Buddhisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Penyesuaian istilah bhiksu menjadi biksu, karena sesuai KBBI adalah biksu
Pierrewee (bicara | kontrib)
Menolak 2 perubahan teks terakhir (oleh Therry Hendry dan Jnanabhadra) dan mengembalikan revisi 13411742 oleh ArdiPras95
Baris 25:
Dua aliran utama Buddhisme yang masih ada yang diakui secara umum oleh para ahli: [[Theravada]] ("Aliran Para Sesepuh") dan [[Mahayana]] ("Kendaraan Agung"). [[Vajrayana]], suatu bentuk ajaran yang dihubungkan dengan ''siddha India'', dapat dianggap sebagai aliran ketiga atau hanya bagian dari Mahayana. Theravada mempunyai pengikut yang tersebar luas di [[Sri Lanka]], dan [[Asia Tenggara]]. Mahayana, yang mencakup tradisi [[Buddha Tanah Murni|Tanah Murni]], [[Zen]], [[Agama Buddha Nichiren|Nichiren]], [[Buddhisme Shingon|Shingon]], dan [[Tiantai]] (Tiendai) dapat ditemukan di seluruh [[Asia Timur]]. [[Buddhisme Tibet]], yang melestarikan ajaran Vajrayana dari India abad ke-8<ref>{{Cite book|last=White|first=David Gordon (ed.)|year=2000|page=21|title=Tantra in Practice|publisher=Princeton University Press|url=https://books.google.com/books?id=hayV4o50eUEC&pg=PA21|isbn=0-691-05779-6 }}</ref>, dipraktikkan di wilayah sekitar [[Himalaya]], [[Mongolia]]<ref>{{cite book|last1=Powers|first1=John|title=Introduction to Tibetan Buddhism|url=https://books.google.com/books?id=cy980CH84mEC&pg=PA392|date=2007|publisher=Snow Lion Publications|location=[[Ithaca, New York]]|isbn=978-1-55939-282-2|pages=26–27|edition=Rev.}}</ref>, dan [[Kalmykia]]<ref>"Candles in the Dark: A New Spirit for a Plural World" by Barbara Sundberg Baudot, p305</ref>. Jumlah umat Buddha di seluruh dunia diperkirakan antara 488 juta<ref group="web" name="auto">{{cite web|last=[[Pew Research Center]]|first= | authorlink =|title=Global Religious Landscape: Buddhists | publisher =Pew Research Center|url= http://www.pewforum.org/2012/12/18/global-religious-landscape-buddhist/ |accessdate=}}</ref> dan 535 juta{{sfn|Harvey|2013|p=5}}, menjadikannya sebagai salah satu agama utama dunia.
 
Dalam Buddhisme Theravada, tujuan utamautamanya adalah pencapaian kebahagiaan tertinggi [[Nibbana]], yang dicapai dengan mempraktikkan [[Jalan Mulia Berunsur Delapan]] (juga dikenal sebagai [[Jalan Tengah]]), sehingga melepaskan diri dari apa yang dinamakan sebagai [[Samsara (Buddhisme)|siklus]] penderitaan dan [[Tumimbal lahir|kelahiran kembali]].{{sfn|Gethin |1998|pp=27–28, 73–74}} Buddhisme Mahayana, sebaliknya beraspirasi untuk mencapai [[kebuddhaan]] melalui jalan [[bodhisattva]], suatu keadaan di mana seseorang tetap berada dalam siklus untuk membantu makhluk lainnya untuk mencapai pencerahan.
 
Setiap aliran Buddha berpegang kepada [[Tripitaka]] sebagai referensi utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam tiga buku yaitu ''[[Sutta Piṭaka]]'' (khotbah-khotbah Sang Buddha), ''[[Vinaya Piṭaka]]'' (peraturan atau tata tertib para biksubhikkhu) dan ''[[Abhidhamma Piṭaka]]'' (ajaran hukum metafisika dan psikologi).
 
Seluruh naskah aliran Theravada menggunakan [[bahasa Pali]], yaitu bahasa yang dipakai di sebagian India (khususnya daerah Utara) pada zaman Sang Buddha. Cukup menarik untuk dicatat, bahwa tidak ada filsafat atau tulisan lain dalam bahasa Pali selain kitab suci agama Buddha Theravada, yang disebut kitab suci [[Tipitaka]], oleh karenanya, istilah "ajaran agama Buddha berbahasa Pali" sinonim dengan agama Buddha Theravada. Agama Buddha Theravada dan beberapa sumber lain berpendapat, bahwa Sang Buddha mengajarkan semua ajaran-Nya dalam bahasa Pali, di India, Nepal dan sekitarnya selama 45 tahun terakhir hidup-Nya, sebelum Dia mencapai Parinibbana<ref name="bec">{{cite web
| url =http://www.becsurabaya.org/artikel/kumpulan-dhamma/320-perbedaan-dan-persamaan-antara-theravada-dan-mahayana.html
| title = Perbedaan Dan Persamaan Antara Theravada Dan Mahayana
Baris 47:
[[Berkas:ElloraPuja.jpg|jmpl|"Gua Tukang Kayu" Buddhis di [[Gua Ellora|Ellora]], [[Maharashtra]], India]]
 
Secara historis, akar Buddhisme terletak pada pemikiran religius dari [[India Zaman Besi|India kuno]] selama paruh kedua dari milenium pertama SEU.{{sfn|Gethin|2008|p=xv}} Pada masa tersebut merupakan sebuah periode pergolakan sosial dan keagamaan, dikarenakan ketidakpuasaan yang signifikan terhadap pengorbanan dan rital-ritual dari [[Agama Weda historis|Brahmanisme Weda]]{{refn|group=note|name=buddhismFound|Buddhism: The foundations of Buddhism, The cultural context. In ''[[Encyclopædia Britannica]]''. Retrieved 19-07-2009, from Encyclopædia Britannica Online Library Edition}} Tantangan muncul dari berbagai kelompok keagamaan [[asketisme|asketis]] dan filosofis baru yang memungkiri tradisi Brahamanis dan menolak otoritas [[Weda]] dan para [[Brahmana]].{{refn|group=note|name=ebhindu|Encyclopædia Britannica Online. Hinduism: History of Hinduism: The Vedic period (2nd millennium – 7th century BCE); Challenges to Brahmanism (6th – 2nd century BCE); Early Hinduism (2nd century BCE – 4th century CE). Retrieved 19-07-2009.}}{{sfn|Warder|2000|p=32}} Kelompok-kelompok ini, yang anggotanya dikenal sebagai [[sramana]], merupakan kelanjutan dari sebuah untaian pemikiraan India yang bersifat non-Weda, yang terpisah dari Brahmanisme [[Indo-Arya]].{{refn|group=note|name=Masih |According to Masih:{{sfn|Masih |2000|p=18}} "Alongside Hinduism was the non-Aryan Shramanic culture with its roots going back to prehistoric times."}} Para ahli memiliki alasan untuk percaya bahwa ide-ide seperti [[samsara]], [[karma]] (dalam hal pengaruh moralitas terhadap kelahiran kembali atau [[reinkarnasi]]), dan [[moksha]], berasal dari sramana, dan kemudian diadopsi oleh agama ortodoks Brahmin.{{refn|group=note|name=Masih B|Masih:{{sfn|Masih |2000|p=37}} "This confirms that the doctrine of transmigration is non-aryan and was accepted by non-vedics like Ajivikism, Jainism and Buddhism. The Indo-aryans have borrowed the theory of re-birth after coming in contact with the aboriginal inhabitants of India. Certainly Jainism and non-vedics [..] accepted the doctrine of rebirth as supreme postulate or article of faith."}}{{refn|group=note|name=Karel Werner|Karel Werner:{{sfn|Werner|1989|p=34}} "Rahurkar speaks of them as belonging to two distinct 'cultural strands' ... Wayman also found evidence for two distinct approaches to the spiritual dimension in ancient India and calls them the traditions of 'truth and silence.' He traces them particularly in the older Upanishads, in early Buddhism, and in some later literature."}}{{refn|group=note|name=Flood|Flood:{{sfn|Flood|1996|p=86}} "The origin and doctrine of Karma and Samsara are obscure. These concepts were certainly circulating amongst sramanas, and Jainism and Buddhism developed specific and sophisticated ideas about the process of transmigration. It is very possible that the karmas and reincarnation entered the mainstream brahaminical thought from the sramana or the renouncer traditions."}}{{refn|group=note|name=Jaini |Padmanabh S. Jaini states:{{sfn|Jaini |2001 |p=51}} "Yajnavalkya's reluctance and manner in expounding the doctrine of karma in the assembly of Janaka (a reluctance not shown on any other occasion) can perhaps be explained by the assumption that it was, like that of the transmigration of soul, of non-brahmanical origin. In view of the fact that this doctrine is emblazoned on almost every page of sramana scriptures, it is highly probable that it was derived from them."}}{{refn|group=note|name=Pande|Govind Chandra Pande:{{sfn|Pande|1994 |p=135}} "Early Upanishad thinkers like Yajnavalkya were acquainted with the sramanic thinking and tried to incorporate these ideals of Karma, Samsara and Moksa into the vedic thought implying a disparagement of the vedic ritualism and recognising the mendicancy as an ideal."}}{{refn|group=note|name=Upadhyaya|Kashi Nath Upadhyaya: "The sudden appearance of this theory [of karma] in a full-fledged form is likely due, as already pointed out, to an impact of the wandering muni-and-[[shramana]]-cult, coming down from the pre-Vedic non-Aryan time."{{sfn|Upadhyaya|1998|p=76}}}}
 
Pandangan ini didukung oleh penelitian di wilayah di mana gagasan ini berasal. Buddhisme tumbuh di [[Magadha]] Raya, yang terletak di sebelah barat laut dari [[Sravasti]], ibu kota [[Kosala]], ke [[Rajagraha]] di sebelah tenggara. Negeri ini, di sebelah timur [[aryavarta]], negeri bangsa [[Arya]], yang dikenal sebagai non-Weda.<ref>Satapatha Brahmana 13.8.1.5</ref> Naskah Weda lainnya mengungkap ketidaksukaan penduduk Magadha, kemungkinannya karena Magadha pada masa tersebut belum mendapat pengaruh Brahmanisme.{{sfn|Oldenberg|1991|p=}} Sebelum abad ke-2 atau ke-3 SEU, penyebaran Brahmanisme ke arah timur memasuki Magadha Raya tidaklah signifikan. Pemikiran-pemikiran yang berkembang di Magadha Raya sebelum abad tersebut tidak tunduk pada pengaruh Weda. Ini termasuk [[tumimbal lahir]] dan hukum karma yang muncul dalam sejumlah gerakan di Magadha Raya, termasuk Buddhisme. Gerakan-gerakan ini mewarisi pemikiran tumimbal lahir dan hukum karma dari kebudayaan yang lebih awal.{{sfn|Bronkhorst|2007|pp=}}
 
Pada saat yang sama, gerakan-gerakan ini dipengaruhi dan dalam beberapa hal melanjutkan pemikiran filosofis dalam tradisi Weda, sebagaimana terefleksi misalnya di dalam [[Upanishad]].{{sfn|Warder|2000|p=30–32}} Gerakan-gerakan ini termasuk, selain Buddhisme, berbagai [[skeptis]] (seperti [[Sanjaya Belatthiputta]]), [[Atomisme|atomis]] (seperti [[Pakudha Kaccayana]]), [[materialis]] (seperti [[Ajita Kesakambali]]), [[Antinomianisme|antinomian]] (seperti [[Purana Kassapa]]); aliran-aliran terpenting pada abad ke-5 SEU adalah [[Ajivikas]], yang menekankan aturan nasib, [[Lokayata]] ([[materialis]]), [[Jnana|Ajnanas]] ([[Agnostisisme|agnostik]]) dan [[Jainisme|Jaina]], yang menekankan bahwa jiwa harus dibebaskan dari materi.{{sfn|Warder|2000|p=39}} Banyak gerakan-gerakan baru ini berbagi kosakata konseptual yang sama seperti [[Ātman (Buddhisme)|atman]] ("diri"), [[buddha]] ("yang sadar"), [[dhamma]] ("aturan" atau "hukum"), [[karma]] ("aksi/perbuatan"), [[Nirvana (konsep)|nirvana]] ("padamnya nafsu"), [[samsara]] ("lingkaran penderitaan"), dan [[yoga]] ("praktik spiritual").{{refn|group=note|name=ebbuddh|Encyclopædia Britannica Online. Buddhism: The foundations of Buddhism, the cultural context. Retrieved 19-07-2009.}} Para sramana menolak Weda, dan otoritas brahmana, yang mengklaim mereka memiliki kebenaran terungkap yang tidak bisa diketahui dengan cara manusia biasa mana pun. Selain itu, mereka menyatakan bahwa seluruh sistem Brahmanikal adalah penipuan : sebuah konspirasi para brahmana untuk memperkaya diri mereka sendiri dengan membebankan biaya terlalu tinggi untuk melakukan ritual palsu dan memberikan nasihat yang sangat tidaktak berguna.{{sfn|Warder|2000|p=33}}
 
Kritik terutama dari Buddha adalah pengorbanan hewan secara Weda.<ref group="web" name="auto2">{{cite web|title=Dharmacarini Manishini|publisher=Western Buddhist Review|url=https://web.archive.org/web/20130808043640/http://www.westernbuddhistreview.com/vol4/kamma_in_context.html}}</ref> Dia juga menyindir "[[Purusha Sukta|gita manusia kosmis]]" dari Weda.{{sfn|Gombrich|1988|p=85}} Namun, Sang Buddha tidaklah anti-Weda, dan menyatakan bahwa Weda dalam bentuk sejatinya dinyatakan oleh "Kashyapa" kepada [[resi]] tertentu, yang melalui pertapaan berat telah memperoleh kekuatan untuk melihat dengan mata ilahi.{{sfn|Hardy|1863|p=177}} Dia menamakan para resi Weda, dan menyatakan bahwa Weda orisinil dari para resi{{sfn|Rhys Davids|1921|p=494}}{{refn|group=note|name=Vedic rishis|"Atthako, Vâmako, Vâmadevo, [[Vishvamitra|Vessâmitto]], [[Jamadagni|Yamataggi]], [[Angiras (sage)|Angiraso]], [[Bharadvaja|Bhâradvâjo]], [[Vasistha|Vâsettho]], [[Kashyapa|Kassapo]], and [[Bhrigu|Bhagu]]" in P. 245 ''The Vinaya piṭakaṃ: one of the principle Buddhist holy scriptures ..., Volume 1'' edited by Hermann Oldenberg}} telah diubah oleh beberapa Brahmin yang memperkenalkan pengorbanan hewan.
Baris 59:
=== Empat Kebenaran Mulia ===
{{utama|Empat Kebenaran Mulia}}
Ajaran dasar Buddhisme dikenal sebagai '''Empat Kebenaran Mulia''' atau '''Empat Kebenaran Ariya''' (''Cattari Ariya Saccani''), yang merupakan aspek yang sangat penting dari ajaran Buddha. Sang Buddha telah berkata bahwa karena kita tidak memahami Empat Kebenaran Ariya, maka kita terus menerus mengitari siklus kelahiran dan kematian. Pada ceramah pertama Sang Buddha, ''Dhammacakka Sutta'', yang Ia sampaikan kepada lima orang biksubhikkhu di Taman Rusa di Sarnath, adalah mengenai Empat Kebenaran Ariya dan Jalan Ariya Beruas Delapan<ref>{{cite book
|last1 = [[K. Sri Dhammananda]]|first1 =
|title = Keyakinan Umat Buddha
Baris 80:
 
* '''Kebenaran Ariya tentang Dukkha''' (''Dukkha Ariya Sacca'')
Pada umumnya dukkha dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, beban. Dukkha menjelaskan bahwa ada lima kemelekatan kepada dunia yang merupakan penderitaan. Kelima hal itu adalah kelahiran, umur tua, sakit, mati, disatukan dengan yang tidak dikasihi, dan tidak mencapai yang diinginkan. Guru Buddha bersabda, "Sekarang, O, para biksubhikkhu, Kebenaran Ariya tentang Dukkha, yaitu : kelahiran adalah dukkha, usia tua adalah dukkha, penyakit adalah dukkha, kematian adalah dukkha, sedih, ratap tangis, derita (badan), dukacita, putus asa adalah dukkha; berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah dukkha, berpisah dari yang dicintai adalah dukkha, tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah dukkha. Singkatnya Lima Kelompok Kemelekatan merupakan dukkha. Semua yang Kita alami adalah dukkha."<ref name="catur"/>
 
* '''Kebenaran Ariya tentang Asal Mula Dukkha''' (''Dukkha Samudaya Ariya Sacca'')
Baris 105:
{{utama|Jalan Mulia Berunsur Delapan}}
[[Berkas:Dharma Wheel.svg|jmpl|''[[Dharmacakra]]'' melambangkan [[Jalan Mulia Berunsur Delapan]]]]
Dalam '''''Dhammacakkappavattana Sutta; Samyutta Nikaya 56.11 {S 5.420}''''', Guru Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Ariya kepada Lima BiksuBhikkhu Pertama (''Panca Vaggiya BiksuBhikkhu''), yang di dalamnya terdapat Jalan yang Menuju Terhentinya Dukkha. Jalan itu disebut dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan (''Ariya Atthangiko Magga''). Di dalam Jalan ini mengandung unsur ''sila'' (kemoralan), ''samadhi'' (konsentrasi), dan ''panna'' (kebijaksanaan)<ref>{{cite web
| url =http://bhagavant.com/home.php?link=dhamma_sari&n_id=51
| title = Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangiko Magga)
Baris 228:
| quote = }}</ref> :
 
"Para biksubhikkhu, cetana (kehendak)lah yang kunyatakan sebagai kamma. Setelah berkehendak, orang melakukan suatu tindakan lewat tubuh, ucapan atau pikiran."
 
Jadi, kamma berarti semua jenis kehendak (''cetana''), perbuatan yang baik maupun buruk/jahat, yang dilakukan oleh jasmani (''kaya''), perkataan (''vaci'') dan pikiran (''mano''), yang baik (''kusala'') maupun yang jahat (''akusala'').
Baris 259:
Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan [[Tuhan]]. Konsep [[Tuhan dalam agama Buddha|ketuhanan dalam agama Buddha]] berbeda dengan konsep dalam [[agama Samawi]] di mana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke [[surga]] ciptaan Tuhan yang kekal.
 
{{quotation|Ketahuilah para biksubhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para BiksuBhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para biksubhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.|Sutta Pitaka, Udana VIII : 3}}
 
Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII:3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam [[bahasa Pali]] adalah '''''Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang''''' yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (''anatta''), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (''samkhata'') dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (''samsara'') dengan cara bermeditasi<ref>{{cite web
Baris 351:
Sejarah Theravada tidak lepas dari sejarah Buddha Gautama sebagai pendiri agama Buddha. Setelah Sang Buddha [[parinibbana]] (543 SM), tiga bulan kemudian diadakan [[Sidang agung Buddhis|Sidang Agung Sangha]] (Sangha Samaya).
 
Diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei), berlangsung selama 2 bulan dipimpin oleh [[Y.A. Maha Kassapa]] dan dihadiri oleh 500 orang [[BiksuBhikkhu]] yang semuanya [[Arahat]]. Sidang diadakan di [[Goa Satapani]] di kota [[Rajagaha]]. Sponsor sidang agung ini adalah [[Raja Ajatasatu]]. Tujuan Sidang adalah menghimpun Ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan. Mengulang [[Dhamma]] dan [[Vinaya]] agar Ajaran Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya. [[Y.A. Upali]] mengulang Vinaya dan [[Y.A. Ananda]] mengulang Dhamma.
 
Sidang Agung Sangha ke-2, pada tahun 443 SM , [[di mana]] awal Buddhisme mulai terbagi menjadi 2. Di satu sisi kelompok yang ingin perubahan beberapa peraturan minor dalam Vinaya, di sisi lain kelompok yang mempertahankan Vinaya apa adanya. Kelompok yang ingin perubahan Vinaya memisahkan diri dan dikenal dengan Mahasanghika yang merupakan cikal bakal Mahayana. Sedangkan yang mempertahankan Vinaya disebut Sthaviravada.
Baris 367:
 
=== Kathina ===
Hari raya Kathina merupakan upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah menjalani Vassa. Jadi setelah masa Vassa berakhir, umat Buddha memasuki masa Kathina atau bulan Kathina. Dalam kesempatan tersebut, selain memberikan persembahan jubah Kathina, umat Buddha juga berdana kebutuhan pokok para BiksuBhikkhu, perlengkapan vihara, dan berdana untuk perkembangan dan kemajuan agama Buddha.
 
=== Asadha ===
Kebaktian untuk memperingati Hari besar Asadha disebut Asadha Puja / Asalha Puja. Hari raya Asadha, diperingati 2 (dua) bulan setelah Hari Raya Waisak, guna memperingati peristiwa [[di mana]] Buddha membabarkan Dharma untuk pertama kalinya kepada 5 orang pertapa (Panca Vagiya) di Taman Rusa Isipatana, pada tahun 588 Sebelum Masehi. Kelima pertapa tersebut adalah Kondanna, Bhadiya, Vappa, Mahanama dan Asajji, dan sesudah mendengarkan khotbah Dharma, mereka mencapai arahat. Lima orang pertapa, bekas teman berjuang Buddha dalam bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela merupakan orang-orang yang paling berbahagia, karena mereka mempunyai kesempatan mendengarkan Dhamma untuk pertama kalinya. Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagghiya BiksuBhikkhu tersebut, Buddha membentuk Arya Sangha Biksu Bhikkhu(Persaudaraan Para BiksuBhikkhu Suci) yang pertama (tahun 588 Sebelum Masehi ). Dengan terbentuknya Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha dan Dhamma (yang ditemukan oleh Buddha).
 
Tiratana atau Triratna berarti Tiga Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma dan Sangha. Tiratana merupakan pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan memanjatkan paritta Tisarana ( Trisarana ). Umat Buddha berlindung kepada Buddha berarti umat Buddha memilih Buddha sebagai guru dan teladannya. Umat Buddha berlindung kepada Dhamma berarti umat Buddha yakin bahwa Dhamma mengandung kebenaran yang bila dilaksanakan akan mencapai akhir dari dukkha. Umat Buddha berlindung kepada Sangha berarti umat Buddha yakin bahwa Sangha merupakan pewaris dan pengamal Dhamma yang patut dihormati.
Baris 377:
 
=== Magha Puja ===
Hari Besar Magha Puja memperingati disabdakannya Ovadha Patimokha, Inti Agama Buddha dan Etika Pokok para BiksuBhikkhu. Sabda Sang Buddha di hadapan 1.250 Arahat yang kesemuanya arahat tersebut ditabiskan sendiri oleh Sang Buddha (Ehi BiksuBhikkhu:BiksuBhikkhu yang ditasbihkan sendiri oleh sang Buddha), yang kehadirannya itu tanpa diundang dan tanpa ada perjanjian satu dengan yang lain terlebih dahulu, Sabda Sang Buddha bertempat di Vihara Veluvana, Rajagaha.
Tempat ibadah agama Buddha disebut [[Vihara]].