Buddhisme di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Nampak, +Tampak; -nampak, +tampak; -Nampaknya, +Tampaknya; -nampaknya, +tampaknya)
Baris 44:
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran [[Siwasiddhanta]] kecuali [[Tribuwanattungadewi]] (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walau begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun [[1447]]. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan [[Raden Wijaya]](Kertarajasa) ada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu ''[[Dharmadyaksa ring Kasiwan]]'' dan ''[[Dharmadyaksa ring Kasogatan]]'', kemudian lima pejabat Siwa di bawahnya yang disebut [[Dharmapapati]] atau [[Dharmadihikarana]].
 
Pada zaman majapahit ada dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana yaitu ''[[Sanghyang Kamahayanan Mantrayana]]'' yang berisi mengenai ajaran yang ditujukan kepada bhiksu yang sedang ditahbiskan, dan ''[[Sanghyang Kamahayanikan]]'' yang berisi mengenai kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai pelepasan. Pokok ajaran dalam ''Sanghyang Kamahayanikan'' adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam-macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. NampaknyaTampaknya, sikap sinkretisme dari penulis ''Sanghyang Kamahayanikan'' tercermin dari pengidentifikasian [[Siwa]] dengan Buddha dan menyebutnya sebagai "'''[[Siwa-Buddha]]'''", bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu kesadaran tertinggi.
 
Pada zaman Majapahit ([[1292]]-[[1478]]), sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Sepertinya aliran [[Hindu-Siwa]] , [[Hindu-Wisnu]] dan Agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Siwa dan [[Wisnu]] dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan sebagai "[[Harihara]]" yaitu [[rupang]] ([[arca]]) setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang sama. Di dalam kitab [[kakawin Arjunawijaya]] karya [[Mpu Tantular]] misalnya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para pandhita menerangkan bahwa para [[Jina]] dari penjuru alam yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. [[Vairocana]] sama dengan Sadasiwa yang menduduki posisi tengah. [[Aksobya]] sama dengan [[Rudra]] yang menduduki posisi timur. [[Ratnasambhava]] sama dengan [[Brahma]] yang menduduki posisi selatan, [[Amitabha]] sama dengan Mahadewa yang menduduki posisi barat dan [[Amogasiddhi]] sama dengan Wisnu yang menduduki posisi utara. Oleh karena itu para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara Agama Buddha dengan Siwa . Dalam kitab [[Kunjarakarna]] disebutkan bahwa tiada seorang pun, baik pengikut Siwa maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Siwa-Buddha.