Suku Konjo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
xx
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
xxx
Baris 6:
Secara administrasi, Desa Tana Toa berbatasan dengan beberapa wilayah, yaitu sebelah utara berbatasan dengan Desa Batunilamung; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Bonto Baji; sebelah timur berbatasan dengan Desa Malleleng; sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pattiroang. Pembagian administrasi tersebut juga membagi wilayah Desa Tana Toa, tempat bermukimnya Suku Kajang, menjadi 13 RK (Rukun Keluarga) dan 19 RT (Rukun Tetangga) yang dikelompokkan ke dalam sembilan wilayah dusun, yaitu Dusun Balagana, Dusun Jannaya, Dusun Sobbu, Dusun Benteng, Dusun Pango, Dusun Bongkina, Dusun Tombolo, Dusun Luraya, dan Dusun Balambina.
 
Secara total, luas wilayah Desa Tana Toa adalah seluaas 729 Ha dengan pembagian tertentu, antara lain untuk fasilitas umum, pemukiman, [[pertanian]], kegiatan ekonomi, dan lain-lain. (<ref>RPJM DESADesa TANATana TOA).Toa Tahun 2010-2014</ref> Rincian dari pembagian lahan tersebut adalah luas lahan untuk jalan seluas 3,7 Ha; lahan untuk bangunan umum seluas 5Ha; kahan untuk pemakaman seluas 5 Ha. Untuk kebutuhan [[pertanian]], pembagian lahannya adalah sebagai berikut: lahan [[sawah]] dan [[ladang]] seluas 93 Ha. Sedangkan untuk aktivitas perekonomian, lahan untuk pasar seluas 0,81 Ha; lahan untuk industryindustri seluas 0,36 Ha; lahan untuk pertokoan seluas 0,32 Ha. Sisanya, sebesar 329, 67 Ha dipergunakan untuk pemukiman dengan rincian tanah bengkok seluas 36,08 Ha; lahan perkantoran seluas 1,07 Ha; lahan bangunan peribadatan seluas 1 Ha.<ref name=":0" />
 
Selain pembagian wilayah tersebut, di pemukiman Suku Kajang ini juga terdapat wilayah [[hutan adat]] dan hutan kemasyarakatan. [[Hutan]] adat sering disebut sebagai hutan pusaka yang sifatnya keramat dengan total luas 317, 4 Ha. Segala sesuatu yang berada di dalam hutan adat tidak boleh untuk dirusak, termasuk menebang kayu, memburu binatang, apalagi membakar hutan. Hutan adat tersebut disebut juga sebagai ''Borong Karama’'' dipercaya oleh Suku Kajang memiliki nilai magis yang akan berdampak buruk pada kehidupan mereka apabila melanggar aturan-aturan itu. Sedangkan kemasyarakatan memang sengaja dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Luas hutan tersebut adalah 144 Ha dimana masyarakat diperbolehkan untuk menggarap atau menebang [[pohon]] di dalamnya. Meskipun demikian, mereka diwajibkan untuk menanam terlebih dahulu bibit pohon dengan jenis yang sama sebelum ditebang. Hasil hutan itu mereka garap dan nikmati bersama masyarakat Suku Kajang.<ref>Restu, M. dan Sinohadji Emil. 2008. ''Boronga ri Kajang (Hutan di Kajang).'' Makasar: Pustaka Refleksi</ref>
 
Lebih jauh lagi, wilayah pemukiman Suku Kajang secara umum memiliki ciri geologis berupa lahan berpasir, [[gambut]], dan sebagian wilayah merupakan tanah bebatuan. Dari keseluruhan wilayah yang ada, kawasan [[hutan]] merupakan yang terbesar dan terluas yang terdiri dari kawasan [[hutan adat]], hutan lindung, dan hutan rakyat. Tanah hutan tersebut banyak mereka pergunakan untuk sektor [[pertanian]] dan [[perkebunan]].
 
== Filosofi Tempat Tinggal ==
Baris 38:
 
== Filosofi Alam ==
Sebagaimana masyarakat adat lainnya di Indonesia, Suku Kajang juga amat menjaga hubungan baik dengan [[alam]]. Meskipun tidak memiliki pengetahuan formal dan hidup dalam gelimang kecanggihan [[teknologi]], Suku Kajang mengerti bagaimana mereka harus berinteraksi dengan alam, terutama hutan mereka. Mereka paham bahwa sumber kekayaan hutan tidak sepatutnya dieksploitasi, melainkan harus dijadikan sebagai pendamping kehidupan sehari-hari. Hal itu mereka junjung karena adanya upaya penghormatan kepada Sang Maha Berkehendak yang mereka yakini mewujud ke dalam sakralitas [[alam]]. Merusak lingkungan dan alam samahalnya dengan menghianati ajaran [[Tuhan]] dan ''Ammatoa'' yang memberikan mereka kehidupan selama ini. Kearifan lokal dan aturan adat sangat mereka junjung tinggi, terutama yang berkaitan dengan praktik-praktik perilaku manusia dengan alam. Apabila ada di antara Suku Kajang yang melanggar aturan tersebut, mereka harus siap menanggung konsekuensi yang berat.<ref>Salle, K, 2000, ''Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang: Sebuah Kajian Hukum Lingkungan Adat Pada Masyarakat Ammatoa Kecamatan Kajang Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba,'' dalam Jurnal Pascasarjana Universitas Hasanuddin Vol. I Tahun 2000, Makassar.</ref>
 
== Filosofi Manusia ==
Selain kepercayaan terhadap sakralitas alam, Suku Kajang juga memiliki tata tertib tersendiri dalam mengatur hubungannya dengan [[Tuhan]] dan [[manusia]]. Tata tertib itu mereka bentuk sebagai landasan hidup dan membina kehidupan sosial sesuai dengan perintah [[Tuhan]]. Secara garis besar, ada dua jalur yang mendasari perilaku mereka, yaitu secara vertical dan secara horizontal. Secara vertical maksudnya adalah untuk mengatur perilaku Suku Kajang dengan Sang Pencipta, sedangkan secara horizontal dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara Suku Kajang dengan manusia lain.
 
Suku Kajang amat percaya bahwa menjalankan kehidupan sebagai makhluk sosial tidak bisa dilepaskan dari pemenuhan hak terhadap orang lain dan kewajiban kepada manusia lainnya pula. Dalam hidup bermasyarakat, mereka meyakini bahwa hubungan antarmanusia harus didasari pada sama-sama memberi manfaat dan kebaikan. Selanjutnya, kewajiban lainnya akan mengikuti, terutama berkaitan dengan hubungannya dengan alam semesta. Sebab, kodrat [[manusia]] tidak dilepaskan dari alam semesta yang menjadi tempat bersandari bagi pemenuhan segala kebutuhan hidup.
 
Secara umum, kepercayaan mereka dalam menjaga hubungan dengan alam semesta dibagi menjadi empat, yaitu:
 
- Unsur tentang [[Tuhan]] atau wujud supranatural yang mencakup kekuatan ghaib
 
- Unsur tentang Roh yang berkaitan erat dengan konsep hari akhir, yaitu adanya [[surga]] dan neraka
 
- Unsur etos kerja dan etika, yakni tujuan religiousreligius atau tenensitendensi keakhiratan
 
- Unsur asal-usul terjadinya alam semesta.
 
Lewat aturan-aturan tersebut, mereka berkeyakinan bahwa manusia dan alam memiliki hubungan yang saling membutuhkan. [[Manusia]] membutuhkan alam sebagai produsen bagi sehala kebutuhannya, sementara alam memerlukan manusia untuk menjaganya agar terus lestari.
 
== Kearifan Lokal dan Penataan Ruang ==
Sebagaimana aspek-aspek kehidupan lainnya, Suku Kajang amat berpegang pada ''pasang'' sebagai sumber dari tata tertib kehidupan mereka. Konteks penataan ruang yang dimaksud tidak hanya berkaitan dengan fisik (penataan pola perkampungan dan perumahan), melainkan juga aspek [[manusia]] yang juga menjadi faktor berpengaruh terhadap ruang. Suku Kajang percaya pada ''Pasang'' ''ri'' ''Kajang'' dalam pencapaian tujuan penataan ruang melalui pengaturan ruang, pelaksanaan dan pembinaan, serta pengendalian pemanfaatan ruang dimana seluruh kalimat dan simbol-simbol yang termuat di dalamnya memerlukan interpretasi [[budaya]] yang baik. Simbol-simbol yang ada selalu berkaitan dengan kearifan lokal untuk mengelola [[lingkungan]] atau ruang oleh setiap individu dari Suku Kajang. Di dalam ''pasang'', Suku Kajang mensejajarkan diri dengan lingkungan dan [[alam]], sebagaimana yang diungkapkan oleh ''Ammatoa'' “Bila kamu merusak hutan, sama artinya kamu merusak dirimu sendiri”. Sebagai masyarakat yang hidup di Tana Toa yang merupakan tanah kebersahajaan, Suku Kajang harus menjunjung tinggi tata cara pergaulan yang sopan dan santun. Beberapa adat istiadat yang mencerminkan hal itu antara lain
 
'''- Adat istiadat dalam bertutur kata.'''
 
Mereka percaya bahwa mereka diciptakan untuk saling menghargai antarsesama sekaligus antar masyarakat yang hidup di tempat berlainan. Bagi mereka, adalah sebuah pantangan besar untuk berbicara kasar dan akan dicela oleh Suku Kajang yang lain apabila berbicara dengan bertolak pinggang. Mereka dituntun untuk berbicara dengan tangan dilipat di dada sambil membungkukkan badan dan menggulung sarung. Begitu pula dalam hal menyapa, mereka dituntun untuk menggunakan sapaan yang akrab dan mulia seperti menggunakan kata sapaan ''Puto'' untuk laki-laki dan ''Jaja’'' untuk perempuan. Sementara itu, untuk sapaan kepada serumpun mereka dianjurkan untuk menggunakan kata sapaan sesuai tingkat kelahiran, seperti ''Kak Toa'' untuk anak sulung, ''Kak Tengnga'' untuk anak tengah dan ''Lolo'' untuk anak bungsu. Lebih jauh lagi, Suku Kajang juga memberikan penamaan kepada keturunan mereka sesuai dengan nama hewan, nama musim, dan nama mata angin. Sebagai misal, J''ammu, Sappang, Ka’cuppang'' yang berarti kodok; nama-nama musim seperti ''Bara''’ ([[musim hujan]]), ''Timoro’'' ([[musim kemarau]]), dan nama mata angin seperti ''Raja'' (timur), dan ''Lau’'' (Barat). Sementara itu, mereka diharamkan untuk mempergunakan nama [[nabi]], [[malaikat]], dan nama kebesaran [[Allah]] karena dinilai berat dan menimbulkan kedurhakaan sekaligus menanggung dosa.<ref name=":2" />
 
'''- Adat istiadat dalam berpakaian.'''