilmu ksempurnaan hidup (syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat), tetapi tidak pernah menyombongkan diri. Dia sering berpura-pura bodoh.
d.Anting-anting Panunggal Sotya Manik Banyu.
Maknanya Bima sudah waskitha ngerti sadurunge winarah ‘bijaksana tahu sebelum diajari’ serta tidak pernah khawatir terhadap segala apa yang akan terjadi.
e.Kalung Nagabanda.
Maknanya Bima adalah satria gagah perkasa dan prajurit sejati, lebih baik mati daripada berkhianat.
f.Kelat Bahu Blebar Manggis kang Binelah Sakendhagane.
Maknanya Bima berhati emas dan suci lahir batinnya. Dia tidak mau berjanji kalau tidak ada buktinya.
g.Gelang Candra Kirana.
Maknanya Bima senantiaa mengarahkan agar ilmu pengetahuannya terang benderang seperti bulan purnama bercahaya (purnama sumorot).
h.Kampuh Pancawarna Poleng Bang Bintulu Abang Ireng Kuning Putih miwah Wilis.
Maknanya Bima dalam hidupnya mampu mengendalikan panca inderanya terhadap godaan nafsu, sehingga dia bisa ikut serta dalam memayu hayuning bawana (menjaga keharmonisan alam).
i.Sabuk Cindhe Wilis Kembar Beranipun kang Binelah Numpang Wentis Kanan Kering.
Maknanya Bima bisa konsentrasi dalam bermeditasi (khusyu) sehingga hati dan pikirannya menyatu.
j.Porong Nagaraja Mungwing Dhengkul.
Maknanya Bima memegang kebenaran dan memantapkan ilmu diri terhadap kritik dan pendapat orang lain.10
Diceritakan, bahwa ketika Werkudara lahir, masih dalam keadaan terbungkus seperti telur. Semua senjata tidak ada yang sanggup untuk memecahkan telur tersebut. Yang bisa memecahkan hanya gajah Sena. Ketika telah pecah, bayi Werkudara diinjak-injak oleh Gajah Sena. Tetapi ajaibnya bayi Werkudara tidak mati bahkan bertambah besar gagah. Kemudian oleh Werkudara, Gajah Sena diserang dengan Kuku Pancanaka, mati seketika, dan jiwanyapun bersatu dengan Werkudara.
Werkudara tidak bisa basa (jawa: krama alus) kepada siapa saja, kecuali kepada Dewa Ruci. Walau tidak bisa basa, Werkudara mempunyai watak setia, hormat kepada guru, selalu membasmi setiap kejahatan, senang menolong, cinta kepada sanak saudara, dan adil. Ia tidak mau menyembah kepada siapa saja kecuali kepada Tuhan.
Sosoknya tinggi dan besar. Memakai gelang bernama supit urang. Mukanya selalu menunduk seperti orang sedang shalat. Dia tidak melayani orang lain jika pekerjaannya sendiri belum selesai. Ini mengisyaratkan bahwa shalat haruslah tenang, tidak boleh tengak tengok, sebab akan membatalkannya 11. Wayang Bima merupakan gambaran dari orang yang berwatak ksatria, berbudi luhur, suka menolong, adil, berani karena benar, membasmi kejahatan, berbakti kepada orang tua, dan berbakti kepada guru. Mengajarkan kepada manusia akan pentingnya mendirikan shalat lima waktu.
3.Arjuna
Arjuna merupakan putra nomor tiga dari prabu Pandhudewanata dengan Dewi Kunthi Talibrata. Sebenarnya ia merupakan titisan (putra) Bathara Indra.
Arjuna mempunyai beberapa nama yaitu Permadi/Pamadi, Indratanaya, Jahnawi, Kumbang Ali-ali, Dananjaya, dan Palguna.
Arjuna merupakan kstaria dari kerajaan Madukara. Ia mempunyai pusaka keris Pulanggeni, panah Pasopati, panah Sarotama, dan keris Kalanadhah. Ia juga mempunyai aji-aji Panglimunan atau Malayabumi dan Seipi Angin.
Arjuna mempunyai istri Wara Sembadra, Srikandhi, Larasati, Dewi Dersanala, dan lain-lainnya.
Sosoknya ideal (tidak tinggi tidak pendek). Merupakan lelananging jagad (tampan sekali), sehingga membuat para wanita terpikat oleh ketampanannya. Suka berpuasa, prihatin. Ini mengajarkan kepada manusia untuk selalu berpuasa, sebab dengan berpuasa maka jiwa akan bersih, muka berseri-seri, dan kuat menghadapi cobaan 12.
4.Nakula
Nakula merupakan putra dari Prabu Pandhu Dewanata dan Dewi Madrim. Sedangkan Dewi Madrim. Nama lain dari Nakula adalah Pinten dan Tripala. Nakula merupakan ksatria dari Sawojajar. Istrinya bernama Dewi Soka.
Dalam wayang digambarkan sebagai sosok yang suka bersedekah, infak, membantu fakir miskin. Mengajarkan kepada manusia untuk senang mengeluarkan zakat. Tidak serakah dan tamak.
5.Sadewa
Nama lain dari Sadewa adalah Tangsen atau Darmagranti. Ia merupakan anak dari Prabu Pandhu Dewanata dan Dewi Madrim.
Dalam lakon wayang Sudamala, raden Sadewa bisa mengubah wujud Bathari Durga ke wujud asalnya yaitu dari raksasa menjadi bidadari yang sangat cantik.
digambarkan sebagai sosok yang kaya raya. Akan tetapi tidak lupa diri. Ibadahnya tekun. Mengajarkan kepada manusia untuk melakukan ibadah haji ke baitullah ketika mampu (baik secara materi, kesehatan, dan keselamatan).
Selain menghadirkan tokoh-tokoh berkepribadian baik dan sesuai dengan kepribadian mayarakat jawa, dalam kesenian pewayangan juga menyuguhkan tokoh-tokoh yang tidak sesuai dengan kepribadian masyarakat jawa. Misalnya:
1.Tokoh Cakil. Disebut juga dengan Gendir Penjalin, Gendring Caluring, Eneng-eneng Kodheng, Kathang Mimis, Lentring Maya13. Dari nama-namanya tersebut jelas terlihat bahwa Cakil merupakan sosok yang jahat. Menghalangi setiap manusia yang hendak mencari jalan kebenaran. Dalam pedhalangan selalu muncul dalam perang kembang. Disebut dengan perang kembang, karena hendak melambangan dan mengajarkan kepada setiap manusia bahwa sudah menjadi hal yang wajar bila dalam hidup selalu saja diwarnai dengan ujian, cobaan, dan godaan. Menyadarkan kepada kita agar selalu dekat dengan Allah. MenjadikanNya sebagai tempat untuk bersandar dan meminta pertolongan.
2.Tokoh Duryudana. Disebut juga dengan Kurupati, Jakapitana, Gendarisuta, suyudana, Tripamangsah, Jayapitana14. Merupakan anak tertua dari para kurawa. Dalam pewayangan dijadikan sebagai sosok yang suka mengingkari janji, merampas barang milik orang lain, lalim, haus darah.
3.Tokoh Sengkuni. Disebut juga dengan Sakuni, Trigantalpati, Harya Suman, Suwalaputra15. Dalam pewayangan merupakan sosok yang licik. Merupakan jelmaan dari Bathara Dwapara atau Dewa Perusak, merupakan musuh kebenaran.
4.Tokoh Dursasana. Dikatakan berasal dari kata Dur yang mempunyai arti ala (jelek), dan Sasana yang berarti papan16. Jadi Dursasana itu lambang dari sumber kejelekan. Wataknya seperti watak setan. Angkuh, pamer, sewenang-wenang, selalu mengumbar nafsu.
5.Tokoh Dasamuka. Sosok yang hebat, sakti mandraguna, akan tetapi angkuh, sewenang-wenang. Ketika dilahirkan oleh ibunya Dewi Sukesi, rupanya berjumlah sepuluh, menakutkan, warna mukanya kemerah-merahan, bersiung, dan kulit badanya biru menyeramkan17. Melalui sosok Dasamuka, kita diajarkan agar tidak berperilaku seperti dia.. Jangan kita serakah. Berbudilah dengan berbudi pekerti yang luhur, dan sebagainya.
Dari penjelasan mengenai beberapa watak tokoh wayang di atas, tentunya sarat dengan muatan filosofis, khususnya moral pedagogis. Selain itu dapat dipahami bersama bahwa kesenian wayang merupakan simbol kehidupan sehari-hari masyarakat jawa. Bagaimana mereka berinteraksi, bagaimana pola berpikir mereka, bagaimana menyikapi adanya pluralitas, kesadaran adanya realitas tentang warna warni kehidupan dan bagaimana menyikapinya, semua jelas tercermin dan termainkan dalam setiap pakeliran wayang. Ia merupakan sebuah kesenian yang berakar dari realitas nilai-nilai masyarakat jawa. Bahkan oleh sebagian masyarakat jawa, ia merupakan ‘wewayangane ngaurip’(bayangan hidup manusia dari lahir hingga mati) seluruh manusia di dunia.
Menurut Redi Panuju Wayang adalah refleksi dari kebudayaan jawa, dalam arti pencerminan dari kenyataan kehidupan, nilai dan tujuan kehidupan, moralitas, harapan, dan cita-cita kehidupan orang jawa. Melalui cerita wayang masyarakat jawa memberi gambaran kehidupan mengenai bagaimana hidup sesungguhnya (das sein) dan bagaimana hidup itu seharusnya (das sollen)18.
Wayang sesuai dengan asal katanya yaitu wayang, ayang-ayang, wewayang, atau bayang-bayang. Dalam bahasa jawa dikatakan rerupan sing kedadeyan saka barang sing ketaman ing sorot (pepadhang) (rupa yang tercipta dari sesuatu yang terkena sorot sinar)19. Dari nama wayang itu sendiri sudah terdeteksi makna filosofis yang cukup mendalam, tentang kesenian wayang yang menjadi cermin dan penegas dari adanya sebuah kehidupan masyarakat jawa yang unik dan penuh dengan nilai-nilai filosofis. Ia merupakan sebuah dimensi kecil yang tercipta untuk menggambarkan dan menegaskan eksistensi dari satu dimensi besar yang di dalamnya penuh dengan kemajemukan dan perbedaan cara pandang dalam menyikapi lika-liku kehidupan. Selain itu juga merupakan sebuah upaya untuk melestarikan ajaran-ajaran yang tercipta dari sebuah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi kebersamaan dan kemuliaan. Menurut penelitian DR. Hazim Amir, di dalam wayang ada dua puluh nilai dasar yang kesemuanya itu merupakan atribut untuk mencapai kesempurnaan hidup, mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan beramal saleh kepada sesamanya. Aksiologi wayang dikembangkan dalam dua unsur pokoknya yaitu etika dan estetika.
Sejarah mengenai asal mula munculnya wayang itu sendiri belum ada kejelasan. Hanya saja ada sebuah prasasti peninggalan raja Balitung pada tahun 907 M yang di dalamnya disebutkan tentang seorang dalang yang menerima upah dari hasil kerja mendalangnya20. Ini menunjukkan, wayang merupakan hasil kebudayaan masyarakat jawa kuno, yang telah ada jauh sebelum islam masuk ke tanah jawa. Sebab selama ini, wayang di jawa selalu identik dengan dakwah islam, padahal sesungguhnya ia merupakan hasil kebudayaan masarakat Hindu Budha yang di dalamnya secara jelas bermuatan nilai-nilai ajaran-ajaran kedua agama tersebut.
Penelitian mengenai sejarah asal mula wayang itu sendiri memang telah banyak dilakukan oleh para ahli. Akan tetapi nampaknya belum memberikan kontribusi yang menggembirakan dan memuaskan. Kesimpulan sementara mereka mengenai masalah ini adalah bahwa kesenian wayang pada dasarnya merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dinamisme. Diketahui bersama bahwa masyarakat jawa zaman dahulu merupakan masyarakat yang sangat mengagungkan nenek moyang. Nenek moyang mereka disucikan dan dikeramatkan layaknya tuhan. Sehingga dalam masyarakat jawa kuno kita mengenal term ‘hyang’ atau ‘dahyang’.
Untuk menjaga hubungan vertikal (hubungan antara masyarakat dengan hyang) maka masyarakat jawa menggunakan medium yang disebut ‘syaman’. Dan diduga, kesenian wayang inilah yang menjadi media untuk mengenal hyang. Wayang diposisikan sebagai hyang sedangkan dhalang diposisikan sebagai syaman. Sehingga baik wayang maupun dhalang merupakan sosok yang sangat dihormati, dianggap mempunyai kekuatan mistik, dan sebagainya. Bahkan sebelum memainkan wayang, seorang dhalang seringkali melakukan ritual khusus terlebih dahulu, sebab dipercaya bisa mengusir roh-roh jahat (dalam masyarakat jawa dikenal dengan bathara kala). Sehingga ada pula yang mengatakan bahwa wayang berasal dari kata ‘wad an hyang’ yang artinya leluhur.
Saat ini peran dhalang dalam kehidupan masyarkat Jawa masih sangat penting dan termasuk dalam bagian status sosial yang tinggi dan dimuliakan. Begitu juga dengan anak keturunan dhalang, juga menempati posisi yang dimuliakan. Bahkan pada kasus-kasus tertentu, masyarakat jawa masih mempercayai bahwa dhalang mempunyai barakah, sehingga tidak sedikit dari mereka yang meminta berkah, misalnya minta air yang telah disuwuknya (didoakannya).
Dari sini agaknya kita juga bisa mengatakan pula bahwa pernyataan Sigmund Frued yang menyatakan bahwa kebudayaan berakar dari dorongan seks semata tidaklah seluruhnya benar. Sebab kebudayaan wayang jawa tercipta karena didorong oleh kebutuhan spiritual. Dan bahkan dorongan itu semakin terlihat jelas, ketika kita menengok isi dan fungsi awal dari kesenian wayang kulit itu sendiri.
Agaknya menarik juga pembahasan mengenai asal usul wayang ketika dikaitkan dengan masalah spiritual ataupun kepercayaan. Sebab bila kita menengok sejarah, sebenarnya tidak hanya masyarakat jawa saja yang menggunakan media tertentu untuk mengenal tuhannya. Di kalangan bangsa arab jahiliyahpun media semacam itu juga berlaku dan diagung-agungkan oleh mereka. Hanya saja dalam masyarakat arab kita tidak dikenalkan dengan nama-nama seperti Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal, dewa, atau dewi, tetapi kita akan mengenal berhala (latta, uzza, dsb) sebagai perwujudan ataupun media untuk mengenal tuhan. Tetapi setidaknya antara masyarakat jawa dengan masyarakat arab mempunyai satu persamaan yaitu sama-sama berambisi untuk mengenal tuhan dengan sekenal-kenalnya. Tetapi tentu saja ketika dikembalikan ke dalam syariat islam, ambisi-ambisi dan tindakan-tindakan semacam itu merupakan sesuatu yang dilarang dan merupakan dosa besar (syirik).
Dalam Kitab Centini disebutkan mengenai asal-usul dari kesenian wayang. Dikatakan bahwa kesenian wayang mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang (Kediri) sektar abad ke 10. Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya yang sengaja digambar di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
Ketika islam datang, islam mengadopsi kesenian kuno ini. Dan di sinilah sesungguhnya letak kehebatan dari islam. Masuknya agama islam pada sekitar abad 15 telah membawa perubahan yang cukup besar dalam dunia pewayangan. Salah satu faktornya karena islam merupakan agama yang mampu mengajarkan toleransi secara baik. Islam sangat peduli terhadap hal-hal yang melibatkan hubungan-hubungan horisontal (manusia dengan manusia) khususnya yang berkaitan dengan kebersamaan dan keselarasan hidup. Dalam menyikapi adanya kebudayaan yang telah menjamur dalam masyarakat jawapun, islam sangat lihai dalam mengambil sikap. Hal ini sangat jelas terlihat pada kasus pelestarian seni wayang kulit itu sendiri, di mana Walisongo yang notabene merupakan ulama-ulama yang bertugas untuk menyebarkan islam ke seluruh pelosok tanah jawa, mampu mengadakan akulturasi dengan sangat baik.
Kita dapat mengetahui, perbedaan kesenian wayang sebelum diberi jiwa islam dan sesudah diberi jiwa islam. Sebelum diberi jiwa islam, kesenian wayang adalah merupakan kesenian yang:
1.Kesenian yang kental dengan nilai-nilai ajaran hindu dan budha.
2.Bentuk wayang itu sendiri yang pada mulanya berbentuk menyerupai manusia. (arca-arca kecil). Sedangkan dalam islam, hal itu diharamkan.
3.Cerita-cerita wayang yang mengandung kemusyrikan.
4.Wayang sebagai media untuk mengenal tuhan (Hyang) dalam masyarakat jawa kuno.
Setelah diberi dengan jiwa islam, wayang berganti menjadi kesenian yang:
1.Kesenian wayang yang sesuai dengan syariat islam.
2.Bentuk wayang yang semula realistik proporsional distilir menjadi bentuk imajinatif seperti yang terlihat sekarang ini.
3.Merupakan media dakwah islam yang sangat baik.
4.Merupakan kesenian yang mengandung ajaran-ajaran, nasehat, petuah, yang sangat penting bagi pendidikan generasi muda khususnya pada masyarakat jawa.
5.Kekuatan utama budaya wayang yang semula berasal dari kandungan mistisnya dirubah sehingga berasal dari kandungan nilai falsafahnya.
Dengan kata lain, seni wayang ketika telah diberi nafas islam menjadi berubah secara isi dan fungsinya. Ia menjadi produk akulturasi yang didalamnya dipenuhi nilai-nilai falsafah dan pandangan hidup yang sesuai dengan islam. Bahkan lebih lanjut lagi, kesenian wayang telah mampu memberikan nilai lebih yang sangat berharga bagi kemajuan peradaban khususnya bagi pembinaan akhlak spiritual. Sebab di dalamnya terdapat berbagai cerita-cerita yang menceritakan perjalanan hidup seorang hamba mencari “kesempurnaan hidup” yang sarat dengan petuah dan nasehat-nasehat penting.
Di sini terkesan bahwa kesenian wayang sangat membuka diri dalam menerima kebudayaan asing. Dan itu memang dibenarkan oleh para ahli. Bahwa kesenian wayang sangat mampu untuk menerima dan menyerap kebudayaan asing, sehingga eksistensi dan budaya wayang menjadi semakin kuat. Ini dikarenakan dalam dirinya ada kekuatan "hamot, hamong, hamemangkat". Hamot adalah adanya keterbukaan dan toleransi untuk menerima pengaruh dan masukan dari kebudayaan asing yang mempunyai pengaruh lebih besar atau lebih kecil darinya. Hamong adalah kemampuan untuk menyaring nilai ataupun unsur-unsur baru tersebut sesuai dengan karakteristik wayang itu sendiri. Hamemangkat adalah menjadikan suatu nilai menjadi nilai baru yang menarik.
B. Filsafat Wayang: Mencari Perfection (Kasampurnan) Hidup
Dalam mengkaji kesenian wayang secara sederhana, terkandung satu tujuan yang sederhana pula namun mempunyai nilai penting bagi kehidupan dan pola pikir mereka. Di mana masyarakat diharapkan bisa melihat cakrawala baru, cara pandang dan bersikap, dan menentukan kebijaksanaan untuk mengatasi tantangan dan kesulitan hidup melalui pertunjukan wayang kulit yang sering dimainkan semalam suntuk21. Tujuan ataupun harapan ini muncul karena dalam setiap lakon wayang, terdapat serangkaian kisah-kisah simbolis yang menarik akan tetapi juga sarat dengan nilai-nilai berharga. “Satu paket harta terpendam” itulah yang seharusnya menjadi sorotan dan kajian bersama, yang harus digali dan dipikirkan secara tenanan (sungguh-sungguh).
Misalnya dalam lakon Bima Suci. Dalam cerita itu diceritakan bagaimana sosok Arjuna (Janaka) (salah seorang dari pandawa) dengan niat dan tekad bulat, pergi menempuh perjalanan jauh untuk menuntut ilmu kepada kakaknya Bima (Werkudara). Mudah ditebak dalam cerita tersebut, di mana Arjuna dihadapkan dengan berbagai rintangan dan marabahaya yang sangat hebat dan berkelanjutan. Diantaranya Arjuna dihadang oleh segerombolan buto (raksasa) yang dipimpin oleh Dityakala Caranggupita, yang merupakan anak buah Raja Karungkala dari kerajaan Kenceng Barong22. Akan tetapi dengan kesabaran dan ketabahannya, semua rintangan dan marabahaya dapat dilaluinya dengan baik.
Singkat cerita, setelah berhasil melalui rintangan-rintangan tersebut, akhirnya Arjuna dengan didampingi Punakawan berhasil bertemu dengan Bima dan belajar “ngilmu gaib” (ilmu kebatinan) kepadanya.
Dalam “ngangsu ngelmu” (menimba ilmu) tersebut, Bima terlebih dahulu menyampaikan beberapa persyaratan yang harus selalu diingat dan ditunaikan oleh Arjuna:
1.Seorang murid harus percaya23. Maksudnya, bahwa semua yang disampaikan sang guru harus diterima dengan tulus ikhlas dan dengan lapang dada. Selain itu juga harus didasari atas kepercayaan yang kuat bahwa ilmu yang diajarkan itu merupakan ilmu yang bermanfaat.
2.Seorang murid harus bersedia dan berani melaksanakan ilmu yang diterima24. Maksudnya, bahwa semua ilmu yang didapat harus diamalkan dengan baik walaupun itu sangat berat dan sukar. Sebab mempunyai ilmu tetapi tidak diamalkan itu sama saja dengan orang bodoh yang tidak berilmu.
3.Seorang murid harus berani menghindari setiap larangan25. Maksudnya, bahwa ketika telah mengetahui suatu ilmu, jangan menyalahgunakan ilmu itu. Sebab Tuhan akan menghukum orang-orang yang menyalahgunakan ilmu dengan hukuman yang berat. Begitu pula, tanggungan bagi orang yang berilmu sangatlah berat dibandingkan tanggungan bagi orang-orang yang belum berilmu.
Setelah menyanggupi peryaratan-persyaratan yang diajukan oleh Bima, Arjuna segera diwejang dengan berbagai ilmu kebatinan. Diantaranya tentang hakekat kejadian manusia, hakekat Tuhan sebagai penguasa alam, hakekat kehidupan sebagai sesuatu yang fana, tentang budi pekerti (akhlakul karimah), dan sebagainya. Semua itu tertumpu pada satu tujuan, yaitu untuk mendapatkan kebenaran sejati yang merupakan anugerah terbesar dari Sang Hyang Tunggal.
Bima suci dalam posisinya sebagai seorang guru, hendak menyampaikan pelajaran kepada Arjuna bahwa untuk mendapatkan kesempurnaan hidup, seseorang harus senantiasa suci lahir batin. Selain itu harus senantiasa memohon kepada Sang Hyang Tunggal (Allah) sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa agar dirinya selalu tinarbuko (terbuka diri) sehingga dapat dengan mudah menerima ilmu-ilmu yang diajarkan.
Dari sekelumit cerita di atas, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa dalam filsafat jawa khususnya filsafat pewayangan, selalu saja menghadirkan ajaran-ajaran yang mendorong manusia untuk selalu berusaha mendapatkan kesempurnaan hidup. Ajaran tentang sangkan paraning dumadi menjadi salah satu ajaran pokok yang selalu mewarnai setiap lakon pewayangan. Ini mengindikasikan bahwa dalam posisinya sebagai pandangan hidup, filsafat pewayangan mempunyai tujuan untuk mendapatkan kesempurnaan,‘nggayuh kasampurnan’, mengajarkan manusia agar menjadi insan kamil yang benar-benar kamil. Dan dipungkiri atau tidak, filsafat wayang juga sangat berkaitan erat dengan kehidupan kaum sufi (tasawuf). Khususnya dalam mendapatkan kesempurnaan hidup ini.
Dalam tasawuf, istilah insan kamil mempunyai definisi yang beragam. Ibnu Arabi misalnya, mendefinisikan insan kamil sebagai manusia yang sempurna karena adanya realisasi wahdah asasi dengan Tuhan yang mengakibatkan adanya sifat-sifat dan keutamaan Tuhan padannya. Sedangkan Jalaluddin Rumi mendefinisikan Insan kamil sebagai seseorang yang sadar tentang kekuatannya yang transendent dan abadi yang tak diciptakan dan bersifat ilahi.26
Mewujudkan insan kamil merupakan tujuan utama para sufi. Untuk memperolehnya, seseorang harus menjalani empat perjalanan spiritual yaitu syariat, tarikat, hakekat, dan makrifat. Begitu pula, dalam dunia tasawuf terdapat tahapan-tahapan dalam mencari kesempurnaan hidup. Yaitu dengan bertobat, zuhud, sabar, tawakal, cinta, ma`rifah, dan terakhir ittihad (bersatu dengan tuhan)27. Sedangkan menurut Dr. Muhammad Iqbal, untuk menjadi insan kamil maka seseorang harus selalu berusaha untuk memperkuat kepribadian. Adapun hal-hal yang dapat memperkuat kepribadian menurut beliau ada enam, yaitu:
1.Cinta kasih.
2.Faqr yaitu tidak cinta kehidupan duia dan apa-apa yang menjadi hiasannya.
3.Keberanian.
4.Sikap tenggangrasa
5.Kabil halal.
6.Mengerjakan kerja kreatif dan asli.
Jika dihubungkan dengan dunia pewayangan, Pandawa sebagai lima tokoh wayang pembela kebenaran, melambangkan perjalanan hidup manusia mencari kesempurnaan hidup. Misalnya saja kehidupan Arjuna sebagai seorang ksatria pinandhita, mencerminkan betapa sulitnya melakukan lampahing raga (laku badan) berupa prihatin, mengekang hawa nafsu, dan semangat untuk membela kebenaran. Ataupun lampahing budi dan lampahing manah yang tercermin dalam sikap Yudhistira sebagai seorang ksatria yang menjunjung tinggi moralitas. Semua lampah atau laku ini selaras pula dengan tujuan manusia dalam menuju insan kamil sesuai dalam kerohanian islam.
Dalam lakon wayang misalnya dalam lakon Bima suci di atas, juga terdapat perjalanan spiritual seperti ini. Yang pada akhirnya sampai kepada penyatuan dengan tuhan. Dalam ajaran jawa dikenal dengan manunggaling kawulo-Gusti (bersatunya hamba dengan tuhan), dalam ajaran Hindu dikenal dengan bersatunya antara Atman dan Brahman (bersatunya jagad kecil dengan jagad besar), atau dalam tasawuf islam dikenal dengan konsep wahdatul wujud28.Filsafat wayang juga mengutamakan kebijaksanaan. Hal ini sesuai dengan arti dari filsafat itu sendiri yang berarti cinta kebijaksanaan. Dalam setiap lakon wayang, orang yang wicaksana (bijaksana) disebut juga sebagai jalma sulaksana, waskhita ngerti sadurunge winarah, atau jalma limpat seprapat tamat29. Lakon Bima Suci mengajarkan beberapa hal penting kepada manusia khususnya yang berkaitan dengan ajaran ketuhanan. Bahwa pada dasarnya eksistentsi yang paling dalam adalah kodrat Ilahi.30Sehingga manusia diajarkan untuk selalu pasrah dan memohon hanya kepada Tuhan.
Islam mengajarkan pula perihal tawakal atau berserah diri kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Menurut Dr. Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji, islam menjelaskan term tawakal sebagai salah satu sarana terkuat di antara sarana-sarana yang bisa mendatangkan kebaikan serta menghindari kerusakan. Tetapi bukan berarti tawakal meniadakan prinsip sebab musabab dalam penciptaan serta urusan, sebagaimana pendapat yang dilontarkan oleh golongan ‘Mutakallimin’ seperti Al Asyari dan lainnya, dan juga seperti pendapat yang dilontarkan oleh para ahli Fiqh dan golongan shufi.31Tetapi tawakal merupakan sebuah bukti pengakuan atas dua kalimah syahadah bahwa tiadalah yang Maha Kuasa kecuali Allah semata. Ia yang melidungi seluruh alam dan Ia juga yang akan menjaganya.
Dalam lakon lain, misalnya lakon Bimapaksa, juga menceritakan tentang perjalanan spiritual mencari kesempurnaan hidup. Dikisahkan, Bima telah mampu mencapai drajat artha winadhara-moksa, sehingga eksistensinya dapat melebihi kekuasaan para dewata yang mengandalkan gemerlapnya dunia jasmani-material lahiriah. Dalam hal ini Bima sudah sederajat dengan Sanyasin, Siddaresi-Maharesi-Brahmaresi. Dalam padepokan argakelasa Bima membeberkan ngelmu sangkan paraning dumadi, ilmu kasampurnan, dan kawruh kabegjan32
Inilah sekelumit tentang cerita wayang yang di dalamnya menyuguhkan berbagai tontonan sekaligus tuntunan yang sangat berharga. Walau tidak dipungkiri, bahwa nuansa Hindu-Budha dan animisme-dinamisme masih sangat terasa dan mendominasi, tetapi di dalamnya juga sarat dengan nilai-nilai islami khususnya tentang moralitas. Dan setidaknya ke depan, muatan islam inilah yang perlu ditonjolkan sebagai nilai utama yang terdapat pada kesenian wayang. Sebab, keinginan Walisongo itu sendiri pada dasarnya hendak menjadikan wayang sebagai media untuk memberikan kepuasan biologis dan batiniah. Pembelajaran mengenai etika dan budi pekerti yang tidak hanya bersifat normatif akan tetapi juga aplikatif, edukatif dan tidak indoktrinatif. Menyuguhkan pengajaran yang baik, sederhana, dan mudah dicerna penonton33.
Ketika manusia mendapatkan kebenaran sejati, maka secara otomatis ia akan mempunyai nilai-nilai keluhuran di dalam dirinya. Sebab fungsi dari ‘kebenaran sejati’ adalah mampu untuk mengontrol setiap perilaku manusia. Secara umum, manusia yang telah mendapatkan kebenaran sejati, ia akan:
1.Selalu bertingkah laku terpuji.
2.mampu menahan setiap gejolak hawa nafsu
Ketika menonton pagelaran wayang kulit, dalam diri penonton seharusnya juga terjadi proses berfikir secara rasional, kemudian dilanjutkan dengan proses pembersihan dan penyucian jiwa. Dengan kata lain, setelah menonton pagelaran wayang kulit, penonton diharapkan bisa bertambah kuat keimanannya dan bertambah baik moralnya. Pembinaan yang seperti inilah yang sekarang ini sudah jarang ditemui dalam setiap pentas pagelaran wayang kulit. Tetapi setidaknya, sentuhan-sentuhan suci seperti ini belum hilang semuanya, hanya saja perlu diadakan penguatan dan pemantapan.
C. Wayang: Sebagai Media Pendidikan
Media seringkali diartikan sebagai semua bentuk perantara untuk menyebar, membawa, atau menyampaikan sesuatu pesan (message) dan gagasan kepada penerima. Karena itu media pendidikan dapat diartikan sebagai semua bentuk perantara yang digunakan untuk menyebarkan atau menyampaikan pendidikan kepada penerima34.
Teknologi modern telah merubah segalanya. Jarak yang jauh mampu ditempuh hanya dalam hitungan menit. Komunikasi merambat lintas negara sehingga orang nan jauh di mato dapat kita hubungi dengan baik. Tidak hanya di perkotaan, teknologi telah mampu menembus pedesaan dan perkampungan. Ini semua merupakan anugerah yang diberikan Allah SWT kepada kita dan kewajiban kita adalah memanfaatkannya ke dalam hal-hal positif. Semua fenomena yang terjadi ini sering disebut dengan globalisasi.
Banyak akibat yang ditimbulkan dari adanya globalisasi khususnya yang banyak menjadi sorotan adalah penemuan teknologi audio visual (tv, internet, dll). Sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa di antara dampak dari adanya teknologi audio visual adalah mampu mempengaruhi pola pikir seseorang. Selain itu juga ada hubungan antara menikmati audio visual dengan sikap agresif, anti social, bahkan menurut seorang pakar dari barat bernama Silverman Wathins mampu menimbulkan kecenderungan atas prevensi seksual. Mewabahnya perzinaan, pemerkosaan, masturbasi, dan sebagainya dinilai timbul dari adanya teknologi audio visual juga.
Dari sini ada beberapa permasalahan muncul, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan keberadaan pendidikan islam di Indonesia. Pertama, Apa yang harus kita lakukan dalam upaya mengantisipasi sedini mungkin gejala distorsi moral akibat media audio visual? Kedua, Bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mengangkat citra islam melalui pendidikan islam? Seperti kita ketahui bersama, saat ini umat islam adalah mayoritas dalam hal jumlah akan tetapi mereka adalah minoritas dalam hal pengaruh (memegang kekuasaan). Di mana di sisi lain, negara barat merupakan satu-satunya pemegang kunci kekuasaan, sains, dan teknologi. Sehingga sering terjadi seorang muslim yang belum kuat imannya harus merelakan diri menjadi pembela fanatik barat dan membuang nilai-nilai moral islam yang berada dalam dirinya. Inilah permasalahan yang harus dibedah dan dicarikan solusinya saat ini.
Wayang, sebagai sebuah kesenian yang menyuguhkan hiburan dan tuntunan, sedikit banyak akan menjawab persoalan ini. Sebab dipungkir atau tidak, sejarah telah berkata bahwa wayang pernah menjadi media pendidikan jitu yang dipakai oleh Walisongo untuk menyebarkan dakwah islamiyah ke tanah jawa. Sehingga setidaknya kita bisa berkaca ataupun bercermin dari metode dakwah Walisongo melalui media kesenian wayang kulit ini, sebagai bentuk sumbangsih bagi perbaikan pendidikan Indonesia.
Memang tidak dipungkiri bahwa wayang merupakan produk import dari bangsa India. Namun bukan berarti masyarakat jawa menerima begitu saja kebudayaan ini, mereka tidak hanya duduk sebagai penonton, tetapi kemudian mereka juga berusaha untuk mengambil alih peran sebagai pelaku dengan menyusupkan nilai-nilai lokal pada setiap lakon. Dan nilai-nilai itulah yang harus digali oleh masyarakat luas sebagai bentuk pendidikan yang baik tetapi juga unik.
Wayang juga sarat dengan kandungan nilai yang sakral. Nilai yang ada itu sangatlah banyak, tetapi kesemuanya tidak pernah lepas dari nilai-nilai pendidikan. Dengan kata lain, kesenian wayang disamping sebagai media hiburan ia juga merupakan media utama masyarakat jawa kuna dalam memperoleh pendidikan. Pendidikan yang diajarkannya adalah corak pendidikan yang menekankan pada pembinaan mental spiritual, dan budi pekerti luhur. Sebab ini berguna untuk menciptakan hubungan harmonis antara jagad gumelar (makrokosmos) dan jagad gumulung (mikrokosmos)35.
Pendidikan yang ditekankan dalam kesenian wayang adalah pendidikan seumur hidup. Dimulai ketika manusia lahir ke dunia. Ia sudah harus bisa memahami bahwa dirinya merupakan khalifah fil ardhi dengan misi khusus untuk memelihara dan mengatur bumi seisinya. Dalam mengarungi kehidupan ini, manusia juga diingatkan bahwa mereka dihadapkan kepada sebuah kehidupan yang tercipta oleh adanya kekuasaan Yang Maha Besar (Tuhan), sehingga selain mengajarkan penghormatan kepada dirinya (sesama manusia), wayang juga mengajarkan kepada manusia tentang peghormatan kepada sesama makhluk hidup dan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Wayang juga bisa dijadikan sebagai media pendidikan watak. Dalam setiap lakon wayang, selalu terdapat bagaimana tata cara menghormati guru, menghormati orang yang lebih tua, dan menghormati orang yang lebih muda.
Seorang guru misalnya, harus memberikan nasehat baik kepada murid-muridnya, tidak sombong, tidak sewenang-wenang. Abdi (Punakawan) harus selalu menghormat, unggah-ungguh, ketika diajak berbicara dengan bendara (tuan), mendampingi sang tuan kemana saja, baik dalam susah maupun senang. Tetapi Abdi juga harus berani menasehati dan mengingatkan ketika tuannya melakukan kesalahan.
Adanya hubungan yang harmonis seperti inilah yang nantinya akan membentuk nilai-nilai keluhuran sejati. Dan dengan adanya nilai-nilai keluhuran ini, manusia diharapkan bisa menjadi makhluk sadar. Sadar dalam arti menyadari sekaligus memahami akan hakekat kodratnya, yaitu: sebagai makhluk pribadi, sebagai makhluk sosial, dan sebagai makhluk Tuhan36.
Secara garis besar, nilai-nilai keluhuran dalam wayang adalah sebagai berikut:
1. Nilai Keadilan.
Dalam lakon wayang terdapat pendidikan mengenai keadilan. Misalnya Arjuna yang beristri banyak mampu membahagiakan semua istrinya, tidak pilih kasih, dan selalu adil kepada mereka.
Contoh lainnya yaitu Kresna sebagai pangayoming pandawa tidak pernah membedakan antara si kaya dengan si miskin, penguasa dengan rakyat jelata. Semua ia samakan hak dan kewajibannya. Dan ketika mereka berbuat salah maka mereka harus dihukum sesuai dengan kesalahannya. Karena itu Kresna dijuluki sebagai seorang pemimpin adil, atau dalam ajaran jawa disebut ratu adil.
Ratu adil menurut masyarakat jawa memiliki fungsi sebagai pembaharu dan penyelenggara tertib kosmik.37Ia juga merupakan sosok yang mampu mengelola, menyelaraskan,serta mempersatukan keberagaman golongan, kepentingan, dan tingkatan sosial masyarakat sehingga kebijakannya akan memuaskan semua lapisan, sehingga dapat dikatakan wadya panggawa sujud sadaya, tur padha rena prentabe (semua pihak taat serta merasa puas terhadap kebijaksanaannya). Dalam filsafat jawa juga disebutkan bahwa ratu adil memiliki gelar Natanagara yakni orang yang mampu menata negara sehingga makmur, nyaman, tentram, dan adil.38
Bila dikaitkan dengan ajaran moral islam, keadilan merupakan sesuatu yang sangat penting dan harus dijunjung tinggi serta diterapkan dalam setiap kehidupan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(An Nisa: 58).
2. Nilai kedermawanan.
Dalam pewayangan, sosok Dewi Durgandini adalah sosok orang dermawan. Ia selalu membantu orang yang membutuhkan walaupun secara materi ia sendiri kekurangan. Menurutnya bahwa siapa yang senang menolong orang lain maka perbuatan itu tidak akan hilang tanpa bekas.
Serat panitisastra, sebagai sebuah serat yang sarat akan ajaran-ajaran moral jawa juga menegaskan akan pentingnya nilai kedermawanan ini.
Sakathahipun para manungsa ingkang sami sugih arta lan kencana punika prayogi asring tetulungan dhumateng tiyang ingkang kawlas asih, kareksaning arta punika ingkang minangka betengipun amung dedana, sinten, ingkang kumet dhateng tiyang ingkang kaluwen lan kasisahan, seastu badhe angsal bebenduning dewa, tiyang keket dhateng arta punika upami griya mboten mawi pager.39
Terjemahannya:”Sebanyak-banyaknya manusia yang kaya uang dan emas sebaiknya sering menolong kepada orang yang perlu dibelas kasihani, terjangnya uang itu yang menjadi bentengnya hanya suka membantu, siapapun yang kikir terhadap orang yang kelaparan dan kesusahan, sungguh akan memperoleh amarah dewa, orang yang pelit terhadap uang itu laksana rumah tanpa pagar.”40
3. Nilai Kebijaksanaan.
Dalam pewayangan, seorang ksatria selalu berusaha untuk menjadi orang bijaksana. Sebagai titisan dewa, Kresna merupakan sosok yang sangat bijaksana sehingga banyak orang yang ingin meniru kepribadian dan kehidupannya.
Sook Arjuna dalam pewayanganpun juga pantas bila disebut manusia bijaksana. Sikapnya yang mencerminkan sikap seorang ksatria dapat dirumuskan dengan sebuah ungkapan anteng meneng sugeng jeneng. Maksudnya dalam ketenangan ia bisa bertindak, dalam diamnya ia memberikan hasil, dan dalam setiap tindakannya ia membuat orang merasakan kepuasan bathin. Arjuna adalah sosok ksatria yang tampan jasmani rohaninya. Dalam istilah di agama Budha Arjuna disebut sang Tapa (yang hidupnya bersahaja dan sederhana).41
C. Akulturasi dan Asimilasi Islam-Jawa
Semenjak menginjakkan kakinya ke tanah jawa, islam sudah mulai menyadari bahwa masyarakat jawa dan kesenian wayang merupakan layaknya ‘sepasang kekasih’ yang saling mendukung eksistensinya satu sama lain, sehingga mustahil untuk dipisahkan. Menyadari akan adanya hal seperti ini, islam di jawa dengan Walisongonya mempunyai inisiatif untuk menjadikan kesenian wayang sebagai media dakwah.
Walisongo, terutama sunan Kalijaga, memodifikasi bentuk dan cerita wayang agar sesuai dengan ajaran islam. Sebab menurut mereka, sebelumnya kesenian wayang sarat dengan bentuk-bentuk kemusyrikan. Misalnya saja terdapat cerita-cerita tentang dewa-dewa, arwah-arwah, pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang, dsb. Semuanya dirubah secara pelan-pelan namun pasti menjadi bentuk dan cerita yang bernuansa islami. Misalnya saja Sunan Kalijaga menggubah beberapa lakon wayang dan diantaranya yang terkenal adalah lakon Jimat Kalimasada, Dewa Ruci, dan Petruk dadi ratu.42 Usaha lainnya yaitu mengubah sistem hirarki kedewaan yang menempatkan dewa-dewa itu sebagai pelaksana perintah Tuhan saja dan bukan sebagai Tuhan.43
Walisongo sebagai ulama-ulama sentral di jawa, selain sebagai seorang guru, mursyid, kyai, pembimbing rohani, juga terkenal sebagai para budayawan yang mempunyai pandangan luas. Mereka memahami bahwa untuk mengubah pendirian masyarakat jawa terhadap kepercayaan Hindu Budha, harus dilakukan dengan cara yang baik. Cara yang baik di sini maksudnya adalah cara yang disukai masyarakat jawa. Cara yang tidak mengusik secara paksa eksistensi budaya mereka. Akan tetapi sedikit demi sedikit membuka dialog batin, mengadakan akulturasi dan asimilasi, serta pendekatan-pendekatan secara santun. Sistem politik yang selalu dipakai Walisongo adalah sistem politik ‘ojo nabrak tembok’ (tidak menentang arus).
Menurut Teguh, M.Ag dalam Moral Islam dalam Lakon Bima Suci, dakwah sunan Bonang dan sebagian besar walisongo adalah dakwah kultural.44 Semboyan yang mereka usung adalah “tut wuri hangiseni” yang berarti dalam berdakwah, mereka selalu memanfaatkan kultur jawa. Peluang-peluang yang ada mereka pergunakan dengan sebaik-baiknya sehingga terciptalah perpaduan antara jawa dengan islam. Seperti misalnya sunan Bonang yang memanfaatkan gending jawa, kebiasaan ataupun kesenangan orang jawa, suluk atau tembang tamsil, wayang, dan sebagainya. Dengan kata lain secara konseptual metode dakwah sunan Bonang sendiri dan juga walisongo lainnya biasa disebut dengan istilah ”Mau’idzatul hasanah wa mujahadah billati hiya ahsan.” Metode ini biasa digunakan untuk tokoh-tokoh khusus, misalnya raja, bangsawan, orang kaya, tuan tanah, maupun tokoh-tokoh masyarakat setempat. Dasar metode yang dipakai mereka adalah:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125).
Bila kita mau memahami, sebetulnya sejak dahulu, masyarakat jawa merupakan masyarakat yang gampangan. Mereka merupakan tipe masyarakat yang sangat terbuka, sangat toleran, dan menghargai budaya asing yang mencoba ‘mengetuk pintu’. Ini terlihat jelas pada motto kebangsaan bhinneka tunggal ika yang dikutip dari kitab Sutasoma buah karya Empu Tantular sekitar abad 13 masehi.45Dan ini pula menjadi alasan utama mudahnya agama islam menyebar dan mendominasi kepercayaan masyarakat jawa.
Adanya prinsip bhineka tunggal ika dalam tubuh masyarakat jawa telah membawa mereka kepada sikap selalu waspada. Istilah aja tinggal kawaspadan, merupakan istilah yang lahir karena adanya semangat terhadap hal ini. Mengingatkan kepada sesama bahwa dalam pluralitas selalu saja terdapat hal-hal yang bisa menjerumuskan diri ke dalam lembah kesengsaraan. Oleh karena itu kebhinekaan mereka berdiri teguh di atas semboyan aja dumeh. Maksudnya aja dumeh kuwasa lalu menginjak-injak yang lemah, aja dumeh suggih kemudian lupa terhadap sang miskin, aja dumeh bener lalu mencela dan mengolok-olok yang salah, dan sebagainya.
Hasil pemahaman walisongo lainnya tentang masyarakat jawa yaitu bahwa masyarakat jawa pada dasarnya merupakan masyarakat yang kental dan terbiasa dengan tradisi-tradisi mistik Hindu-Budha. Karena itu, Walisongo mengembangkan pengaruh sufisme dan hal itu terbukti hingga kini, di mana pemikiran islam tradisional di Indonesia tidak bisa lepas dengan warna sufinya.46
Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, sering terdapat upacara slametan, ziarah ke makam leluhur, bersih desa, nyadran, tingkepan, dan sebagainya, yang kesemuanya itu merupakan hasil asimilasi Islam-Jawa.
Memakai bahasa dari Prof. Dr. Abdurrahman Mas`ud, Ph. D., bahwa selama ini islam di Jawa dinilai sebagai syncretic atau ‘impure islam’ alias islam campuran yang terkontaminasi. 47Ini akibat dari adanya akulturasi yang berlebihan yang dilakukan oleh Walisongo sehingga sampai saat ini sangat sulit untuk menciptakan islam murni yang tidak bercampur dengan kejawen. Selain itu sulitnya untuk mempublikasikan islam secara murni juga dikarenakan masyarakat jawa memahami agama menggunakan kerangka atau alat kebudayaan yang dimilikinya. Perbedaan kerangka dan alat yang digunakan itulah yang membawa implikasi perbedaan pemahaman dan praktek keagamaan.48
Dalam sejumlah pertunjukkan wayang, kita bisa melihat adanya pembenahan dan perubahan-perubahan dalam setiap alur ceritanya. Misalnya mengenai kisah tentang misteri serat Jamus Kalimasada. Di mana menurut cerita Walisongo, Kalimasada merupakan serat yang berisi mantara yang sangat ampuh untuk melawan kebatilan. Tetapi semua orang tidak ada yang tahu mengenai isi serat ini. Dan di akhir cerita disebutkan bahwa isi dari serat ini adalah dua kalimat syahadat.”Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.”Sehingga secara tidak langsung mereka telah mengajarkan kepada masyarakat jawa, akan cara ataupun syarat utama untuk masuk islam. Dan menariknya lagi bila kita simak lebih mendalam, masyarakat jawa dengan penuh keluguan ikut menerima dan membaca syahadatain itu sebab menurut pemahaman mereka, mereka akan memperoleh kesaktian yang ampuh, hebat mandraguna.
Tentunya tanpa sadar mereka telah memeluk islam dan menyatakan kebenaran risalah Muhammad SAW. Kemudian Walisongo mengajarkan tentang pantangan bagi orang yang telah membaca mantra tersebut. Yakni bahwa mereka harus selalu berakhlakul karimah, mentaati peraturan-peraturan yang telah ditentukan Tuhan, dan mereka juga diwajibkan mengerjakan shalat sebagai sarana untuk menjaga kehebatan atau kemanjuran mantra itu. Dan akhirnya Walisongo sukses mengislamkan masyarakat Jawa secara damai.
BAB II
MENGENAL FIGUR PUNAKAWAN
A. Punakawa: Abdi Sekaligus Teman Sejati
Pagelaran wayang kulit tidak pernah akan sempurna bila tidak dilengkapi dengan kehadiran punakawan. Kemunculan empat orang abdi pandawa ini menjadi saat yang ditunggu-tunggu para penonton. Sebab kemunculan mereka selalu diwarnai dengan humor-humor yang dapat membangkitkan semangat penonton. Yang ngantuk menjadi tidak ngantuk, yang tidur menjadi terbangun, bahkan yang masih di rumah spontan keluar menuju tempat pagelaran. Ini mengisyaratkan bahwa punakawan adalah empat sosok yang telah dikenal masyarakat, dicintai masyarakat, dan dipanuti masyarakat. Guyonan-guyonan yang mereka suguhkan selain memuat ‘energi-energi pencerahan’, juga memuat nilai-nilai pendidikan yang tentunya dikemas dan disuguhkan secara apik dan menarik.
Bila kita perhatikan, wayang punakawan memiliki bentuk-bentuk khas, aneh, dan cenderung berbeda dengan bentuk wayang lainnya. Misalnya saja Semar yang mempunyai perut gendut, dan berbokong mlenuk, atau petruk yang berhidung panjang seperti pinokio, berbadan tinggi kerempeng, atau gareng yang postur tubuhnya kecil, berhidung besar, kakinya pincang, ataupun bagong yang identik dengan bibirnya yang kata orang jawa ndobleh atau ngowoh. Tetapi di balik keanehan bentuk mereka, sesungguhnya mempunyai makna ataupun arti tersendiri yang bagi orang jawa sangatlah mendalam.
Menurut sejarah, wayang punakawan adalah hasil karya dari Sunan Kalijaga ditengah-tengah kesibukan beliau menyebarkan agama islam melalui akulturasi dan asimilasi. Beliau mempunyai keinginan untuk menjabarkan ataupun menggambarkan kondisi kehidupan masyarakat jawa , masalah-maslah yang mereka hadapi, dan solusi-solusi untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Karena beliau berlatar belakang ulama islam, maka beliau menggunakan ajaran islam sebagai ‘ladang luas’dan referensi utama yang di dalamnya penuh dengan solusi-solusi untuk memecahkan maslaah-masalah kehidupan. Dan wayang punakawan merupakan gambaran tentang kehidupan dan warna-warni yang menghiasi kehidupan itu sendiri.
Menurut Bedjo Tanudjaja yang merupakan Dosen Universitas Kristen Petra, “Punakawan are typical figures in Indonesian wayang, they have unique character and can do various roles, like: nanny, warrior advisor, entertainer, critism, comedian, utterance about thruth and wisdom. Because they have multifunction and typical figures, Punakawan can be an effective media to communicate a visual message.”
Terjemahannya:
Punakawan adalah tokoh yang khas dalam wayang Indonesia, mereka mempunyai karakter yang unik dan bisa menjalankan berbagai macam peran, seperti pengasuh dan penasehat para ksatria, penghibur, kritikus, pelawak bahkan sebagai penutur kebenaran dan kebajikan. Karena fungsinya yang begitu beragam dan figurnya yang begitu khas, maka Punakawan merupakan media yang efektif untuk menyampaikan suatu pesan secara visual.
Bagi keluarga pandawa, punakawan adalah abdi sekaligus kyai mereka. Atau bisa dikatakan sebagai batur sekaligus orang tua mereka. Sebab, semenjak kecil mereka telah di momong dan diajari tentang makna dari kehidupan. Sejak kecil, pandawa digembleng menjadi satria-satria berbudi bawaleksana, menjadi contoh buat kawula alit (rakyat jelata), dan menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Franz Magnis Suseno dalam ceramahnya pada Lembaga Javanologi Yayasan Panunggalan Yogyakarta menyatakan bahwa Semar dan anak-anaknya sebagai pelindung dan pengantar para Pandawa. Dalam diri mereka timbul suatu paham yang kuat dan mendalam antara masyarakat jawa, bahkan rakyatlah yang merupakan sumber kebenaran dari kekuatan kesuburan dan kebijaksanaan, bukan semata-mata kekuatan itu muncul dari lingkungan keraton.49
Dalam kesehariannya, pandawa tidak pernah lepas dari punakawan. Di manapun pandawa berada di situ punakawan ada. Ini mengajarkan kepada kita bahwa abdi adalah pembantu dan teman bagi tuannya. Sehingga sang tuan tidak berhak untuk berbuat sewenang-wenang kepadanya. Dengan adanya tokoh punakawan, pagelaran wayang menjadi lebih hidup, semarrak, dan penuh hikmah. Karena di alamnya terdapat dialog dan interaksi antara dhalang (wayang) dengan audiens serta merupakan sentral para dhalang dalam menyampaikan amanat dan pesan moral yang tentunya tidak bisa/sulit untuk disampaikan pada adegan atau lakon lainnya.
Punakawan dengan pandawa adalah laksana buah dengan pohonnya. Buah walau ia kecil tetapi selalu dilindungi dan dinaungi oleh pohonnya yang rimbun dan kuat. Dan pohon tidak pernah minta pamrih walau telah memelihara sang buah, begitu juga buah tidak pernah lupa untuk mengucapan terima kasih karena telah dipelihara dan dibesarkan oleh sang pohon. Mereka hidup tumbuh berkembang dengan danami, serasi, dan saling melengkapi dan menguntungkan.
Sikap yang mereka miliki ini sangat sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh masyarakat jawa. Kita tahu, bahwa masyarakat jawa sangat menjunjung tinggi derajat setiap manusia. Bahkan pada dasarnya, masyarakat jawa telah lama mengenal persamaan derajat antara lelaki dengan wanita, antara abdi dengan tuannya. Dalam hubungan antara istri dengan suami misalnya, dikenal istilah sing bekti marang laki (yang berbakti kepada suami). Bekti atau berbakti di sini bukan karena terpaksa, tetapi lebih karena cinta dan kasih sayang.
Term bekti dalam hubungan pandawa dengan punakawanpun tidak bisa diartikan takut atau terpaksa. Akan tetapi karena didasari atas dasar kesadaran dan cinta. Punakawan adalah abdi yang cinta kepada pandawa karena dalam diri pandawa terdapat kebaikan-kebaikan. Fitrah manusia adalah cinta kepada kebaikan-kebaikan. Sehingga wajar saja bila punakawan selalu mendampingi dan mengayomi pandawa. Hubungan punakawan dengan pandawa merupakan cerminan perjalanan hidup seorang hamba yang selalu berusaha untuk mendapatkan kebenaran dan menjauhi wewaler (larangan).
Bentuk usaha seperti ini juga sesuai dengan ajaran islam, di mana setiap hamba diwajibkan utnuk selalu berusaha mendapatkan kautaman (keutamaan) dalam hidup dan menjauhi kejelekan-kejelekan atauopun wewaler hidup. Karena itu umat islam diberi tuntunan agar senantiasa membaca ta`awudz dan surah Al Fatihah yang di dalamnya berisi doa ataupun permohonan kepada Allah agar selalu diberi petunjuk berupa jalan yang lurus. Yang dimaksud jalan yang lurus adalah jalan yang tidak menyesatkan dan jalan yang diridhai Allah.
Walau hanya berstatus sebagai abdi, punakawan tidak segan-segan menegur pandawa ketika melakukan suatu kesalahan. Bahkan mereka berani mengorbankan nyawa hanya untuk menyadarkan pandawa. Ini tentunya memberikan isyarat buat kita, bahwa sesuatu yang benar haruslah selalu dijaga dan dibela, walau harus dengan bertaruh nyawa sekalipun. Di lain sisi, pandawa juga dengan ikhlas hati menerima nasehat yang diberikan punakawan kepada mereka. Sebab ini sesuai dengan petunjuk kanjeng Rasul. Beliau bersabda,”Lihat dan perhatikan apa yang diucapkannya, dan jangan melihat dan memperhatikan siapa yang mengucapkannya.”
Punakawan adalah pelita ataupun penerang bagi Pandawa. Makna pelita atau penerang di sini sangatlah luas. Di antaranya, punakawan menjadi pelipur ketika pandawa mendapatkan cobaan dan ujian dari Tuhan. Punakawan selalu berusaha untuk menyenangkan hati tuannya, menebarkan kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan. Mengajarkan kepada tuannya untuk narima ing pandum, yakni agar selalu menerima apa adanya. Aja dumeh sugih, kemudian berfoya-foya. Mengajarkan arti pentingnya hidup sederhana, dermawan, dan usaha serta tawakal.
B. Punakawan Semar
Telah disepakati bersama bahwa Semar merupakan Pengasuh atau pamomong bagi keluarga Pandawa. Dzahirnya ia adalah seorang abdi, akan tetapi pada hakekatnya ia merupakan guru spiritual, kyai, ulama, yang selalu mengajarkan tentang keutamaan-keutamaan dan kesempurnaan hidup kepada keluarga Pandawa. Sehingga bila diperhatikan, keluarga Pandawa tidak ada yang berani menerima sembah sujudnya (penghormatan) Semar seperti kebanyakan abdi ketika hendak berbicara kepada sang raja, karena pada hakekatnya ia bukanlah abdi akan tetapi dewa yang menitis atau bersemayam dalam tubuh manusia.
Diceritakan dalam pewayangan, bahwa pada suatu hari Dewi Rekatawati (istri Sang Hayang Tunggal) bertelur. Kemudian tiba-tiba telur tersebut terbang menuju Sang Hayng Wenang (Dewa tertinggi atau Tuhan dalam cerita pewayangan). Akhirnya tidak selang beberapa lama, telur tersebut menetas disertai dengan berbagai keajaiban. Diceritakan bahwa kulit telurnya menjadi Tejamantri yang kemudian menjadi Togog, putih telurnya menjadi Bambang Ismaya yang kemudian menjadi Semar, dan kuning telurnya menjadi Manikmaya yang kemudian menjadi Batara Guru.
Tiga anak tersebut tumbuh berkembang menjadi dewa-dewa yang sangat sakti, sehingga suatu hari timbul pertengkaran di antara mereka. Manikmaya kemudian mengajukan sebuah perlombaan untuk menelan bumi kemudian dimuntahkan kembali. Setelah disepakati, segera mereka memulai perlombaan yang tidak masuk akal itu.
Tejomantri yang mendapat urutan paling awal, gagal menelan bumi. Ini dikarenakan belum cukup ilmunya, sehingga dikemudian hari terjadilah perubahan pada mulutnya (sehingga disebut togog). Kemudian Bambang Ismaya, ia berhasil menelan bumi akan tetapi tidak berhasil mengeluarkannya. Ini disebabkan ia tidak mempunyai daya kekuatan untuk mengeluarkan bumi dari dalam perut, walaupun pada dasarnya ia merupakan orang yang berilmu tinggi.Yang terakhir, Manikmaya, ia berhasil menelan bumi dan mengeluarkannya dari dalam perutnya. Berawal dari peristiwa itulah, maka kemudian perut Semar atau Bambang Ismaya menjadi buncit, gemuk, dan bundar.
Bentuk mata Semar setengah menutup dan selalu melelehkan air mata serta suaranya sering terdengar sedih dan kecewa. Ini menunjukkan bahwa ia sedang meratapi kondisi masyarakat sekitar yang telah banyak melakukan kejahatan dan dosa. Karena itu dalam hatinya ia mempunyai sebuah mimpi ataupun cita-cita yaitu hendak membangun masyarakat agamis dan berakhlakul karimah.
Tangan Semar yang menunjuk, mengisyaratan bahwa semar merupakan abdi sekaligus guru yang berfungsi menunjukkan jalan kebenaran. Ia merupakan sosok guru yang meyakini bahwa pendidikan merupakan upaya strategis dan mendasar dalam menyiapkan sumber daya manusia dalam pembangunan, baik itu pembangunan fasilitas-fasilitas publik ataupun pembangunan mental spiritual. Semar berusaha untuk menghasilkan para pendidik dan pejuang yang mendasarkan diri atas dasar berjuang tanpa mengharapkan pamrih.
Sedangkan tangan Semar yang satunya malah menggenggam, menutup. Ini mengisyaratkan bahwa Semar selalu berusaha untuk memegang prinsip dan kebenaran yang diyakiinya. Tentunya semua itu merujuk kepada wahyu yang diturunkan Allah kepada RasulNya. Tangan Semar yang menggenggam ini juga mengajarkan kepada kita bahwa untuk membela kebenaran itu bukanlah perkara yang mudah. Tetapi sebaliknya, merupakan perkara yang sangat sulit, bahkan nyawalah taruhannya.
Dalam kehidupannya, pandawa dengan status mereka sebagai murid Semar, selalu berusaha untuk merealisasikan isyarat dari tangan Semar yang menggenggam ini. Pandawa berusaha untuk membasmi kebathilan dan puncaknya dibuktikan dalam perang Bharatayuda sebagai sebuah peperangan terbesar dalam sejarah pewayangan yang dijadikan sarana untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Batasannya, siapa yang menang maka itulah yang benar sebab sesuai dengan kodratnya bahwa kebenaran pasti akan selalu menang. Dan ternyata pihak pandawalah yang menjadi sang pemenang. Dan ini cukup untuk membuktikan bahwa mereka merupakan orang-orang yang benar dan selalu berjuang demi menegakkan kebenaran.
Bambang Ismaya kemudian dititahkan turun ke bumi untuk mengabdi kepada Pandawa dan membantu mereka dalam memerangi kejahatan. Ia menitis ke dalam diri Janggan Semarasanta yang merupakan seorang abdi dari pertapan Saptaarga. Kemudian Janggan Semarasanta dijuluki dengan Ki Lurah Semar. Oleh Ki dhalang, peristiwa manunggaling kawula gusti (menyatunya Bambang Ismaya ke dalam diri Janggan Semarasanta) sering diterjemahkan sebagai turunnya Sang Maha Kuasa ke alam manusia dengan cara yang samar dan penuh misteri. Karena itu struktur tubuh Semarpun penuh dengan misteri. Para ahli banyak juga yang telah mencoba untuk menterjemahkan dan menjelaskan simbol-simbol yang terlukis dalam diri Semar.
Dalam alam manusia, diceritakan bahwa Semar tinggal di karangdempel.50maksudnya Semar selalu tinggal dan ‘menyirami’ hati setiap manusia yang gersang, gelisah, dan jauh dari Tuhan. Sehingga bisa dikatakan bahwa Semar selalu hadir dan menyantuni orang yang miskin/kekurangan kebutuhan rohani’. Karena itu dalam pewayangan juga dikatakan bahwa ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, dan tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia. Maksudnya alam kosong adalah alam yang kosong dari cahaya Ilahi yang kemudian Semar diperintahkan untuk mengisi alam kosong itu dengan kebutuhan-kebutuhan rohani yang berguna bagi manusia.
Dari segi etimologi, ada yang berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa sebab ia selalu menerangi setiap jiwa yang sedang gelisah dan membuat jiwa itu tenang dan tentram.
Ada pula yang mengatakan bahwa nama Semar aslinya berasal dari bahasa Arab ismar yang berarti paku.51 Maksudnya ia adalah sumber kebenaran dan sumber rujukan untuk mendapatkan kebenaran. Misalnya dalam lakon Semar Mbangun Kayangan jelas terlihat bahwa Semar merupakan guru besar yang hendak membersihkan hati pandawa dari sifat-sifat tercela. Menjadikan pandawa sebagai ksatria bermental baja, kokoh dalam pendirian. Sebagai paku (ismar=paku), semar hendak menancapkan wawasan spiritual islam dalam diri pandawa. Sehingga pandawa merupakan cerminan dari rukun islam yang lima, yang di dalamnya penuh dengan ajaran tentang kebajikan.
Ada juga yang mengatakan Ismaya berasal dari Maya berarti cahaya hitam, yaitu cahaya untuk menyamarkan sesuatu. Juga disebut Semar karena ia samar, tidak jelas. Mengenai sosok Semar, dikatakan:
Yang ada itu sesungguhnya tidak ada.
Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.
Yang bukan dikira iya.
Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru.
Nama lain dari Semar adalah Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta.
Semar sering pula dipanggil dengan Semar Badranaya. Badranaya berasal dari kata bebadra yang berarti membangun sarana dari dasar dan nayaka yang berarti utusan mangrasul. Sehingga Badranaya memiliki arti Mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia.
Tetapi ada juga yang mengartikan Badranaya dengan arti berbeda. Badra diartikan rembulan sedangkan naya diartikan sebagai perilaku kebijaksanaan. Karena itu Semar Badranaya mengandung makna, di dalam perilaku kebijaksanaan, tersimpan sebuah keberuntungan yang baik sekali, bagai orang kejatuhan rembulan atau mendapatkan wahyu.
Semar merupakan Dewa yang diperintahkan untuk menitis dalam tubuh manusia guna membangun rohani manusia agar mereka selalu ingat kepada Sang Hyang Tunggal atau Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu istilah Semar Mbangun Kayangan bukan berarti Semar hendak membangun kayangan tempat bersemayam para Dewa. Melainkan Semar hendak membangun alam kosong atau alam jiwa. Ia hendak membangun hati sekaligus membersihkannya dari sifat-sifat syaithainyah.
Konflik yang terjadi dalam lakon Semar Mbangun Kayangan juga mencerminkan akan penjelasan di balik diutusnya sosok Semar atau Bambang Ismaya ke alam manusia. Dalam lakon tersebut diceritakan bahwa Manikmaya atau Bathara Guru salah dalam menafsirkan Mbangun Kayangan. Ia berpendapat bahwa Semar hendak membangun Kayangan Suralaya yang merupakan daerah kekuasaannya. Karena ia tidak bisa menerimanya, maka Bathara Guru marah dan berusaha untuk membunuh Semar. Maka perang serupun dimulai. Semar yang mempunyai kadigdayan lebih tinggi memenangkan peperangan itu. Kemudian Bathara Guru lari bersembunyi. Setiap ia bersembunyi, Semar selalu saja dapat menemukannya. Akhirnya yang bisa meredam konflik itu hanyalah Sang Hyang Padhawenang. Sang Hyang menasehati agar mereka tidak melanjutkan peperangan tersebut. Dan Ia juga memberitahukan Bathara Guru bahwa sesungguhnya Semar tidak bermaksud untuk membangun kayangan Suralaya akan tetapi yang hendak dibangun oleh Semar adalah jiwa Pandawa yang oleh Semar diistilahkan dengan Kayangan.
Dalam islam, perintah Allah yang paling penting adalah menetapkan setiap ajaran islam sebagai konsep hidup manusia.52 Maksudnya, islam sebagai agama harmonis, mengajarkan prinsip-prinsip secara garis besar dan mementingkan terciptanya suatu sistem dan tatanan yang menerjemahkan prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan perorangan maupun kehidupan sosial. Semangat mengenai hal ini tercermin dalam ayat Al Quran yang artinya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”(Ali Imran: 19).
Selain itu, Semar dituntut untuk menentramkan manusia dari segala kegelisahan hidup yang ditimbulkan dari ketidakterpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang bersifat psikis (mental) rohaniah. Sedangkan kebutuhan rohani manusia adalah pendidikan agama, budi pekerti, kepuasan, kasih sayang, dan segala aktivitas rohani yang seimbang.53
Memahami hal tersebut, semar diperintahkan untuk memberikan bimbingan kepada manusia untuk beragama dan menegakkan agama. Sebab kebahagiaan melalui agama merupakan kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat, seperti dilansir dalam Al Quran bahwa manusia selalu berdoa sebagai berikut yang artinya:
“Dan di antara mereka ada orang yang bendoa:”Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”(Al Baqarah: 201).
Dalam mitologi jawa, semar dianggap merupakan tokoh dari tanah jawa yang disucikan. Akan tetapi dalam pewayangan, penciptaan Semar, hanyalah simbolisasi dari agama sebagai prinsip hidup setiap umat beragama.54 Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual. Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhanan yang Maha Esa.
Sebagai ajaran yang mengedepankan cinta kasih dan kebijaksanaan, ajaran sufi memberikan kontribusi sama dengan Semar, khususnya dalam hal pengayoman dan pemberdayaan umat. Ajaran sufi menyerukan manusia agar mau membebaskan diri dari segala nafsu binatang, sifat-sifat tercela, dan penindasan terhadap hak asasi manusia. Begitu pula ajaran-ajaran Semar juga memberikan kontribusi dalam hal membina mental spiritual manusia, membentuk para ksatria agar berbudi bawa leksana, membela wong cilek, dan memberantas mo lima.
Sebagai seorang sufi, Semar mendaarkan tindakannya pada sifat keikhlasan dan ketulusan tanpa ada tendensi untuk mendapat pujian manusia yang sifatnya sesaat. Selain itu, Semar juga menyerukan kepada seluruh umat manusia untuk mengutamakan cinta kasih antar sesama, bukan saling menghina, menyalahkan, menghujat atau menyudutkan orang lain, lebih suka mengoreksi diri sendiri daripada mengoreksi orang lain, juga lebih suka mencari kesalahan sendiri daripada kesalahan orang lain dan mau mengadakan perbaikan.
Dengan kata lain, sosok Semar hendak menegaskan akan pentingnya peran agama dalam kehidupan. Agama berperan menyadarkan manusia dan membawa mereka menuju cahaya (berupa kebenaran). Sosok Semar juga merupakan simbol dari Al Quran sebagai Kalam Ilahi yang sangat penting.yang di dalamnya memiliki beberapa tujuan mendasar:
1.Membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik. Tujuan ini tidak semata-mata sebagai sebuah konsep teologis, tetapi juga sebagai falsafah hidup dan kehidupan umat manusia.
2.Mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.Menciptakan persatuan dan kesatuan; kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akherat, alam fisik dan metafisik, kesatuan ilmu, iman, rasio, keatuan sosial, politik, dan ekonomi.
4.Mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
5.Membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit, penderitaan hidup, dan pemerasan manusia atas manusia dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.
6.Memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang, dengan keadilan sosial sebagai landasan pokoknya.
7.Memberi jalan tengah antara ideologi kapitalisme dan ideologi komunisme. Menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran.
8.Menekankan peranan ilmu dan teknologi guna menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.55
Dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan ini, maka hadirlah sosok Semar dalam jagad pakeliran. Sentuhan nilai-nilai islami akan sangat terasa ketika sedang membicarakan Semar. Ia mengajarkan berbagai hal dengan sangat santun, tetapi juga humoris. Sehingga ajarannya dapat diterima dengan mudah dan mendarah daging.
Dalam mendidik keluarga Pandawa, Semar lebih terfokus pada pembinaan mental spiritual. Menggembleng mereka agar menjadi ksatria-ksatria berbadan baja dan berjiwa mulia. Semar seringkali memperkenalkan pendawa akan hiruk pikuk dan kondisi masyarakat bawah (kaum fakir, miskin, dan tertindas). Sehingga dari perkenalan ini diharapkan Pandawa akan terketuk hatinya untuk membantu dan membela mereka.
Dengan kata lain, sesuai dengan konteks islam, Semar hendak memperkenalkan mustadh`afin56 kepada pandawa. Semar hendak meneriakkan ayat Allah yang artinya:
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa:”Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!.”(An Nisa: 75).
Sesuai dengan konteks hubungan Semar dengan pandawa, pesan universal ayat ini adalah bahwasanya pandawa tidak boleh lupa diri, sebaliknya mereka harus membela dan menjaga kaum tertindas dari para penindas yaitu Kurawa. Mereka harus memperjuangkan al haq (kebenaran) dan menghancurkan al batil (kebatilan). Mereka harus menjadi tangan kanan Al Quran yang mengemban tugas seperti para utusan Allah yaitu untuk mengantarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya dan menuntun manusia agar bahagia hidup di dunia dan akherat.
Sesuai dengan konteks wayang sebagai media dakwah islam, di dalam diri Semar terdapat semangat untuk menjadikan dan merealisasikan islam sebagai rahmatan lil alamiin. Semar hendak mempublikasikan islam ke mata dan hati seluruh masyarakat jawa dan mendeklarasikan islam sebagai kepercayaan tunggal mereka yang tersebar dengan tanpa paksaan dan tetap menjunjung tinggi semangat Bhineka tunggal ika.
Dalam pewayangan diceritakan bahwa Semar memiliki sebuah mustika bernama mustika manik astagina yang tersimpan di atas kuncungnya. Mustika ini memiliki delapan daya:
1.tidak pernah lapar
2.tidak pernah mengantuk
3.tidak pernah jatuh cinta
4.tidak pernah bersedih
5.tidak pernah merasa capek
6.tidak pernah menderita sakit
7.tidak pernah kepanasan
8.tidak pernah kedinginan
Delapan daya di atas bisa ditafsirkan dengan berbagai tafsiran. Khususnya dalam hubungannya dengan ‘ngudi ngelmu’ (menuntut ilmu) maka daya tidak pernah lapar dapat diartikan bahwa dalam menuntut ilmu terlebih dahulu seseorang harus siap lahir batin. Karena tanpa adanya kesiapan lahir batin, seseorang hanya akan terpuruk dan tidak akan pernah berhasil.
Dalam menuntut ilmu, seseorang juga dilarang bermalas-malasan. Ini merupakan pesan moral yang tercermin dalam daya mustika manik astagina yaitu tidak pernah ngantuk. Musthil seseorang akan sukses dalam berpendidikan bila ia malas, tidak bersemangat, dan tidak memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang berguna bagi proses pendewasaan diri. Begitu pula dengan daya-daya lainnya, juga mencerminkan hal-hal yang diperlukan dalam menuntut ilmu.
Di setiap lakon pewayangan, Semar selalu saja menjadi rebutan orang banyak. Tidak pandang entah orang baik ataupun jahat, semuanya berambisi untuk memiliki Semar. Tetapi tentu saja tujuan masing-masing orang tersebut berbeda-beda. Orang-orang jahat (Kurawa) berambisi untuk memiliki semar sebab mereka percaya bahwa daging Semar mampu menambah kesaktian. Sedangkan orang-orang baik (Pandawa) berusaha untuk mendapatkan Semar agar kehidupan mereka diberkahi. Mereka mendudukan Semar Badranaya sebagai sarana batin untuk sebuah proses. Konsekwensinya bahwa mereka mau membuka hati agar Semar Badranaya masuk, tinggal dan menyertai kehidupannya, sehingga dapat berproses bersama meraih Wahyu. Penganut pandangan ini adalah kelompok dari keturunan Saptaarga.
C. PUNAKAWAN
BAB III
KANDUNGAN AJARAN SPIRITUAL ISLAM DALAM SOSOK PUNAKAWAN
A. Amanat Nilai-Nilai Universal dalam Wayang Semar
1. Semar Mengajarkan Untuk Selalu Berbakti Kepada Guru.
Rambut semar yang berbentuk “kuncung” (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan: akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Ia abdi tetapi juga sekaligus guru spiritual bagi Pandawa. Sikap Pandawa kepada Semar mencerminkan sikap seorang murid yang selalu hormat kepada gurunya walaupun gurunya itu orang miskin. Dalam filsafat Jawa guru merupakan sosok yang:
“Menunjukkan hidup yang sempurna hingga akhir hayat. Yang memberi petunjuk tentang kebaikan dan dialah yang dapat memberi nasehat sewaktu orang bersusah hati. Orang durhaka kepada guru adalah dosa paling besar, maka berbuat baiklah, mohonlah siang dan malam akan cinta kasihnya. Jangan cinta kasihnya sampai berkurang.”(Pakubuwana IV, 1982:72-73).
Peranan guru yang sedemikian besar dalam membangun akhlak, hendak menegaskan bahwa guru memiliki derajat yang tinggi. Dalam islam, guru spiritual atau ulama, merupakan pewaris nabi. Nabi telah mewariskan kepada mereka ilmu-ilmu yang bermanfaat yang dapat menghantarkan manusia menuju jalan surga. Karena itu Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk menghormati guru dan orang yang lebih tua. Ajaran tentang penghormatan ini terdapat dalam sabda Beliau SAW yang artinya:
“Bukanlah termasuk golonganku orang yang tidak menghormati kepada yang lebih tua dan tidak mau menyayangi kepada yang lebih muda.”
Semar adalah sosok guru yang sangat ahli dalam mengajarkan suatu ilmu kepada anak didiknya (Pandawa). Melalui berbagai lakon Pewayangan, Semar menggunakan beberapa metode pendidikan yang bila dicermati lebih mendalam sama dengan metode pendidikan yang digunakan Al Quran:
a.Metode al-hiwar (dialog). Setiap kali mengajarkan sesuatu, Semar terlebih dahulu membuka dialog hangat dengan anak didiknya (Pandawa). Bahkan seringkali dalam dialog tersebut Semar memposisikan dirinya sebagai orang yang merasa bodoh, wong cilek seng ora ngerti opo-opo. Kemudian setelah itu Semar ‘menyerang balik’ dengan argumen-argumen cerdasnya, sehingga Pandawa merasa kalah dan mengakui kebenaran dari argumen dan ajaran-ajaran Semar. Sebetulnya metode yang dilakukan Semar ini adalah agar Pandawa tidak merasa digurui. Sebab kebiasaan penguasa itu bila digurui maka akan malah akan marah dan tidak mau menerima pesan-pesan yang disampaikan kepadanya.
b.Metode al-amtsal (perumpamaan). Semar seringkali menggunakan metode ini untuk menyampaikan suatu pesan kepada Pandawa. Contohnya saja ia