Suku Konjo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
ss |
ss |
||
Baris 29:
== Kepercayaan ==
Sebagian besar Suku Kajang memeluk agama Islam. Meskipun demikian, mereka juga mempraktikkan sebuah kepercayaan adat yang disebut dengan Patuntung. Patuntung diartikan sebagai mencari sumber kebenaran. Hal itu menyiratkan bahwa apabila manusia ingin mendapatkan sumber kebenaran, maka mereka harus menyandarkan diri pada tiga pilar, yaitu Tuhan, tanah, dan nenek moyang. Keyakinan kepada Tuhan adalah kepercayaan yang paling mendasar dalam kepercayaan patuntung. Suku Kajang percaya bahwa Tuhan adalah pencipta dari segala sesuatu, Mahakekal, Mahamengetahui. Mahaperkasa, dan Mahakuasa.<ref
Tuhan atau yang disebut sebagai Turie’ A’ra’na menurunkan perintah atau wahyunya kepada Suku Kajang melalui manusia Kajang pertama yang disebut ''Ammatoa''. Wahyu tersebut dalam kepercayaan mereka disebut dengan ''pasang''. ''Pasang'' yang hendak disampaikan bukanlah sembarangan. ''Pasang'' tersebut berisi panduan hidup Suku Kajang dalam segala aspek dan lika-liku kehidupan. Nenek moyang mereka menurunkan ''pasang'' itu secara lisan dari generasi ke generasi. Suku Kajang sendiri diwajibkan untuk mematuhi ''pasang'' tersebut. Mereka berkeyakinan bahwa apabila mereka melanggar ''Pasang'' yang ada, berbagai macam hal buruk akan terjadi dalam kehidupan meeka. Mereka mengenal sebuah filosofi menyangkut hal itu, yaitu “kalau kita jongkok, gugur rambut, dan tidak tumbuh lagi. Kalau kita langkahi, kita akan lumpuh.<ref
Agar ''pasang'' tersebut dipatuhi oleh seluruh Suku Kajang, ''Ammatoa'' harus terus menjaga dan menyebarkan serta melestarikan ''pasang'' tersebut. Keberadaan ''Ammatoa'' diyakini sebagai mediator atau penghubung antara manusia (Suku Kajang) dengan Tuhan. Mitos yang berkembang di kalangan Suku Kajang mengatakan bahwa ''Ammatoa'' adalah manusia pertama yang diturunkan diperkampungan mereka. Lokasi pemukiman yang sekarang mereka huni diyakini sebagai tempat pertama kalinya ''Ammatoa'' diturunkan oleh Tuhan. Tidak heran jika kemudian mereka menyebutnya sebagai Tana Toa yang berarti Tanah tertua yang diwariskan oleh leluhur mereka.
Baris 47:
Secara umum, kepercayaan mereka dalam menjaga hubungan dengan alam semesta dibagi menjadi empat, yaitu:
-
-
-
-
Lewat aturan-aturan tersebut, mereka berkeyakinan bahwa manusia dan alam memiliki hubungan yang saling membutuhkan. Manusia membutuhkan alam sebagai produsen bagi sehala kebutuhannya, sementara alam memerlukan manusia untuk menjaganya agar terus lestari.
Baris 60:
Sebagaimana aspek-aspek kehidupan lainnya, Suku Kajang amat berpegang pada ''pasang'' sebagai sumber dari tata tertib kehidupan mereka. Konteks penataan ruang yang dimaksud tidak hanya berkaitan dengan fisik (penataan pola perkampungan dan perumahan), melainkan juga aspek manusia yang juga menjadi faktor berpengaruh terhadap ruang. Suku Kajang percaya pada ''Pasang'' ''ri'' ''Kajang'' dalam pencapaian tujuan penataan ruang melalui pengaturan ruang, pelaksanaan dan pembinaan, serta pengendalian pemanfaatan ruang dimana seluruh kalimat dan simbol-simbol yang termuat di dalamnya memerlukan interpretasi budaya yang baik. Simbol-simbol yang ada selalu berkaitan dengan kearifan lokal untuk mengelola lingkungan atau ruang oleh setiap individu dari Suku Kajang. Di dalam ''pasang'', Suku Kajang mensejajarkan diri dengan lingkungan dan alam, sebagaimana yang diungkapkan oleh ''Ammatoa'' “Bila kamu merusak hutan, sama artinya kamu merusak dirimu sendiri”. Sebagai masyarakat yang hidup di Tana Toa yang merupakan tanah kebersahajaan, Suku Kajang harus menjunjung tinggi tata cara pergaulan yang sopan dan santun. Beberapa adat istiadat yang mencerminkan hal itu antara lain
-
-
-
Selain ajaran-ajaran tersebut, ''pasang'' yang dipercaya oleh Suku Kajang juga percaya bahwa dunia ini hanyalah tempat persinggahan sementara untuk menuju akhirat. Untuk bisa menjangkau kehidupan akhirat yang baik, mereka perlu menerapkan pola hidup yang sederhana. Hidup dengan cara sederhana menurut mereka merupakan cara atau ideology yang mempengaruhi bagiamana cara mereka mengatur pola keruangan dan cara mereka dalam memenuhi kebutuhan kesehariannya. Sikap tidak berlebihan alias sederhana tersebut kemudian akan berdampak pada cara mereka memenuhi makanan, pakaian, sawah, kebun, rumah, dan pemanfaatan sumber daya hutan secara tidak berlebihan atau serampangan.
|