Suku Betawi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Menolak 4 perubahan teks terakhir (oleh 140.0.16.28) dan mengembalikan revisi 13364615 oleh Mimihitam
Baris 28:
 
* Pitawi ([[bahasa Melayu]] Polynesia Purba) yang artinya larangan. Perkataan ini mengacu pada komplek bangunan yang dihormati di [[Percandian Batujaya|Candi Batu Jaya]]. Sejarahwan Ridwan Saidi mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan di [[Percandian Batujaya|Candi Batu Jaya]], Tatar Pasundan, [[Karawang]] merupakan sebuah Kota Suci yang tertutup, sementara Karawang, merupakan Kota yang terbuka.<ref>Pernyataan Ridwan Saidi dalam tulisan ini belum menjelaskan konteks Karawang yang ''tertutup'' dan ''terbuka'' apakah dalam konteks kurun waktu yang sama atau periode berbeda.</ref>
* Betawi (Bahasa Melayu Brunei) di mana kata ''Betawi'' digunakan untuk menyebut ''giwang''<ref>Etimologi dari ''Giwang'' menurut [http://www.kamusdaerah.com/?bhs=m&bhs2=a&q=giwang#ixzz3kZSWklBf Kamus Daerah - Kamus Bahasa Daerah Online Berbagai Bahasa Daerah di Indonesia] :<br /> 1. ''Giwang'' (bhs. Sunda)
Artinya: kerabu, subang. (bhs. Indonesia)<br />
2. ''Giwangkara'' (bhs. Sunda)<br />
Baris 39:
Diduga bahwa Bekasi merupakan salah satu pusat Kerajaan Tarumanagara (Prasasti Tugu, berbunyi : ..dahulu kali yang bernama Kali Candrabhaga digali oleh Maharaja Yang Mulia Purnawarman, yang mengalir hingga ke laut, bahkan kali ini mengalir disekeliling istana kerajaan. Kemudian, semasa 22 tahun dari tahta raja yang mulia dan bijaksana beserta seluruh panji-panjinya menggali kali yang indah dan berair jernih, “Gomati” namanya. Setelah sungai itu mengalir disekitar tanah kediaman Yang Mulia Sang Purnawarman. Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, yaitu pada tanggal 8 paro petang bulan Phalguna dan diakhiri pada tanggal 13 paro terang bulan Caitra. Jadi, selesai hanya 21 hari saja. Panjang hasil galian kali itu mencapai 6.122 tumbak. Untuk itu, diadakan selamatan yang dipimpin oleh para Brahmana dan Raja mendharmakan 1000 ekor sapi…). Tulisan dalam prasasti ini menggambarkan perintah Raja Purnawarman untuk menggali kali Candrabhaga, yang bertujuan untuk mengairi sawah dan menghindar dari bencana banjir yang kerap melanda wilayah Kerajaan Tarumanagara (Lebih lanjut lihat : [[Kabupaten Bekasi]]).
</ref>, yang banyak ditemukan ''giwang'' dari abad ke-11 M.
* Flora guling Betawi (cassia glauca), famili ''papilionaceae'' yang merupakan jenis tanaman perdu yang kayunya bulat seperti guling dan mudah diraut serta kukuh. Dahulu kala jenis batang pohon Betawi banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata keris atau gagang pisau. Tanaman guling Betawi banyak tumbuh di Nusa Kelapa dan beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan. Sementara di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, guling Betawi disebut Kayu Bekawi. Ada perbedaan pengucapan kata "Betawi" dan "Bekawi" pada penggunaan kosakata "k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, pergeseran huruf tersebut biasa terjadi dalam bahasa Melayu.
 
Kemungkinan nama Betawi yang berasal dari jenis tanaman pepohonan ada kemungkinan benar. Menurut Sejarahwan Ridwan Saidi Pasalnya, beberapa nama jenis flora selama ini memang digunakan pada pemberian nama tempat atau daerah yang ada di Jakarta, seperti Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol dan banyak lagi. "Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak ada hubungannya dengan orang Makassar, melainkan diambil dari jenis rerumputan"<ref>[http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=40450 "Dari Gagang Keris Menjadi Betawi" ]</ref>
Baris 47:
{{cquote|“Batavia is the Latin name for the land of the Batavians during Roman times. This was roughly the area around the city of Nijmegen, Netherlands, within the Roman Empire. The remainder of this land is nowadays known as Betuwe. During the Renaissance, Dutch historians tried to promote these Batavians to the status of "forefathers" of the Dutch people. They started to call themselves Batavians, later resulting in the Batavian Republic, and took the name "Batavia" to their colonies such as the Dutch East Indies, where they renamed the city of Jayakarta to become Batavia from 1619 until about 1942, when its name was changed to Djakarta (this is the short for the former name Jayakarta, later respelt Jakarta; see: History of Jakarta). The name was also used in Suriname, where they founded Batavia, Suriname, and in the United States where they founded the city and the town of Batavia, New York. This name spread further west in the United States to such places as Batavia, Illinois, near Chicago, and Batavia, Ohio.”.}}
 
Batavia merupakan nama Latin untuk tanah Batavia pada zaman Romawi. Perkiraan kasarnya berada sekitar kota Nijmegen, Belanda, dalam Kekaisaran Romawi. Sisa lahan ini kini dikenal sebagai Betuwe. Selama Renaisans''Renaissance'', sejarawan Belanda mencoba untuk mempromosikan Batavia menjadi sebuah status "nenek moyang" dari orang-orang Belanda. Kemudian mereka mulai menyebut diri Orang-orang atau penduduk Batavia, kemudian hal tersebut mengakibatkan munculnya Republik Batavia, dan mengambil nama "Batavia" untuk koloni mereka seperti Hindia Belanda, di mana mereka mengganti nama menjadi dari Kota Jayakarta menjadi Batavia dari 1619 sampai sekitar 1942, ketika namanya diubah menjadi Djakarta (ini adalah kependekan dari nama mantan Jayakarta, kemudian diubah kembali ejaannya menjadi Jakarta). Nama itu (Batavia) juga digunakan di Suriname, di mana mereka mendirikan [[Batavia, Suriname]], dan di Amerika Serikat di mana mereka mendirikan kota dan kota Batavia, New York. Nama ini menyebar lebih jauh ke barat di Amerika Serikat untuk tempat-tempat seperti Batavia, Illinois, dekat Chicago, dan Batavia, Ohio.
 
Kemudian penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku yang pada masa hindia belanda, diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama [[Pemoeda Kaoem Betawi]] yang lahir pada tahun [[1923]].<ref>[http://langgambudaya.ui.ac.id/betawi/video/detail/9/profil-kesenian-tanjidor/ Profil Kesenian Tanjidor di situs web LanggamBudaya.ui.ac.id.]</ref>
 
== Sejarah ==
Berikut merupakan pemaparan para ahli tentang sejarah betawiBetawi.
 
=== Periode Sebelum Masehi ===
Baris 68:
===== Abad ke-2 =====
 
Pada abad ke-2, Menurut Yahya Andi Saputra Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi adalah rakyat kerajaanKerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perdagangan dengan Cina telah maju. Bahkan, pada tahun 432 M Salakanagara telah mengirim utusan dagang ke Cina.
 
===== Abad ke-5 =====
 
Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum. Menurut Yahya, ada yang menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaanKerajaan Salakanagara. Hanya saja ibukota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi kali Citarum. Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibukotaibu kota kerajaan di tepi sungai Candrabagha, yang oleh '''Poerbatjaraka''' diidentifikasi dengan sungai Bekasi. ''Candra'' berarti bulan atau sasi''sasih'', jadi ucapan lengkapnya ''Bhagasasi'' atau ''Bekasi'', yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara yang termashurtermasyhur itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal persawahan menetap. Pada zaman Tarumagara kesenian mulai berkembang. Petani Betawi membuat orang -orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini ma sihmasih dapat kita saksikan di sawah-sawah menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil mengge rakmenggerak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu. Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Pendu dukPenduduk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan merdekamereka punya kagoembiraanka''gumbira''an. Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan. Nelayan juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara ''nyadran''. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.
 
===== Abad ke-7 =====
 
Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan [[Sriwijaya]] yang beragama Budha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera. Mereka mendirikan permukiman di pesisir Jakarta. Kemudian bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja. Kemudiankemudian meluas sehingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gu nungGunung Gede. Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga. Dalam keluarga Betawi ayah disebut ''baba''. Tetapi ada juga yang menyebutnya ''babe, mba, abi atau abah'' — pengaruh para pendatang dari HadraHadramaut, mautYaman. Ibu disebut ''mak''. Tetapi tidak kurang banyaknya yang menyebut umi atau enya' dari kata [[nyonya]]. Anak pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak bontot.
 
===== Abad ke-10 =====
Baris 82:
Pada sekitar abad ke-10. Saat terjadi persaingan antara orang Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan wong Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian menjadi perang dan membawa Cina ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah Barat mulai dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.
Sriwijaya kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi ternyata Syailendara abai maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya – karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukin awal – bahasa Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai ''lingua franca'' di Kerajaan Kalapa. Sejarahwan Ridwan Saidi mencontohkan, orang “pulo”, yaitu orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa Melayu), bukan “musim kulon” (bahasa Sunda), orang-orang di desa pinggiran Jakarta mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa Melayu Kalimantan bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.
 
==== Periode Kolonialisasi Eropa ====
Baris 145:
Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar "Kalapa" (sekarang [[Jakarta]]) juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau penduduk asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakan [[bahasa Melayu]], bahkan ada juga yang mengatakan suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami wilayah inipun juga ikut menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatera dan [[Kalimantan Barat]], penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu lainnya semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya - Kediri yang dimediasi oleh China yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
 
Karena perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda diwilayahdi wilayah lainnya tersebut maka pada awal [[abad ke-20]], Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis [[Sunda]] dan menyebutnya sebagai etnis [[Betawi]]. Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam [[bahasa Sunda]] seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno [[Bujangga Manik]]<ref>{{cite book
|last =
|first =