Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (1945): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 32:
Setelah pelarangan tersebut, para anggota dan pengikut Masyumi mendirikan Keluarga Bulan Bintang ({{lang-en|Crescent Star Family}}) untuk mengkampanyekan hukum [[syariah]] dan ajarannya. Sebuah upaya untuk membangkitkan kembali partai ini selama masa [[transisi ke Orde Baru]] sempat dilakukan, namun tidak diizinkan. Setelah [[kejatuhan Soeharto]] pada tahun 1998, upaya lain untuk membangkitkan partai ini kembali dilakukan, namun para pengikut Masyumi mendirikan [[Partai Bulan Bintang]], yang berpartisipasi dalam pemilihan legislatif tahun [[Pemilu 1999|1999]], [[Pemilu 2004|2004]], dan [[Pemilu 2009|2009]].<ref name="Partai2">' Bambang Setiawan & Bestian Nainggolan (Eds) (2004) pp54-55</ref>
 
== Organisasi PendiriSejarah ==
 
Masyumi pada awalnya didirikan 24 Oktober 1943 sebagai pengganti [[MIAI]] (Madjlisul Islamil A'laa Indonesia) karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Meskipun demikian, Jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada pada zaman Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga pada minggu-minggu pertama, Jepang telah melarang [[Sarekat Islam|Partai Sarekat Islam Indonesia]] (PSII) dan [[Partai Islam Indonesia]] (PII). Selain itu Jepang juga berusaha memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan para kyai di pedesaan. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang karena dapat menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh maupun tentara. Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalam [[Putera]] (Pusat Tenaga Rakyat), akhirnya Jepang mendirikan Masyumi.
 
Masyumi pada zaman pendudukan [[Jepang]] belum menjadi partai namun merupakan federasi dari empat organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaitu [[Nahdlatul Ulama]] (NU), [[Muhammadiyah]], [[Persatuan Umat Islam]], dan [[Persatuan Umat Islam Indonesia]].<ref>[http://www.al-shia.com/html/id/service/Info-Universitas/universitas%20Islam%20Indonesia.htm Sejarah Singkat Universitas Islam Indonesia]</ref> Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian [[Abadi (surat kabar)|Abadi]] pada tahun 1947.
 
[[Nahdlatul Ulama]] (NU) adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi. Tokoh NU, [[Hasyim Asy'arie|KH Hasyim Asy'arie]], terpilih sebagai pimpinan tertinggi Masyumi pada saat itu. Tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam kepengurusan Masyumi dan karenanya keterlibatan NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari. Nahdlatul Ulama kemudian ke luar dari Masyumi melalui surat keputusan [[Pengurus Besar Nahdlatul Ulama]] (PBNU) pada tanggal [[5 April]] [[1952]] akibat adanya pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama saja. Hubungan antara Muhammadiyah dengan Masyumi pun mengalami pasang-surut secara politis dan sempat merenggang pada [[Pemilu 1955]]. Muhammadiyah pun melepaskan keanggotaan istimewanya pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun [[1960]].
 
=== Di bawah Kabinet Natsir ===
{{main|Kabinet Natsir}}
Presiden Soekarno memberikan tanggung jawab pembentukan pemerintahan pertama Republik Indonesia pasca kemerdekaan kepada Ketua Umum Masyumi, [[Mohammad Natsir]]. Dengan 49 kursi parlemen, Masyumi merupakan partai terbesar yang menduduki kursi DPR dan merupakan pilihan nyata untuk diberikan kesempatan awal dalam mengatur sebuah kabinet. Sebagian besar pengamat berasumsi, bahwa kurangnya persentase mayoritas Masyumi di parlemen menghilangkan hak mereka untuk memerintah secara sepihak, dan karena itu mereka membutuhkan pragmatisme politik untuk berusaha membangun pemerintahan koalisi. [[Partai Nasional Indonesia]] (PNI) yang merupakan partai terbesar kedua di parlemen, tampaknya merupakan pilihan yang jelas untuk bertindak sebagai mitra kabinet.{{sfn|Lucius|2003|p=75}}
 
Sebagai formatur, pada awalnya Natsir mencoba membentuk kabinet dengan menggabungkan Masyumi bersama PNI, namun serangkaian perselisihan mengenai pembagian posisi kunci kementerian menyebabkan setiap upaya penggabungan ini gagal. Natsir kemudian mengubah strateginya, dan dengan berani mengganti rencananya untuk mengatur kabinet dengan para anggota Masyumi sebagai intinya, ditambah dengan perwakilan non-partai dan anggota dari banyak partai kecil di parlemen. Hasilnya, ia mampu membentuk kabinet dimana kader-kader Masyumi memegang jabatan [[Perdana Menteri Indonesia|Perdana Menteri]], kemudian posisi kunci seperti [[Menteri Luar Negeri Indonesia|Menteri Luar Negeri]], [[Menteri Keuangan Indonesia|Keuangan]], dan [[Menteri Agama Indonesia|Agama]]. Kelima jabatan tersebut diberikan kepada individu-individu yang tidak memiliki hubungan dengan partai tertentu, dan sembilan kursi lainnya dialokasikan ke beberapa partai kecil, masing-masing terdiri dari [[Partai Sosialis Indonesia]] (16 kursi), [[Partai Indonesia Raya]] (9 kursi), [[Parkindo]] (4 kursi), [[Persatuan Indonesia Raya]] (18 kursi), Fraksi Katolik (8 kursi), Fraksi Demokrasi (14 kursi), dan [[Partai Sarekat Islam Indonesia]] (5 kursi). Pembagian dua jabatan menteri yang relatif sederhana ke PSI memungkiri fakta bahwa kelima menteri tanpa afiliasi partai dianggap telah berbagi agenda politiknya.{{sfn|Feith|1962|p=151}}
 
Komposisi Kabinet Natsir disambut dengan ketidaksetujuan secara langsung dari dalam parlemen, dan juga dari dalam Masyumi sendiri. Sebagai partai terbesar kedua di parlemen, para pimpinan PNI dengan keras keberatan karena dikeluarkan dari kabinet tersebut. Di sisi lain, pimpinan senior Masyumi juga berbeda pendapat dengan keputusan Natsir yang memilih untuk mengecualikan anggota PNI dari parlemen. Secara khusus, sayap faksi modern Masyumi pimpinan Dr. [[Sukiman Wirjosandjojo]] memperingatkan Natsir terhadap ancaman polarisasi hubungan antara Masyumi dengan PNI yang tentu akan menghasilkan hubungan yang lebih dekat dengan berbagai partai oposisi lainnya, terutama yang menyukai ideologi [[Komunis]]. Sukiman dan sekutu politiknya di Masyumi memang termasuk tokoh yang paling gencar dalam menentang upaya Natsir untuk mengecualikan PNI dari kabinet.{{sfn|Lucius|2003|p=76}}
 
Meskipun pada bulan Oktober 1950 ada sebuah upaya yang dilakukan oleh sekutu politik PNI untuk memperkenalkan gerakan parlemen yang akan menyebabkan pengangkatan daftar pejabat resmi, pemerintah di bawah Natsir dapat mengumpulkan cukup banyak dukungan untuk memenangkan mosi percaya dengan selisih yang cukup besar (118 melawan 73).{{sfn|Kahin|1950|p=211}} Namun, hilangnya dukungan dari satu-satunya partai Islam terkemuka lainnya, PSII, memicu pengunduran diri perwakilan tunggal mereka di kabinet, [[Harsono Tjokroaminoto]], dan dengan demikian memperlemah koalisi ini. Peristiwa ini dan usaha lain untuk menggagalkan pemerintahan Natsir bahkan sebelum memulai pekerjaannya tampaknya memberi dampak progresif antara parlemen dan kabinet berikutnya.{{sfn|Feith|1962|p=153}}.
Hubungan antara Muhammadiyah dengan Masyumi pun mengalami pasang-surut secara politis dan sempat merenggang pada [[Pemilu 1955]]. Muhammadiyah pun melepaskan keanggotaan istimewanya pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun [[1960]].
 
== Pemilu 1955 ==