Kesultanan Sambas: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Menolak 7 perubahan teks terakhir dan mengembalikan revisi 11977561 oleh AABot
Baris 1:
[[Berkas:Lambang Kesultanan Sambas.png|pus|jmpl|640x640px|Lambang Kesultanan Sambas]]
{{Infobox Former Country
|native_name = كسولتانن سمباس
Baris 27 ⟶ 28:
|image_map_caption = Istana Alwatzikhubillah di [[Sambas]]
|capital = [[Sambas]]
|common_languages = [[Bahasa Melayu|Melayu sambas]] (resmi), [[Rumpun bahasa Dayak Darat|Dayak]]
|religion = [[Islam]]
|government_type = [[Monarki]] [[Kesultanan]]
Baris 40 ⟶ 41:
|footnotes =
}}
'''Kesultanan Sambas''' adalah kesultanan yang terletak di wilayah pesisir utara [[Provinsi Kalimantan Barat]] atau wilayah barat laut [[Pulau Kalimantan]] dengan pusat pemerintahannya adalah di Kota [[Sambas]] sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus pemerintahan dari kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama "Sambas" di wilayah ini paling tidak telah berdiri dan berkembang sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab [[Negarakertagama]] karya [[Mpu Prapanca]]. Pada masa itu rajanya bergelar "NengNek", salah satunya bernama Neng Rio (Ne"Nek Riuh menurut versi Dayak kanayatn). Setelah masa Ne'Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan raja yang bernama Tan Unggal yang terkenal sangat kejam. Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas ini tidak mau mengangkat raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M ([[1530]]) datang serombongan besar orang-orang dari [[Pulau Jawa]] (sekitar lebih dari 500 orang) yaitu dari kalangan Bangsawan Kerajaan [[Majapahit]] yang masih beragama [[Hindu]], yaitu keturunan dari Raja Majapahit sebelumnya yang bernama Wikramawardhana.
 
Pada saat itu di pesisir dan tengah wilayah Sungai Sambas ini telah sejak ratusan tahun didiami oleh orang-orang Melayu yang telah mengalami asimilasi dengan orang-orang [[Dayak]] pesisir di mana karena saat itu wilayah ini sedang tidak ber-Raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka kedatangan rombongan pelarian [[Majapahit]] ini berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik. Rombongan [[Majapahit]] ini kemudian menetap di hulu Sungai Sambas yaitu di suatu tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Setelah sekitar lebih dari 10 tahun menetap di "Kota Lama" dan melihat keadaan wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif maka kemudian para pelarian [[Majapahit]] ini mendirikan sebuah Kerajaan hindu yang kemudian disebut dengan nama "Panembahan Sambas". Raja Panembahan Sambas ini bergelar "Ratu" (Raja Laki-laki) di mana Raja yang pertama tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah untuk pertama kalinya diadakan kerjasama perdagangan antara Panembahan Sambas ini dengan [[VOC]] yaitu pada tahun [[1609]].
Baris 52 ⟶ 53:
 
# Kerajaan Wijaya Pura sekitar abad 7 M - 9 M.
# Kerajaan Sanujuh (Neng rio / Ne'Nek Riuh) Milik Dayak bakati utara, sekitar abad 13 M - 14 M.
# Kerajaan Tan Unggal sekitar abad 15 M.
# Panembahan Sambas pada abad 16 M.
Baris 67 ⟶ 68:
Setelah sekitar 2 tahun memerintah di Kesultanan Sarawak yang berpusat di Sungai Bedil ([[Kuching]] sekarang), Sultan Tengah kemudian melakukan kunjungan ke [[Kesultanan Johor]]. Saat itu di Kesultanan Johor yang menjadi sultan adalah Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) di mana permaisuri Sultan Abdul Jalil ini adalah ''Mak Muda'' dari Sultan Tengah. Sewaktu di Kesultanan Johor ini terjadi kesalahpahaman antara Sultan Tengah dengan Sultan Abdul Jalil sehingga kemudian membuat Sultan Tengah dan rombongannya harus pulang dengan tergesa-gesa ke [[Sarawak]] sedangkan saat itu sebenarnya bukan angin yang baik untuk melakukan pelayaran. Oleh karena itulah maka ketika sampai di laut lewat dari [[Selat Malaka]], kapal rombongan Sultan Tengah ini dihantam badai. Setelah terombang-ambing di laut satu hari satu malam, kapal Sultan Tengah tenyata telah terdampar di pantai yang adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Sukadana. Pada saat itu yang menjadi sultan di Kesultanan Sukadana adalah Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika) yang baru saja kedatangan utusan Amir Makkah yaitu Shekh Shamsuddin yang mengesahkan gelaran Sultan Muhammad Shafiuddin ini. Sebelum ke Kesultanan Sukadana, Shekh Shamsuddin telah berkunjung pula ke [[Kesultanan Banten]] yang juga mengesahkan gelaran Sultan Banten pada tahun yang sama.
 
Sultan Tengah dan rombongannya kemudian disambut dengan baik oleh Sultan Muhammad Shafiuddin. Setelah tinggal beberapa lama di Kesultanan Sukadana, setelah melihat kepribadian Sultan Tengah yang baik, maka kemudian Sultan Muhammad Shafiuddin mencoba menjodohkan Sultan Tengah dengan putrinya yang bernama Putri Surya Kesuma. Sultan Tengah pun kemudian menerima perjodohan ini. Setelah menikah dengan Putri Surya Kesuma ini Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk menetap sementara di Kesultanan Sukadana sambil menunggu situasi yang aman di sekitar [[Selat Malaka]] menyusul adanya ekspansi besar-besaran dari [[Kesultanan Johor]] di bawahdibawah pimpinan Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) di wilayah itu. Dari pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma ini Sultan Tengah kemudian memperoleh seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Sulaiman.
 
Setelah sekitar 7 tahun menetap di Kesultanan Sukadana dan situasi di sekitar [[Selat Malaka]] masih belum aman dari ekspansi Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) itu, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk berpindah dari Kesultanan Sukadana untuk menetap di tempat baru yaitu wilayah Sungai Sambas karena sebelumnya Sultan Tengah telah mendengar sewaktu di Sukadana bahwa di sekitar Sungai Sambas terdapat sebuah Kerajaan yang berhubungan baik dengan Kesultanan Sukadana yaitu Panembahan Sambas.
Baris 99 ⟶ 100:
Kesultanan Sambas selama 100 tahun yaitu dari paruh pertama abad ke-18 hingga paruh pertama abad ke-19 M merupakan '''Kerajaan Terbesar''' di wilayah pesisir barat [[Pulau Kalimantan]] ([[Kalimantan Barat]]) hingga kemudian [[Hindia Belanda]] masuk pada awal abad ke-19 M. Pihak Hindia Belanda ini yang membuat besar [[Kesultanan Pontianak]] sehingga kemudian Kesultanan Pontianak menggantikan posisi Kesultanan Sambas sebagai kerajaan terbesar di wilayah ini.
 
Pada sekitar awal abad ke-19 M (sekitar tahun 1805 M hingga tahun 1811 M) sering terjadi pertempuran di laut antara kapal-kapal Inggris dengan armada laut Kesultanan Sambas. Pada tahun 1812 M Hindia Inggris di bawahdibawah pimpinan T. S. Raffles mengirimkan armada dan pasukan untuk menyerang Kesultanan Sambas. Pertempuran sengit antara pasukan Inggris dan pasukan Kesultanan Sambas kemudian berlangsung disekitar percabangan Sungai Sambas (sekitar Kampung Sebatu) dan akhirnya pasukan Inggris itu dapat dikalahkan / dipukul mundur oleh pasukan Kesultanan Sambas (sebagaimana yang tercantum dalam buku sejarah tulisan Sir Graham Irwin / Sejarawan terkenal Inggris dalam bukunya yang berjudul "Borneo in Eighteen Century").
 
Dari sejak berdirinya Kesultanan Sambas pada tahun 1671 dengan Sultan pertama Kesultanan Sambas yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin I hingga tahun 1818 yaitu dimasa pemerintahan Sultan Sambas ke-8 yaitu Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I (Pangeran Anom), Kesultanan Sambas pada rentang masa itu (1671 M - 1818 M) adalah dalam kondisi berdaulat penuh yaitu pada rentang masa itu tidak ada satu pun kekuasaan asing yang menduduki atau mendirikan perwakilan pemerintahan di Kesultanan Sambas dan pada rentang masa itu Kesultanan Sambas tidak ada tunduk atau mengantarkan upeti apapun kepada pihak kekuasaan asing manapun.
Baris 115 ⟶ 116:
Walaupun telah dibentuk armada angkatan laut Kesultanan Sambas ini, kapal-kapal Inggris masih dengan angkuhnya tetap melakukan aktivitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan induk di sungai sambas. Aturan mesti melewati pelabuhan induk ini merupakan aturan tata perdagangan pada Kerajaan di nusantara ini sejak zaman Sriwijaya sehingga sudah merupakan aturan yang sah dan resmi, yaitu apabila ada kapal asing yang tidak mau melewati pelabuhan induk maka kapal itu akan digiring, bila tidak mau digiring maka kapal itu akan diperangi dan bila kapal itu berhasil dikalahkan maka sebagai hukumannya, seluruh awak akan di tawan dan seluruh harta kapal akan dirampas menjadi milik armada Kerajaan yang memiliki wilayah itu.
 
Tetapi orang-orang eropa khususnya Inggris ini sering meremehkan kedaulatan dan kemampuan kerajaan di nusantara ini yang untuk kasus ini adalah Kesultanan Sambas. Hal ini kemudian membuat sering terjadinya pertempuran Laut antara kapal-kapal Inggris yang juga bersenjatakan meriam itu dengan armada angkatan laut Kesultanan Sambas di bawahdibawah pimpinan Pangeran Anom ini dan berkat ketangguhan Pangeran Anom dalam memimpin armada laut Kesultanan Sambas ini, dalam sekitar 4 atau 5 pertempuran laut yang terjadi, seluruhnya dapat dimenangkan oleh armada Pangeran Anom ini.
 
Hal ini kemudian berlanjut terus hingga kemudian menimbulkan semacam kondisi perang antara Kerajaan Inggris dengan Kesultanan Sambas di mana bila di mana-mana perairan ditemukan kapal Inggris pasti akan diserang oleh armada Kesultanan Sambas di bawah Pangeran Anom ini dan begitu pula sebaliknya. Tercatat dalam sejarah beberapa nama kapal Inggris yang telah ditaklukkan oleh armada laut Kesultanan Sambas ini yaitu kapal tranfers, cendana, dan yang terakhir adalah kapal dengan nama Commerce (yang oleh lidah Melayu Sambas di sebut kerimis).
Baris 135 ⟶ 136:
=== Masa Pendudukan Jepang ===
{{utama|Peristiwa Mandor}}
Setelah memerintah kira-kira 4 tahun, Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II wafat. Pemerintahan Kesultanan Sambas diserahkan kepada keponakannya yaitu Raden Muhammad Mulia Ibrahim bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II menjadi Sultan Sambas ke-15 dengan gelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin inilah, pasukan [[Jepang]] masuk ke [[Sambas]]. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin kemudian menjadi salah seorang korban keganasan pasukan [[Jepang]], yaitu bersama dengan sebagian besar raja-raja lainnya yang ada di wilayah Borneo Barat ini dibunuh pasukan [[Jepang]] di daerah Mandor.
 
Setelah jepang di bom atom oleh Sekutu, Pemerintahan Kesultanan Sambas berdiri kembali oleh sebuah Majelis Kesultanan Sambas di bawahdibawah pimpinan Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma Muchsin Panji Anom, hingga kemudian dengan terbentuknya [[Republik Indonesia]] Serikat, Majelis Kesultanan Sambas kemudian memutuskan untuk bergabung dalam [[Republik Indonesia]] Serikat melalui Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada tahun 1950.
 
== Batas Wilayah Kekuasaan Kesultanan Sambas ==
Baris 157 ⟶ 158:
# '''Sultan Achmad Tajuddin''' bin '''Sultan Umar Aqamaddin II''' ([[1786]] - [[1793]])
# '''Sultan Abubakar Tajuddin I''' bin '''Sultan Umar Aqamaddin II''' ([[1802]] - [[1815]])
# '''Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I''' bin '''Sultan Umar Aqamaddin II''' ([[1815]] - [[1828]])<ref name="eysinga">{{nl icon}} {{cite book|pages=178|volume=3|publisher=Van Bakkenes|url=http://books.google.co.id/books?id=EvNFAAAAcAAJ&dq=Banjermasing.%20Padoeka%20Pangeran%20Mangkoe%20Boemi&hl=id&pg=PA178#v=onepage&q&f=false|first=Philippus Pieter Roorda|last=van Eysinga|title=Handboek der land- en volkenkunde, geschiedtaal-, aardrijks- en staatkunde von Nederlandsch Indie|year=1841}}</ref>
# '''Sultan Usman Kamaluddin''' bin '''Sultan Umar Aqamaddin II''' ([[1828]] - [[1832]])
# '''Sultan Umar Aqamaddin III''' bin '''Sultan Umar Aqamaddin II''' ([[1832]] - [[1846]])